Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho A Silent Voice (2016)

Salah satu dampak kesuksesan besar Your Name di Indonesia yaitu semakin terbukanya pintu bagi anime bertema percintaan remaja, di samping dominasi franchise raksasa macam Detective Conan, One Piece, Crayon Shin-chan hingga Naruto. Jika film garapan Makoto Shinkai tersebut mengangkat fantasi perjalanan waktu sebagai hiasan romantika, A Silent Voice selaku pembiasaan manga berjudul sama karya Yoshitoki Oima ini condong ke realita dunia remaja, mengusung gosip sensitif nan penting mengenai bullying juga bunuh diri. Bukan soal main-main, dan untungnya sutradara Naoko Yamada bersama penulis naskah Reiko Yoshida merangkainya dengan hati.

Yamada menolak menyebabkan dramatisasi kesengsaraan sebagai materi jualan. Terlihat dari opening sequence-nya, memperlihatkan keseharian Shoya Ishida. Dia berhenti dari pekerjaannya, mengosongkan rekening di bank, meninggalkan amplop berisi uang di sebelah ibunya yang tengah terlelap. Alunan lembut memancing perkiraan kalau sang protagonis hendak menatap kehidupan baru. Rupanya sebaliknya, ia berencana bunuh diri. Lalu memori masa SD kala hidup Ishida masih penuh semangat (ditemani lagu My Generation milik The Who) merangsek masuk. Saat itu kelas Ishida kedatangan murid baru, gadis tuna rungu berjulukan Shoko Nishimiya.
Dari sini naskah Reiko Yoshida mulai unjuk gigi menyusun drama coming-of-age yang berpengaruh memaparkan korelasi sebab-akibat. Ishida gemar menarik hati Nishimiya, mulai dari keisengan melempar watu hingga berpuncak ketika Ishida melepas paksa alat bantu dengar si gadis. Gangguan sepele berkembang ke arah bullying serius, tindakan satu individu menyebar turut dilakukan sekelompok orang termasuk para gadis yang menjauhi Nishimiya. Namun sewaktu pihak sekolah meminta pertanggungjawaban, semua menimpakan kesalahan pada Ishida. Kondisi berbalik. Ishida dijauhi, di-bully sahabat-sahabatnya. Inilah alasannya si bocah biang onar tumbuh jadi siswa Sekolah Menengan Atas penyendiri, memandang rendah diri, enggan menatap apalagi berinteraksi dengan temannya.

Cerita A Silent Voice penting disimak demi menegaskan bullying yang kerap dipandang masuk akal sebagai bentuk kenakalan anak kecil sanggup berbuntut panjang, bagi korban sekaligus pelaku. Walau membungkus dongeng kompleks secara dewasa, film ini tidak serta merta mengambil pendekatan depresif untuk glorifikasi sisi moody remaja canggung, tidak pula bersikap menyalahkan. Memilih menyoroti hidup si pelaku (yang kemudian turut jadi korban), fokusnya bukan wacana menyesali nasib atau tragedi, melainkan bagaimana memperbaiki situasi. Ishida tak hanya menambal keretakan, ia mesti mengumpulkan pecahan yang acak berserakan, mencari susunan tepat, gres menyatukannya lagi satu demi satu. 
Kita tahu Ishida begitu menyesal, memunculkan proses penebusan dosa simpatik berkat ketulusan hati karakter. Hal ini berdampak luar biasa kala transisi menuju third act berlangsung menegangkan, pun konklusinya terasa mengharukan. Dan bukankah cinta yaitu obat mujarab? Ishida terdorong oleh pertemuan kembali dengan Nishimiya yang masih rahasia menyukainya. Sayangnya sulit percaya akan perasaan Nishimiya jawaban penokohan lemah. Sosoknya terlampau baik, kolam imajinasi gadis manis fantasi (sekelompok) pria: lembut, pemalu, mau menyatakan cinta lebih dulu dikala mereka sendiri ragu-ragu melangkah maju. Susah juga mendapatkan fakta Nishimiya jatuh hati kepada Ishida semenjak SD sewaktu penindasannya melebihi siswa lain. Sikap tokoh memang kerap bermasalah, sebutlah perubahan ibu Nishimiya atau ketertarikan Mashiba berteman dengan Ishida yang urung didukung motivasi memadahi.

Yamada terbukti punya visi unik dalam bertutur lewat visual menyerupai penggunaan tanda silang guna menyiratkan penolakan Ishida berafiliasi sosial, beberapa perpindahan mendadak menuju flashback, hingga selipan gambar-gambar singkat yang membuat A Silent Voice bergerak bagai keping-keping memori yang sekejap melintas di pikiran. Gaya itu cocok mewakili poin seputar ingatan masa kemudian walau penempatan dari Yamada kerap bernafsu pun sering kurang sesuai kebutuhan, seolah berusaha terlalu keras terlihat artsy. Pemakaian banyak sekali gambar "acak" yang tak jarang menyelingi percakapan antar abjad berfungsi pula menyimbolkan keengganan Ishida menatap lawan bicara, meski aspek tersebut cukup mengganggu tatkala Yamada kolam gemar menyorot "bagian bawah" tokoh wanita.

Artikel Terkait

Ini Lho A Silent Voice (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email