Setelah penantian panjang dan mencuri perhatian lewat kemunculannya di Batman v Superman: Dawn of Justice, Wonder Woman kesudahannya tiba untuk menyelamatkan keberlangsungan DC Extended Universe (DCEU) serta film bertemakan pahlawan super perempuan yang terdiri atas judul-judul gagal total macam Elektra dan Catwoman. Menyebut karya sutradara Patty Jenkins (Monster) ini sebagai installment terbaik DCEU maupun film superhero wanita terbaik sejatinya tak banyak berarti mengingat standar rendah yang dipasang keduanya sejauh ini, namun begitulah adanya. Wonder Woman is a very entertaining (if not good) movie and you should watch it.
Dibuka oleh adegan masa sekarang selaku satu-satunya penghubung dengan keseluruhan DCEU, Diana Prince (Gal Gadot) mengingat kembali masa lalunya, semenjak ia dibesarkan sebagai Puteri di Themyscira, pulau di mana hanya ada perempuan. Sejak kecil Diana terobsesi berlatih bela diri sehabis mendengar banyak dongeng sang ibu, Hippolyta (Connie Nielsen) perihal peperangan para dewa. Diana kesudahannya tumbuh menjadi ksatria Amazon perkasa, hingga kedatangan Kapten angkatan udara Amerika Serikat, Steve Trevor (Chris Pine), membawanya ke dunia insan di mana Perang Dunia I tengah pecah guna memenuhi takdirnya yang selama ini tidak Diana ketahui.
Merupakan pahlawan super perempuan paling dikenal, perilisan Wonder Woman dianggap penting selaku simbol usaha dan kekuatan wanita. Walau awal penciptaannya merupakan ekspresi hasrat William Moulton Marston akan bondage, Wonder Woman sekarang menjelma ikon feminisme. Naskah Allan Heinberg mengolah unsur tersebut, menyentil sistem patriarki (that "secretary is a slavery" joke), menegaskan bahwa Diana tak gentar di hadapan para laki-laki (menghardik para Jenderal yang menurutnya pengecut) dan menolak diatur keputusannya oleh mereka (pernyataan "What I do is not up to you" bagi Steve). Walau demikian, usungan pesannya tidak eksklusif, bersifat umum sehingga bisa mewakili semua golongan yang memperjuangkan haknya.
Film ini terasa universal karena secara keseluruhan cenderung menggali tumbuh kembang seseorang. Heinberg jeli bermetafora, memposisikan perjalanan Diana menjadi coming-of-age kala individu yang tumbuh bersama aliran nilai-nilai moral, memandang dunia lewat spektrum hitam-putih, hingga kesudahannya terbentur realita pahit. Heinberg memastikan penonton memahami transformasi Diana menuju Wonder Woman yang kita kenal bersama sehabis menemui kompleksitas dunia sekaligus banyak sekali kehilangan. Sayangnya Jenkins kurang berhasil menjalin emosi. Terdapat dua insiden penting pembentuk kepribadian Diana yang semestinya emosional tetapi berlalu begitu saja.
Lain halnya soal paparan aksi. Jenkins efektif memanfaatkan slow motion demi menekankan betapa Wonder Woman yaitu sosok badass. Puncaknya terletak di no man's land sequence tatkala Diana terjun ke medan perang, kali pertama memperlihatkan keperkasaan pada dunia. It's such an exciting and uplifting moment, when a woman steps into a brutal battlefield where no man can conquers it. Begitu besar lengan berkuasa momen satu ini, sehingga tak pernah bisa ditandingi aksi-aksi berikutnya, termasuk titik puncak generik pun terasa menggampangkan kebangkitan Diana. Kemunculan Ares justru lebih melemahkan ketimbang membantu. Selain karakterisasi one-dimensional, sebagai seorang Dewa Perang yang sempat merepotkan Zeus, Ares terang terlampau lemah dan simpel dikalahkan.
Serupa gelaran titik puncak film DCEU lain, penonton kembali disuguhi banjir CGI. Green screen mendominasi, dihiasi ledakan-ledakan dan kilatan cahaya. Masalahnya, kualitas CGI Wonder Woman tergolong lemah, kerap terasa bergairah hingga terkesan clumsy. Kekurangan ini bukan berlaku pada puncak pertempuran saja, melainkan sepanjang film. Pemicunya terang bujet "hanya" $149 juta yang notabene terkecil di antara kompatriotnya sesama film DCEU. Bandingkan dengan $300 juta bagi Dawn of Justice. Bahkan Suicide Squad saja punya modal $175 juta.
Membawa beban berat memerankan tokoh pahlawan super ikonik, Gal Gadot mempunyai karisma tingkat tinggi, pula believable sebagai ksatria tanpa kenal takut yang menikmati pertempuran, penuh percaya diri, tersenyum menyeringai kala berhadapan dengan musuh dan medan perang yang akan menciptakan prajurit gagah berani sekalipun gentar. Meski harus diakui beberapa pengucapan kalimat, ekspresi, serta gestur sang aktris masih sering tampak dibuat-buat. Di sisi lain Chris Pine yaitu charm magnet, menciptakan Steve yang dalam komik atau serial televisi 70an bagai damsel in distress versi laki-laki amat likeable, pun mulus melakoni serangkaian bab komedik menggelitik.
Selipan humor hadir secukupnya, sangat membantu membawa 141 menit filmnya tidak kering melalui bermacam-macam kecanggungan Diana menghadapi lingkungan gila juga laki-laki. Wonder Woman memang berbeda dibandingkan rilisan DCEU sebelumnya. Tidak ragu mengundang tawa, namun lebih dari itu, dikala Superman sibuk berkontemplasi dan Batman gemar menghabisi penjahat, Wonder Woman beraksi mengedepankan cinta. Mengingatkan lagi hakikat superhero yang ada untuk melindungi, mengembalikan keinginan bagi umat insan di tengah setumpuk kemelut dan pertikaian. Wonder Woman mengusung keinginan serupa, dan tentunya keinginan bagi DC dan Warner Bros, bahwa proyek shared universe mereka masih punya kekuatan melaju kencang.
Ini Lho Wonder Woman (2017)
4/
5
Oleh
news flash