Wajar jikalau anda mengira "The Red Turtle" merupakan hasil adaptasi, lantaran debut penyutradaraan film panjang Michael Dudok de Wit ini memang bagai berada dalam dimensi serupa folklore, termasuk bagi kita penonton Indonesia di mana kisah seorang laki-laki menjumpai insiden magis sudah amat familiar. Tapi rupanya hasil kerja sama dua rumah produksi, Studio Ghibli dan Wild Bunch ini merupakan hasil buah pikir orisinal Dudok de Wit bersama Pascale Ferran selaku penulis naskah. Sebagaimana dongeng rakyat pada umumnya pula, salah satu nominasi film animasi terbaik pada Oscar 2017 ini jeli menyelipkan pesan membumi seputar kehidupan di balik polesan fantasi.
Mengusung semangat visual storytelling, Dudok de Wit meniadakan bahasa verbal, menggunakan gambar untuk menuturkan dongeng seorang laki-laki tanpa nama yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Beberapa menit awal berisi perjalanan sang tokoh utama mengelilingi pulau, mencari cara biar dirinya bisa segera keluar dari sana. Pemandangan sekitar diperlihatkan, kegiatan para penghuni (hewan-hewan) diungkap, menyerupai kepiting mencari makan di bibir pantai hingga kelelawar di angkasa. Hampir tidak ada "hal besar" terjadi, suasana pun terasa sunyi, namun kemasan visual serta musik menghindarkan kekosongan, menjauhkan rasa bosan meski beberapa momen sempat terkesan agak berlama-lama. Tapi toh durasinya pendek (80 menit) sehingga kepadatan alur tak seberapa terganggu.
Animasinya cenderung mendekati gaya Eropa ketimbang Studio Ghibli. Warna-warni kontras di pagi hingga sore hari serta monochrome tatkala malam setia mengisi dengan tokoh insan didesain sederhana (mata hanya berupa dua titik hitam) sementara alamnya lebih kaya akan tekstur. Sang sutradara kerap menempatkan tokohnya kecil di tengah, dikelilingi hamparan landscape seolah ingin menekankan ketidakberdayaan insan di antara kebesaran alam. Musik buatan Laurent Perez del Mar bisa mewakili suasana, memunculkan sense of wonder. Lagu temanya pun bakal terus tertanam di otak walau film telah berakhir sekalipun.
Setelah beberapa waktu, sang laki-laki tetapkan menciptakan rakit untuk meninggalkan pulau. Namun upayanya selalu gagal akhir rakitnya dirusak oleh hal tak terlihat yang kemudian diungkap sebagai seekor penyu besar berwarna merah. Merasa kesal, ia berniat membunuh si penyu supaya tidak ada lagi yang mengganggu usahanya. Dari sini "The Red Turtle" mulai menampakkan "wujud aslinya". Selayaknya folklore, di balik elemen fantasi ada kisah sarat pesan yang sejatinya begitu bersahabat dengan keseharian kita. Dudok de Wit dan Ferran mengakibatkan korelasi aneh protagonis dengan penyu merah sebagai perlambang proses kehidupan.
It's about us, human, live in a strangeland called "world". Manusia terdampar di keterasingan dunia luas, berusaha bertahan hidup, terlibat korelasi "benci jadi cinta", kemudian memutuskan settling down, berkeluarga dan tak lagi berhasrat menantang dunia, hingga suatu hari sesudah melepas buah hatinya yang beranjak berakal balig cukup akal pergi yang tersisa yakni menikmati kedamaian hari renta sebelum selesai hidup menjelang. Perjalanan kehidupan itu juga tak lepas dari kuasa alam yang menyediakan kebutuhan namun sanggup pula merenggutnya. Balutan fantasi menyulap kesederhanaan kisah tersebut menjadi semakin indah dan ajaib.
Mungkin bagi sebagian kalangan, ceritanya terlalu naif dan penokohannya tidak kompleks (hanya si A, si B, si C tanpa pencirian khusus), tapi itu bukan dilema besar mengingat "The Red Turtle" memang berkonsentrasi pada merangkai kejaiaban kolam dongeng-dongeng masa lalu. Michael Dudok de Wit piawai bertutur menggunakan visual, membangun bermacam suasana. Ada ancaman menegangkan menyerupai ketika sang protagonis terhimpit di antara tebing sempit bawah air dan momen terjangan tsunami, ada pula cuteness factor hasil tingkah sekelompok kepiting yang ditempatkan sebagai comic relief menggelitik.
Ini Lho The Red Turtle (2016)
4/
5
Oleh
news flash