Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho Seteru (2017)

Dari sekian banyak "gejolak kawula muda" khususnya siswa SMA, tawuran termasuk tindakan paling bodoh. Kalau ditelusuri, fenomena tersebut bakal memancing studi menarik, sebutlah tumbuh kembang remaja, tendensi kekerasan, budaya konformitas, bullying, bahkan sanggup ditarik hingga ke lingkup keluarga. Banyak poin sanggup diamati, tapi jangan harap Seteru menghasilkan observasi hingga sedalam itu, lantaran karya teranyar Hanung Bramantyo bersama co-director Seno Aji (dirilis seminggu pasca Kartini mungkin demi tertular momentumnya) sekaligus produk kampanye kebhinekaan dan anti tawuran dari Kementrian Pertahanan (Kemhan) ini hanya berniat menyerukan "tawuran itu keliru".

Bukan masalah. Sejak dulu film telah sering digunakan untuk media propaganda, promosi, atau iklan layanan masyarakat versi panjang. Lagipula pesan yang diusung baik. Terpenting, pesan itu tersampaikan, bahkan jika sanggup memberi dampak. Pelaku tawuran dalam Seteru adalah pelajar dua Sekolah Menengan Atas di Yogyakarta, yakni Kesatuan Bangsa (berisi siswa kaya) dan Budi Pekerti (berisi siswa miskin). Permusuhan dipicu maut siswa Budi Pekerti yang konon disebabkan oleh Kesatuan Bangsa. Sulitnya upaya perdamaian memaksa kedua sekolah menyerahkan pentolan tawuran masing-masing pada Letkol Rahmat (Mathias Muchus), Komandan Kodim setempat yang kemudian menyerahkan training pada Letnan Satu Makbul (Alfie Alfandy). 
"Sasaran tembak" Seteru tentu para pelajar Sekolah Menengan Atas yang terbagi jadi dua golongan: pelaku tawuran dan bukan pelaku tawuran. Golongan kedua akan simpel mengamini tuturan filmnya, tapi lain dongeng dengan golongan pertama yang notabene sasaran utama filmnya. Masalahnya, naskah karya Bagus Bramanti sekedar bertindak selaku pemberi hikmah eksternal, bagai orang renta atau guru tengah berpetuah tanpa coba memposisikan diri di frekuensi serupa lawan bicaranya. Terkesan dangkal pula menggampangkan resolusi, sehingga simpel membayangkan bila seorang siswa "berandalan" penyuka tawuran disuguhi film ini, beliau seketika menjawab "tidak semudah itu, bro". 

Bukan berarti sama sekali nihil perjuangan mengetuk hati mereka. Konflik internal keluarga Martin (Bio One) dan Ridwan (Yusuf Mahardika) dibutuhkan mewakili perkara personal remaja. Namun presentasi soal keinginan membanggakan orang renta berhenti di tatanan permukaan, lantaran lagi-lagi mengubah contoh pikir individu tak sesederhana itu. Sebelum ditawari citra ideal, seseorang perlu direnggut dahulu hatinya semoga lapang dada mendapatkan arahan. Upaya menggoda dilakukan melalui pemakaian futsal, yang mana acara favorit dominan remaja, sebagai pemersatu. 
Hanung (selaku penggemar sepakbola) cukup piawai merangkai pertandingan menghibur. Tapi turnamen futsal justru memantik dilema gres dikala Seteru jadi condong ke arah film olahraga hiburan. Mudah paruh kedua menenggelamkan usungan pesan akhir sequence futsal menekankan hiburan berupa gol demi gol ketimbang suguhan kolaborasi tim. Ditambah lagi cuma Bio One dan Yusuf Mahardika yang tampak meyakinkan di atas lapangan, merenggangkan jarak keduanya dengan kawan-kawannya yang minim ciri pembeda. Paling hanya Dito (Dhemi Purwanto) lewat sisi komikalnya yang menonjol. Kalau ditelusuri lebih jauh pun, sulit menjabarkan detail penokohan keenam protagonis. Unsur perbedaan etnis siswa Budi Pekerti dan Kesatuan Bangsa pun berujung tempelan tak substansial. 

Seteru memang tidak subtil bertutur. Segala wejangan disampaikan gamblang, namun sanggup diterima berkat penempatan tepat. Setting militernya memfasilitasi cara bertutur tersebut. Adalah masuk akal tatkala seorang Letkol berceramah panjang lebar seputar moral dan nilai persatuan bangsa. Awalnya saya pesimis akan pemilihan tempaan berat militer sebagai jalan pembentuk disiplin, sebelum filmnya mengatakan jika hal terpenting bukan fisik atau bentakan yang selalu diteriakkan Letnan Satu Makbul semata, pula hati dan rasa. Alfie Alfandy sendiri meyakinkan sebagai sosok tentara keras meski kala tokohnya melunak, transformasinya berjalan kurang mulus, sebagaimana transformasi terlalu instan dua kubu protagonis dari lawan menjadi kawan. Setidaknya kematangan Hanung berhasil menjaga jalannya alur tetap nyaman diikuti. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

Artikel Terkait

Ini Lho Seteru (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email