Friday, December 28, 2018

Ini Lho Selma (2014)

Pada masa sekarang, gosip rasisme tidak hanya sensitif tapi juga rumit untuk diperbincangkan. Apa definisi perbuatan "rasis" saja makin usang makin terasa ambigu yang ironisnya terjadi beriringan dengan semakin kencangnya pergerakan melawan hal tersebut. Apakah rasisme berlaku bagi semua kalangan? Atau hanya disebut rasis bila itu menimpa kaum minoritas? Apa yang terjadi pada Selma pada ajang Oscar awal tahun 2015 ini sempat menghembuskan tuduhan bahwa pihak Academy bertindak rasis, alasannya yakni dianggap mengesampingkan film ini (hanya mendapat dua nominasi). Padahal bisa dibilang film garapan sutradara Ava DuVernay ini mendapat critical acclaim. Tapi benarkah menyerupai itu kebenarannya? Atau alasannya yakni Selma mengangkat salah satu pergerakan paling penting dalam sejarah kaum kulit gelap melawan rasisme? Saya tidak tahu, tapi yang terperinci film ini yakni bentuk kemarahan dan pemberontakan daripada murni penghormatan.

Fokus utama film ini yakni menangkap esensi usaha Martin Luther King, Jr.  (David Oyelowo) ketika berusaha memperjuangkan hak menentukan para kaum kulit gelap yang tinggal di Selma, Alabama. Apa esensi usaha King? Cinta, persatuan dan menghindari kekerasan, setidaknya hal itulah yang dituturkan disini. King dalam banyak sekali kesempatan berorasi di depan ratusan orang, mengajak mereka untuk sadar, kemudian bangun guna melawan penindasan secara bersama-sama. Dia pun yakni sosok yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada diri sendiri. Begitu cintanya King pada rakyat, ketika ada dari mereka yang terluka atau bahkan tewas, kita bisa melihat terperinci sedih mendalam yang mengiris perasaan King. Berangkat dari rasa cinta itulah mengapa ia selalu menegaskan dihentikan ada kekerasan dalam setiap demonstrasi. Bahkan disaat pihak kepolisian menghajar para demonstran dengan brutal pun, King tidak pernah menginstruksikan untuk melawan balik.
Memang layak Martin Luther King, Jr. dijadikan sosok panutan tidak hanya bagi kaum kulit hitam, namun semua orang yang memimpikan kesetaraan serta perdamaian antar umat manusia. Efek tersebut diperkuat pula oleh akting David Oyelowo yang tampak terperinci tidak hanya berusaha meng-copy sosok King, tapi juga mendalami tiap sudut perasaan dan semangat sang tokoh. Adegan orasi ia lakoni dengan penuh ucapan berapi-api yang terasa believable mampu menggerakkan massa. Sedangkan momen personal abjad King pun ia jadikan sebagai observasi mendalam bagi penonton lewat verbal dan respon alami nan penuh perasaan. Keberadaan subplot hubungan antara King dengan sang istri, Coretta (Carmen Ejogo) turut menunjukkan kedalaman lebih pada karakternya. Martin Luther King, Jr. disini bukan hanya seorang aktivis, melainkan laki-laki biasa yang mencicipi problem ketika harus menentukan antara usaha dan keluarga.  Sayang, meski mengangkat sosok penuh cinta kasih itu, pengemasan DuVernay justru terasa sebaliknya. Dia membawa kebencian dan kemarahan yang menumpuk ketika bertutur. Hal itu berujung pada hadirnya salah satu stereotype bahwa semua kaum kulit putih yakni penindas. 
Bukan kebencian terhadap rasisme yang disalurkan oleh DuVernay, tapi justru kebencian terhadap kaum kulit putih hampir secara general. Setidaknya, pada paruh awal generalisasi itu terasa begitu kuat. Penonton diajak melihat bagaimana brutalnya para polisi menyiksa demonstran di jalan, seolah mereka tak berharga sebagai manusia. Penggambaran itu tidak salah, alasannya yakni kondisi semacam itu memang terjadi. Tapi yang dilakukan DuVernay pada abjad kulit putih film ini hanya menjadi kebalikan dari diskriminasi terhadap kaum kulit gelap dalam industri film yang sering terjadi. Cara itu memang efektif menciptakan penonton bersimpati pada mereka. Saya pun geram melihat perlakuan penuh ketidakadilan tersebut. Dampak yang lebih besar terjadi pada ketika massa demonstran menyeberangi jembatan Edmun Pettus dan terlibat konfrontasi dengan pihak kepolisian. Rangkaian adegan tersebut terasa begitu emosional berkat kepiawaian DuVernay dalam menyuguhkan suatu usaha yang kental dengan rasa persatuan. Andai saja DuVernay lebih banyak memasukkan cinta daripada benci, Selma bakal terasa begitu emosional khususnya pada adegan itu.

Sebagai film bertemakan sejarah, Selma jauh lebih berhasil. Sebuah napak tilas terhadap suatu kejadian monumental yang bisa mengajak penonton memahami tiap detail insiden tanpa harus berlebihan memasukkan tetek bengek konstitusional memusingkan meski filmnya kental dengan muatan politik. Setiap bab yakni rekonstruksi yang terjalin berpengaruh antara satu dengan yang lain tanpa ada satupun bab yang terasa dijejalkan secara paksa untuk melengkapi keseluruhan proses. Salah satu "penyakit" film mengenai rangkaian sejarah yakni perpindahan momen yang begitu bernafsu sehingga penonton terasa menyerupai menyaksikan episode demi episode terpisah daripada satu kesatuan utuh. Tapi film ini mengalir dengan baik, membantu mereka yang ingin mempelajari sejarah namun segan membaca literatur yang kaku. 

Verdict: Sayangnya Selma bukan karya dari insan untuk kemanusian, tapi lebih sebagai karya Ava DuVernay bagi sebagian golongan saja. Karakternya penuh cinta, tapi filmnya penuh amarah. Namun DuVernay terperinci menandakan diri sebagai sutradara yang cerdik dalam menuturkan ceritanya.

Artikel Terkait

Ini Lho Selma (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email