Friday, December 28, 2018

Ini Lho Twenty (2015)

Twenty bercerita perihal tiga pria yang mulai menjalin persahabatan semenjak Sekolah Menengan Atas sesudah ketiganya menyukai satu perempuan yang sama. Kyung-jae (Kang Ha-neul) ialah seorang pemalu jikalau harus berurusan dengan perempuan dan bercita-cita bisa bekerja di perusahaan besar. Dong-woo (Lee Junho) punya mimpi menjadi seorang pembuat manhwa (komik Korea). Sedangkan Chi-ho (Kim Woo-bin) ialah playboy yang tidak memiliki impian apapun kecuali bersenang-senang, mengencani banyak perempuan, dan bekerjasama seks. Disaa berumur 20 tahun dan jadinya lulus SMA, mereka pun berharap bisa mengejar impian masing-masing. Dalam prosesnya, mereka harus menghadapi aneka macam rintangan berat guna menggapai mimpi tersebut. Sutradara sekaligus penulis naskah Lee Byeong-heon punya bahan standar tapi menarik dalam film ini. Kisah coming-of-age tiga remaja tamat yang mendapati realita dunia positif lebih pahit dan jauh dari idealisme yang mereka usung.

Terdapat dua problematika utama yang dialami oleh ketiga abjad utamanya, yaitu impian yang tidak jauh-jauh dari pekerjaan dan kedua ialah percintaan. Sejatinya Twenty berhasil memperlihatkan citra yang cukup akurat perihal bagaimana seseorang yang berada dalam transisi antara kehidupan remaja yang penuh mimpi menuju cerdik balig cukup akal yang harus banyak menghadapi realita pahit. Semuanya ada dalam hidup tiap-tiap karakter, dan hal itu sudah menjadi modal untuk menciptakan penonton merasa dekat dengan kisah mereka. Saya pun merasa "akrab" dengan aneka macam hal tersebut dan bisa saja sangat menyayangi film ini. Ya, Twenty bisa jadi coming-of-age yang luar biasa dengan berbekal kisah yang dimiliki andai saja Lee Byeong-heon tahu kapan waktu yang tepat untuk berhenti bercanda. Saya sudah berekspektasi akan banyaknya selipan komedi, tapi film ini terang terlalu overdosis dalam menyuntikkan dagelan dalam kisahnya. 
Drama-komedi (dra-medi) yang baik ialah disaat film itu tahu kapan waktunya untuk bercanda selucu mungkin dan kapan tampil serius untuk memperkokoh drama-nya. Tapi Byeong-heon justru sangat getol menyelipkan komedi hampir di setiap momen. Masalahnya komedi yang ia gunakan tidak jarang dipenuhi kekonyolan abstrak yang tidak akan bersinkronisasi tepat dengan sajian drama realis. Sebagai tumpuan dikala Chi-ho memohon hingga merengek-rengek pada kedua orang tuanya semoga tetap menerima uang saku meski kegiatannya hanya termangu di siang hari kemudian pergi ke klub di malam hari. Alhasil selipan komedinya begitu banyak hit & miss. Memang ada dikala dimana kekonyolan itu berhasil menyulut ledakan tawa tapi tidak sedikit pula yang justru merusak kekuatan penceritaan. Impasnya, drama penuh konflik sebagai sajian utama tidak semuanya berhasil tersampaikan secara efektif. Banyak yang hasil jadinya sama sekali tidak menciptakan saya terikat meski secara konsep terasa begitu mewakili aspek kehidupan sehari-hari.
Jika ada manfaat lain yang didapat dari komedinya selain menciptakan film cukup menghibur yaitu tiga tokoh utamanya jadi semakin mengundang simpati. Saya cukup peduli pada mereka, tapi bukan alasannya kisah yang mencuri perasaan melainkan alasannya ketiganya ialah abjad menyenangkan lengkap dengan persahabatan unik. Saya suka bagaimana relasi ketiganya dihantarkan. Ditemani berbotol-botol soju, dialog gila penuh teriakan yang acapkali membicarakan "cabe" jadi momen pemupuk persahabatan itu. Masing-masing abjad punya daya tarik masing-masing. Dong-woo punya porsi drama paling banyak disaat impiannya sebagai pembuat komik dibenturkan dengan realita bahwa keluarganya kesulitan dana. Dari situ simpati saya terhadap Dong-woo muncul. Lalu ada Kyung-jae dengan romansa paling menarik dikala ia mencicipi cintanya bertepuk sebelah tangan dengan seorang senior. Menarik alasannya romansa itu begitu membumi, ditambah lagi sebuah twist pada konklusi yang cukup menyayat perasaan. Sedangkan Chi-ho bahwasanya punya banyak potensi untuk digali tapi hanya berakhir sebagai sarana bagi sang pemain drama tampan nan kharismatik Kim Woo-bin untuk "merusak image" dengan bertingkah sekonyol mungkin.

Dari cara bertutur, Lee Byeong-heon ada ditengah-tengah antara free-flowing narrative ala art-house yang lompat kesana kemari dan terkadang mengesampingkan struktur linear dengan murni sebuah pengemasan yang berantakan. Namun bagi saya film ini lebih cenderung masuk kategori kedua. Andai saja Twenty adalah tontonan serius, saya bisa saja "terkecoh" dan menganggapnya sebagai tontonan "nyeni" tanpa alur terstruktur. Tapi dengan pengemasan penuh komedi ringan, alurnya yang bagai terpisah chapter demi chapter lebih merupakan ketidak mampuan bertutur dengan rapih. Sesungguhnya film ini amat menghibur saya, tapi sulit memperlihatkan evaluasi se-objektif mungkin terhadap drama-komedi ringan dari Korea Selatan. Kenapa? Karena adanya bias yang begitu besar dalam diri saya terhadap aktris-aktrisnya (yes, I love them) Seperti dalam film ini ialah bagaimana saya amat menyukai sosok So-hee (Lee Yu-bi), gadis imut dengan cara bicara yang blak-blakan termasuk kegemarannya membahas masturbasi. Seperti kata Dong-woo: dasar perempuan gila.

Verdict: Sangat menghibur tapi berujung pada mengesampingkan kekuatan drama coming-of-age yang ada. Tapi Twenty adalah tipikal film yang akan tetap menyenangkan (bahkan semakin bagus) dikala ditonton berkali-kali...and I love Lee Yu-bi's character...very much.


Artikel Terkait

Ini Lho Twenty (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email