Friday, December 28, 2018

Ini Lho Insidious: Chapter 3 (2015)

Tidak perlulah bicara jauh-jauh hingga ke detail film, sebab opening title menggedor jantung yang selalu jadi ciri khas franchise Insidious berlalu datar saja disini. Aspek kecil tapi memunculkan sedikit kekhawatiran. Padahal sebelumnya saya menyimpan keyakinan besar bahwa film ketiga ini setidaknya akan menjadi sajian horor yang menghibur kalau tidak berhasil mencapai level dua film pertamanya. James Wan memang telah pergi, tapi Leigh Whannell sang penulis naskah sekarang mengambil alih dingklik penyutradaraan yang juga menjadi debutnya. Setidaknya Insidious diberikan kepada tangan yang tepat dan paham betul keunggulan seri ini. Daripada memberi tahu penonton hantu macam apa yang hingga menciptakan (arwah) Elise tercengang di simpulan film kedua, Chapter 3 justru bertindak sebagai prekuel. Jika ada aspek yang layak dijadikan prekuel, maka itu ialah huruf Elise (Lin Shaye). Hal itu juga yang dilakukan Whannell dalam film ini, meski sayangnya secara setengah-setengah.

Setidaknya dalam setengah perjalanan awal, ceritanya berfokus pada seorang gadis bakir balig cukup akal berjulukan Quinn (Stefanie Scott) yang meminta sumbangan Elise biar sanggup berkomunikasi dengan arwah sang ibu. Quinn meminta hal itu sebab merasa akhir-akhir ini sang ibu mencoba berkomunikasi lewat cara-cara tidak wajar. Tapi sebab alasan yang gres akan diungkap pada paruh kedua, Elise menolak untuk membantu lebih jauh, meski penonton pastinya bisa menebak banyak sekali ketidakwajaran tersebut sejatinya merupakan ulah arwah jahat yang coba menarik Quinn ke dunia orang mati (sama menyerupai modus operandi hantu dalam dua film pertama). Dari titik ini kesalahan fatal Leigh Whannell dalam penulisan ceritanya mulai kuat besar. Dia sesungguhnya sadar bahwa potensi dongeng yang paling memungkinkan sekaligus menarik bagi prekuel ini ialah menggali lebih jauh huruf Elise, tapi disisi lain ia pun sadar untuk mengakibatkan dongeng itu sebagai film satu setengah jam butuh effort lebih besar dibanding mengaitkan poin-poin menyerupai yang ia lakukan pada film kedua.
Akhirnya Whannell menentukan jalan yang lebih gampang sebagai bentuk kemalasan dalam pengembangan cerita. Akibatnya fatal, dimana Insidious: Chapter 3 semakin bergantung pada rangkaian jump scare daripada rentetan plot sederhana tapi menarik yang mengakibatkan Insidious salah satu horor terbaik bagi generasi dikala ini. Tidak ada dongeng sungguhan dalam film ini, setidaknya hingga fokus pada Elise diperbanyak. Alur berjalan repetitif dengan hanya memperlihatkan pada penonton kejadian-kejadian mengerikan yang berujung pada terancamnya keselamatan Quinn. Perpindahan antara kejadian itu pun tidak mempunyai jembatan penghubung yang kuat. Penonton menyerupai diajak secara paksa melaksanakan astral projection dengan keluar dari badan kemudian berpindah secara tiba-tiba dari satu daerah ke daerah lain. Rasanya melelahkan dan kacau. Sungguh ironis disaat Leigh Whannell yang merupakan separuh otak dari terciptanya dasar dongeng menarik bagi Insidious tidak hanya melupakan aspek penting tersebut, tapi merusaknya.
Setengah perjalanan awal film ini tidak ada bedanya dengan banyak horor sampah lain yang hanya bertumpu pada jump scare. Bedanya, Whannell sudah sering bekerja sama dengan James Wan, jadi sedikit banyak ada beberapa ilmu yang ia serap. Jika diperhatikan, Chapter 2 sebenarnya sudah amat bergantung pada jump scare, karena ceritanya hanya melanjutkan kemudian menghubungkan banyak sekali poin film pertamanya. Tapi sekuel tersebut masih menjadi horor yang begitu kuat berkat kecerdasan James Wan dalam mengemas hentakan demi hentakan. Memperhatikan timing dan cara kemunculan hantu (yang ia sempurnakan dalam The Conjuring) adalah kuncinya. Whannell masih belum sehebat Wan. Beberapa kejutan terasa basi, jauh dari kata menakutkan dan menciptakan scoring buatan Joseph Bishara turun kelas menjadi sekedar "alat pacu jantung" daripada pembangun suasana. Tapi beberapa momen masih cukup efektif menyerupai sebuah adegan yang melibatkan jendela. Melelahkan dan membosankan, tapi cukup untuk menciptakan rasa kantuk pergi.

Paruh kedua menjelang klimaks, film kembali bergerak secara bernafsu meninggalkan kisah di sekitar Quinn. Begitu bernafsu perubahannya sehingga menciptakan film ini seolah terbagi dalam dua chapter. Untungnya perubahan paksa itu menggerakkan film kearah lebih baik dengan berfokus pada sosok Elise. Kisah wacana Elise mengandung banyak unsur menarik menyerupai penggalian sisi paranoid dan sedih mendalam dari sang karakter. Terdapat sisi kelam yang sesungguhnya begitu menarik dan layak diberikan durasi selama keseluruhan film ini. Elise terperinci bukan sosok dua dimensi menyerupai huruf lainnya. Dia memang punya kemampuan mahir sebagai cenayang, tapi persoalan besar mengganggu kehidupannya. Dilema yang menciptakan seorang insan dengan kehidupan justru lebih bersahabat dengan dunia penuh maut yang gelap. Itupun masih ditambah fakta bahwa film ini karenanya memperlihatkan Elise momen untuk tampil sebagai cenayang tangguh yang badass. Paruh simpulan film juga semakin kuat dan menjadi penyelamat berkat sebuah momen hangat. Memang tidak begitu menggedor, tapi klimaksnya menjadi cukup menyentuh meski sedikit mengandung rasa deus-ex-machina.

Verdict: Quinn's story is no more than just a bridge for one jump scare  to another that mostly are weaker than it's predecessor with forgettable ghost design. Insidious: Chapter 3 is the worst part of the series, but thanks to Elise 's arc and the heartful climax, this one's still much better than a lot of trashy horrors like "Annabelle".


Artikel Terkait

Ini Lho Insidious: Chapter 3 (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email