Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Athirah (2016): Kekuatan Di Balik Kelembutan

Film biografi terbaik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir  kalau bukan sepanjang masa  telah hadir. Digarap oleh Riri Riza (AADC 2, Laskar Pelangi) dengan naskah juga ditulis oleh Riri bersama Salman Aristo (Mencari Hilal, Sang Penari), "Athirah" mengambarkan bahwa biopic bisa bercerita tidak secara episodik dan mengkultuskan tokohnya, dua penyakit yang kerap menjangkiti biopic tanah air. Kita semua mengenal Jusuf Kalla, tapi bagaimana dengan sang ibunda? Jika belum, adakah urgensi untuk mengangkat kisah hidupnya ke layar lebar? Menengok kondisi sosial masyarakat tatkala warta seputar agama serta perempuan tengah banyak mewarnai, kehadiran "Athirah" menjadi relevan.

Cerita dimulai pada awal 1950-an ketika Athirah (Cut Mini) beserta sang suami, Puang Ajji (Arman Dewarti) pindah dari Bone ke Makassar untuk membuka usaha di sana. Semua berjalan lancar: usaha dagang Puang Ajji sukses besar, Athirah hamil, dan mereka sekeluarga hidup bahagia, selalu menghabiskan makan malam bersama. Kemudian Riri Riza mulai menyibak tabir konflik mengenai ketertarikan Puang Ajji akan perempuan lain. Tidak secara gamblang, melainkan amat subtil, sekedar cuplikan momen-momen pendek menyerupai dikala Puang Ajji berada di sebuah pesta, tersenyum ke arah perempuan yang bahkan tak pernah nampak wajahnya. 
"Athirah" dikemas kolam film arthouse berhiaskan tempo alur lambat, steady shot guna meng-capture alam atau barang milik karakternya, juga pengungkapan poin-poin kisah sebatas melalui visual tanpa penuturan mulut nan gamblang. "Athira" enggan menyuapi penonton, memaksa kita sepenuhnya fokus memperhatikan detail pengadeganan. Namun itu bukan hal sulit, lantaran Riri merangkai tiap momen dengan perasaan, mengalunkan secara perlahan keindahan lembut menyerupai kasih sayang Athirah terhadap keluarganya. Apalagi scoring garapan Juang Manyala yang memadukan petikan gitar post rock dengan musik tradisional Sulawesi jadi pengiring syahdu penopang suasana. Beberapa kali editing-nya agresif dikala harus menyelipkan sepotong adegan pendek, namun tidak hingga mengacaukan flow penceritaan.

Riri Riza dan Salman Aristo jeli mengambil titik esensial dalam hidup Athirah, merangkumnya ke dalam naskah sebagai satu kesatuan utuh ketimbang penyatuan segmen demi segmen. Menonton "Athirah" pun jauh dari kesan membaca visualisasi buku pelajaran sejarah. Tentu sosok Jusuf Kalla atau yang sering dipanggil Ucu (diperankan Christoffer Nelwan dikala remaja, Nino Prabowo dikala dewasa) terlalu "besar" untuk dikesampingkan, tapi bukan berarti fokus film terenggut olehnya. "Athirah" membagi porsi penceritaan ibu dan anak itu secukupnya, menawarkan dengan efektif bahwa Ucu yaitu anak yang kuat. Tidak pula filmnya berlebihan memberi foreshadowing mengenai masa depannya, sekedar satu momen singkat (muncul di trailer) sewaktu Athirah memasangkan kopiah di kepala puteranya.
Serupa tokoh Athirah, filmnya berjalan lembut dan pelan, namun pasti, juga tegas dalam berpesan. Terlihat dari caranya mengkritisi Puan Ajji selaku pemuka agama terhormat dan selalu memimpin solat berjamaah namun justru berselingkuh, mengkhianati sang istri yang tengah hamil. "Athirah" tidak serta merta menyudutkan Puan Ajji (atau agamawan lain dengan tingkah serupa), tapi membiarkan penonton mengobservasi kemudian terhanyut dengan sendirinya. Kritikan itu terasa lembut tapi menusuk tajam, menyerupai Athirah sendiri. Tidak pula film ini berurai air mata, mengeksploitasi kegetiran usaha perempuan menghadapi poligami. Bukti bahwa Riri Riza dan Salman Aristo sungguh memahami, juga menghormati tokoh yang mereka angkat. 

Tapi bukan berarti Athirah digambarkan sebagai sosok sempurna. Dia pernah merasa frustasi akhir perilaku sang suami, kemudian mendatangi dukun untuk meminta pelet (lagi-lagi situasi ini hanya dituturkan lewat visual, non-verbal) walau berujung kegagalan. Athirah tetap ditampilkan selaku insan biasa, lantaran mengagumi berbeda dengan pemujaan buta dan mengkultuskan. 

Athirah yaitu perempuan lembut namun berpengaruh sekaligus pintar, yang terlihat dari keberhasilannya menyokong finansial keluarga  menjual sarung kemudian manfaatnya digunakan membeli emas  walau kondisi perekonomian masyarakat tengah carut marut termasuk sang suami. Cut Mini memberi performa solid yang bersinergi dengan kesubtilan tutur filmnya. Sang aktris tak banyak "meneriakkan" emosi, melainkan bermain lewat bermacam tatapan yang masing-masing menyiratkan perbedaan rasa. Tanpa sadar saya turut mencicipi cinta dan respect pada Athirah. Begitu senyumnya menutup cerita, ada kepuasaan telah mengarungi 80 menit, mengamati usaha berskala kecil namun bermakna besar seorang perempuan tegar.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

Artikel Terkait

Ini Lho Athirah (2016): Kekuatan Di Balik Kelembutan
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email