Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho Bid'ah Cinta (2017)

Film religi tanah air sering terjebak dalam contoh penuturan pesan menggurui atau tokoh utama kelewat sempurna. Daripada merasa tenang dan dicerahkan saya justru merasa dibodohi, terlebih ketika remaja ini banyak konflik didasari agama, membuyarkan perilaku toleransi yang semestinya mengiringi. Jangankan antar umat berbeda agama, mereka dengan agama sama namun berlainan aliran pun saling serang dan menyalahkan. Pasca keberhasilan "Mencari Hilal" menebarkan sejuknya perdamaian dua tahun lalu, "Bid'ah Cinta" garapan Nurman Hakim ("3 Doa 3 Cinta", "Khalifah", "The Window") mengusung pesan tak jauh beda: kebersamaan di tengah perbedaan.

"Bid'ah Cinta" membawa penonton ke sebuah kampung di mana masyarakatnya terbelah menjadi dua golongan Islam. H. Rohili (Fuad Idris) beserta murid-muridnya bersikap modern. Mereka merayakan maulid Nabi dengan meriah, berziarah kubur, pula mempersilahkan seorang transgender berjulukan Sandra (Ade Firman Hakim) beribadah bersama. Sebaliknya, H. Jamat (Ronny P. Tjandra) dan sepupunya, Ustaz Jaiz (Alex Abbad), lebih tradisional dan keras, menganggap semua itu sebagai bid'ah. Tapi layaknya dongeng Romeo dan Juliet, putera-puteri kedua belah pihak, Khalida (Ayushita Nugraha) dan Kamal (Dimas Aditya) saling menyayangi walau hubungan keduanya terbentur selisih paham penerapan pedoman agama.
"Bid'ah Cinta" mengambil lingkup bukan saja di internal dua keluarga, melainkan sekampung. Trio penulis naskah Nurman Hakim, Zaim Rofiqi dan Ben Sohip solid membangun detail seputar seluk beluk setting-nya termasuk para warga dengan problematika masing-masing. Selain Sandra dengan usahanya diterima masyarakat, ada Faruk (Wawan Cenut) yang kesengsem pada Khalida tapi selalu menghabiskan harinya mabuk oplosan bersama Ketel (Norman Akyuwen). Kedua tokoh ini mengajak kita memasuki sisi lain kampung tersebut, menggambarkan bahwa di tengah ukiran dua kubu alim ulama, nyatanya praktik maksiat kokoh merajalela. Berkatnya, film ini terasa lengkap menangkap kondisi suatu kelompok masyarakat, bukan perseorangan belaka.

Masalahnya, pembengkakan durasi tak sanggup dihindari. Apalagi terdapat repetisi dalam beberapa insiden menyerupai pertengkaran Khalida dan sang abang atau dangdut "dadakan" di daerah minum. Mungkin Nurman Hakim memang berniat menekankan pengulangan peristiwa, tapi sewaktu pengadeganan (sudut pengambilan gambar, tempo, intensitas rasa) turut serupa, filmnya jadi kerap terasa melelahkan. Ditambah lagi keberadaan momen-momen singkat selaku penjelas yang sejatinya tak perlu, menciptakan pergerakan alurnya kurang nyaman jawaban terlampau sering berpindah dari satu titik ke titik berikutnya. 
Pertanyaannya, bisakah "Bid'ah Cinta" bersikap adil menuturkan dua bentuk Islam yang ada? Ternyata bisa. Kedua sisi diberi kesempatan bersuara dan penonton pun digiring untuk merenungkannya. Pihak H. Rohili nampak toleran pula berpikiran terbuka, sedangkan Ustaz Jaiz dan pengikutnya lebih kaku, tegas cenderung kasar. Tapi bukan berarti kelompok kedua selalu disudutkan, alasannya yakni H. Rohili yang awalnya menyatakan tidak suka akan model dakwah penuh amarah nyatanya terpancing juga emosinya. Bahkan Ustaz Jaiz sanggup merangkul Faruk dengan caranya sendiri tatkala H. Rohili mengecam perilaku Faruk, mematahkan hatinya. Saya pun seketika menaruh hormat pada Jaiz begitu mendengar sang ustaz mengutuk agresi terorisme. 

Walau demikian, perilaku adil tak menghalangi Nurman Hakim menyertakan sudut pandangnya. Fakta bahwa penonton lebih banyak diajak menyambangi kerabat-kerabat H. Rohili (termasuk kondisi rumah yang lebih hangat dibanding keluarga H. Jamat) memancing simpati untuk mereka yang otomatis menempatkan Ustaz Jaiz dan kawan-kawan sebagai sosok "asing". Tatkala muncul tindakan ekstrim, sulit untuk tidak mengantagonisasi mereka. Keputusan itu tidak keliru. Artinya sang sutradara lantang menyuarakan prinsip alih-alih bermain kondusif pada objektivitas tanpa taji. Lagipula, film ini urung mencela golongan kaku, termasuk menolak memberi cap teroris untuknya. Menengok kondisi sosial Indonesia ketika ini, definisi toleransi "Bid'ah Cinta" yang sedikit berpihak pada mereka dengan pikiran terbuka merupakan pilihan bijak. 
Alex Abbad dan Fuad Idris menonjol di antara jajaran cast selaku pentolan masing-masing kubu. Alex Abbad bergerak dan bertutur layaknya seseorang yang mantap menjunjung kepercayaannya. Dia tidak kenal ampun melawan apa saja yang dianggap menyalahi hukum agama, namun bukan pula insan tak berhati. Saat Sandra diusir paksa dari masjid, ia membisu, tapi itu lebih lantaran ketiadaan pilihan lain, alasannya yakni lisan Alex memancarkan iba. Khalidah disebut sebagai perempuan tercantik pujaan seluruh laki-laki kampung. Selain paras ayu, kelembutan laris Ayushita yang tidak pernah terjerumus pada keklisean tokoh perempuan solehah lembut nan luar biasa (sok) suci menguatkan deskripsi tersebut.

Bersenjatakan cinta, "Bid'ah Cinta" berhasil menyuarakan pesan perdamaian juga harmoni yang acap kali disimbolkan oleh tata visual lewat beberapa shot simetris memperlihatkan jendela. Ketika cinta dua insan insan dipersatukan, terjadi pula "perkawinan" dua sisi berlawanan yang sejatinya dan semestinya bersatu. Terlalu naifkah film ini memposisikan cinta selaku magnet penyatu? Sebagaimana dituturkan Kamal, cinta tidak sesederhana itu. Cinta maha besar. Anugerah terbesar Allah bagi umat manusia. Akhirnya, entah pihak dengan pandangan Islam kaku, terbuka, bahkan pemabuk nihil ibadah sekalipun layak berkumpul, bergembira bersama, meninggalkan sang pelaku terorisme sendirian di luar, menatap penuh benci dan iri.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

Artikel Terkait

Ini Lho Bid'ah Cinta (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email