Friday, December 28, 2018

Ini Lho The Taking Of Tiger Mountain (2014)

Pada suatu pertempuran diceritakan 30 anggota People's Liberation Army (PLA) yang dikomandani Captain 203 (Lin Gengxin) bisa mengalahkan 300 pasukan cecunguk milik Lord Hawk (Tony Leung Ka-fai). Terdengar familiar? Memang tidak butuh waktu usang guna mencicipi kemiripan antara The Taking of Tiger Mountain dengan 300-nya Zack Snyder. Bahkan Tsui Hark sang sutradara legendaris itu tampak begitu berusaha keras "mengkopi" gaya Snyder, apalagi kalau bukan penggunaan slow motion akut. Ceritanya yang merupakan penyesuaian novel Tracks in the Snowy Forest karya Qu Bo ber-setting pada tahun 1946 ketika terjadinya perang saudara di Cina sesudah kepergiaan Jepang yang kalah perang. Banyak kelompok cecunguk membuat kerusuhan dan menjarah banyak kampung dengan kelompok pimpinan Lord Hawk sebagai yang paling kuat. PLA sendiri berusaha melindungi warga meski terkendala oleh kurangnya amunisi dan makanan.

Pada ketika itu datanglah dua orang sebagai bala dukungan dari markas besar PLA beserta banyak sekali materi makanan. Little Dove (Tong Liya) seorang perempuan andal medis dengan cepat diterima oleh para prajurit. Namun tidak begitu dengan Yang (Zhang Hanyu) yang misterius. Bahkan Captain 203 tidak bisa begitu saja mempercayai Yang. Tsui Hark sendiri tampak berusaha menggiring penonton untuk ikut meragukan sang prajurit baru. Beberapa kali kita melihat respon warga sipil yang nampak histeris begitu menatap wajahnya. Kecurigaan berhasil dibangun dan sebetulnya hal tersebut berhasil menimbulkan sosok Yang semakin misterius dan menarik, apalagi ketika ia tiba-tiba memperlihatkan kehebatannya menginterogasi tahanan. Tapi rupanya hal itu tidak lebih dari sekedar cara murahan untuk menipu penonton. Nantinya Yang bakal mengambil alih tugas sebagai protagonis utama, dan Tsui Hark berusaha membuat kesan bahwa laki-laki yang dicurigai ini justru pada kesannya menjadi seorang pahlawan. Namun banyak cara lain yang lebih cerdas daripada membangun kecurigaan penonton dengan memaksakan sebuah tipuan tak berdasar.
Cara bertutur Tsui Hark dalam film ini memang lemah, dan sejujurnya tidak banyak yang bisa dikomentari berkaitan dengan perjalanan alur. The Taking of Tiger Mountain melucuti segala aspek historis dalam ceritanya guna memberi jalan untuk gelaran adegan agresi megah. Naskahnya tidak memperlihatkan jalan untuk eksplorasi huruf maupun sisi lain dalam kisahnya. Padahal setting yang digunakan punya potensi eksplorasi dongeng begitu kaya. Kita mengenal beberapa karakternya tapi tidak hingga terikat dengan mereka. Hal itu berujung pada begitu datarnya perasaan ketika film ini coba menghadirkan adegan emosional. Bahkan saya tidak mendapati adanya kegunaan dari kehadiran huruf Shao Jianbo yang berada pada setting masa sekarang selain untuk tetap setia pada novelnya yang memakai sudut pandang Jianbo sebagai orang ketiga untuk bertutur. Jianbo tiba dan pergi tanpa memperlihatkan efek lebih pada alurnya. Hanya sosok Yang saja yang berhasil mencuri perhatian lewat kecerdikannya bermain strategi. Karakter badass yang menonjol di tengah sosok lain yang tidak lebih dari sekedar bidak tanpa daya tarik.

Tapi toh menyerupai kompatriotnya, John Woo, satu hal yang dibutuhkan ketika menonton film Tsui Hark yaitu pengemasan adegan agresi memukau berkat kombinasi antara koreografi serta sinematografi memukau. Tokoh keren macam Yang pun bisa bersinar alasannya pengemasan stylish dari Tsui Hark. Mayoritas adegan peperangannya terjadi pada lokasi pegunungan penuh salju. Sebuah arena yang begitu tepat bagi sang sutradara untuk unjuk gigi menghadirkan agresi megah penuh gaya. Lokasinya mengingatkan saya pada salah satu momen epic pada Inception, dan jujur saja film ini berpotensi bisa sebagus itu dalam pengemasan aksinya. Tapi apa yang terjadi yaitu sebaliknya. Tsui Hark menyia-nyiakan semua potensi itu, bahkan bakatnya sendiri. Terlalu banyak slow-motion digunakan dan sayangnya tidak dihukum secara spesial. Rangkaian slo-mo tentu sangat bisa berujung pada adegan keren, tapi Tsui Hark tidak memperlihatkan sentuhan Istimewa pada hal itu. Hanya sekedar memperlambat laju peluru dan gerak tokohnya demi dramatisasi. 
Beberapa memang terasa menghibur, tapi tidak hingga memorable. Tsui Hark lupa, bahwa beliau harus menyuntikkan adrenaline dan sisi usaha dalam kisahnya. Zack Snyder bisa menimbulkan 300 sebagai tontonan luar biasa menghibur alasannya karakternya walaupun kosong tapi merupakan simbol tepat dari usaha mati-matian bermodalkan semangat machoisme tinggi. Sedangkan para PLA dalam film ini tidak lebih dari sekumpulan tentara bermodalkan senjata dan alat peledak yang maju ke medan perang seolah tanpa semangat tempur tinggi. Penonton pun meski terhibu tidak akan "digetarkan" oleh agresi mereka tersebut. Justru bab pertempuran paling menghibur yaitu ketika PLA berusaha mengakali keterbatasan mereka untuk bisa mengalahkan musuh dalam jumlah besar. Sayangnya hal itu tidak banyak dieksploitasi alasannya Tsui Hark lebih tertarik hadir bombastis dengan segala gerak lambat tanpa greget. 

Film ini bisa saja lebih jelek kalau bukan alasannya huruf Yang. Momen ketika filmnya berfokus pada usahanya menyusup ke benteng Lord Hawk terasa begitu menghibur. Penuh intensitas tinggi ketika karakternya berulang kali ditempatkan pada kondisi tersudut namun selalu berhasil keluar lewat banyak sekali macam seni administrasi yang cerdik. Saat itu filmnya bergerak dari sajian agresi generic menjadi kental unsur espionage thriller. Berkat itu dan titik puncak yang cukup menghibur meski lagi-lagi tidak Istimewa saya sempat akan memperlihatkan nilai yang nyata bagi film ini. Ya, hampir saja saya melaksanakan itu sebelum Tsui Hark merusaknya dengan tidak hanya satu tapi dua buah penutup bodoh. Epilog pertama berbentuk sebuah momen cheesy konyol yang berusaha emosional. Sedangkan yang kedua yaitu kegagalan Tsui Hark menahan diri untuk tidak membuat penutup agresi bombastis sekaligus kebingungannya menentukan titik puncak terbaik dalam film ini.

Verdict: Salah satu sutradara dengan pengemasan adegan agresi paling stylish baru saja merusak reputasinya. Sebuah potensi epic war movie berujung pada tontonan agresi standar yang gagal memaksimalkan potensi besarnya dalam banyak sekali aspek.

Artikel Terkait

Ini Lho The Taking Of Tiger Mountain (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email