Wednesday, November 7, 2018

Ini Lho Valerian And The City Of A Thousand Planets (2017)

Sewaktu kecil saya gemar memainkan setumpuk action figure karakter fiksi favorit. Berbekal barang  seadanya macam bantal, guling, atau kaleng biskuit bekas, dunia daerah aksara itu hidup jadi kenyataan. Setidaknya dalam imajinasi saya selaku satu-satunya batasan realisasi. Melalui film ini, Luc Besson melaksanakan hal serupa, menghidupkan komik kesukaannya dikala kecil, Valerian and Laureline. Bedanya ia punya modal $210 juta (film Eropa dan independen termahal) guna mengganti mainan dan perabot sehari-hari dengan formasi pemain film kenamaan sekaligus imbas CGI. Tapi ada sebuah persamaan. Keduanya tak peduli kedalaman aksara atau dongeng solid. Terpenting imajinasi terwujud. Valerian and the City of a Thousand Planets memang membawa Besson kembali menjadi bocah.

Dibarengi lagu Space Oddity-nya David Bowie yang tepat membangun mood, filmnya dibuka oleh montage perkembangan acara luar angkasa insan dari masa ke masa, berujung pada era 28 ketika stasiun Alpha tempat jutaan makhluk dari planet berlainan hidup bersama membuatkan kultur pula pengetahuan, dilepas dari orbit Bumi, melayang bebas di angkasa tanpa batas. Valerian (Dane DeHaan) dan sang partner, Laureline (Cara Delevigne) yakni anggota kepolisian insan yang tengah menjalankan misi mengamankan spesies binatang langka di suatu planet. Misi yang membawa keduanya mengarungi banyak sekali daerah di galaksi, bertemu alien bermacam-macam bentuk, juga menyelidiki bencana masa kemudian yang disembunyikan rapat-rapat.
Sederhana saja rangkaian dongeng dalam naskah Besson. Penyebab durasinya melebihi dua jam (137 menit) dikarenakan alurnya kerap berputar-putar dahulu sebelum hingga titik destinasi. Ibarat perjalanan, penonton sebagai penumpang sering diajak singgah di daerah lain, menetap di sana menikmati suasana, gres lanjut ke tujuan. Juga terasa bagai menyaksikan video game dari stage ke stage berikutnya. Bahkan adegan tatkala Valerian menembus satu per satu lokasi Alpha dikemas oleh Besson laksana tipe permainan endless running yang biasa kita mainkan di smartphone. An exciting one

Meski berakibat pacing yang kurang dinamis, Besson punya alasan berpengaruh di balik pilihan tersebut, yaitu mengajak penonton mengamati keindahan beraneka ragam dunia asing beserta makhluk dan budaya di sana. Karena sejatinya, ketimbang suguhan tipikal "kebaikan melawan kejahatan", Valerian and the City of a Thousand Planets lebih menitikberatkan pada eksplorasi soal diversity dengan cakupan luas: alam semesta. Kalau diperhatikan, dominan konflik berujung sekuen agresi tidak didorong perjuangan tokoh utama menumpas kejahatan, melainkan sebuah keterpaksaan dipicu insting bertahan hidup dikala terancam ancaman jawaban terjebak di situasi maupun kultur asing. Pun musuh utama yang mesti dihadapi bukan sosok megalomania dengan hasrat menguasai dunia, sekedar insan dan keburukan alami mereka (kita). 
Walau acap berlama-lama mampir kebosanan urung hadir, alasannya bersenjatakan kreatifitas tanpa batasnya, Besson yang makin sahih disebut sutradara visioner bisa membuat sederet lingkungan, teknologi, hingga kegiatan tak terbayangkan. Tentu semua didasari komik buatan Pierre Christin dan Jean-Claude Mézières, tetapi menghidupkan gambar membisu di panel komik butuh daya kreasi luar biasa. Inilah esensi film selaku motion picture. Gambar bergerak yang mewadahi imajinasi liar pembuatnya. Sinematografi Thierry Arbogast juga musik Alexandre Desplat yang mencerminkan lisan kekaguman, menambah daya pukau petualangan jagat raya yang eksklusif menghentak semenjak menit-menit awal di Planet Mül. Sayang, fokus terhadap visual seolah sepenuhnya menyedot energi Besson, sehingga ia gagal maksimal soal sanksi aksi. Tidak buruk, hanya saja medioker, nihil cool aspect ciri khasnya.

Saat Dane DeHaan kekurangan pesona sebagai pendekar sci-fi yang bertingkah semaunya (charm-nya lebih cocok untuk tokoh gloomy), Cara Delevigne sukses menghapus memori jelek Enchantress si iblis penari perut berkat deadpan sarcasm yang juga didukung struktur wajah naturalnya. Sebagai Laureline, Cara bisa pula menangkap sisi sensual tanpa kehilangan kekuatan khas tokoh perempuan idola ala suguhan sci-fi klasik. Walau demikian, gelar penampil paling mencuri perhatian justru disandang dua nama yang hanya muncul singkat, Ethan Hawke dan Rihanna. Gaya koboi Texas bawel milik Hawke menghembuskan nuansa berbeda di tengah kesan monoton kebanyakan aksara (bertampang) manusia. Sementara Rihanna dengan kehebatan olah badan di sebuah adegan pole dance memikat nyatanya paling mencerminkan aura inti filmnya: unik, aneh, imajinatif, magical, out of this world.


Ulasan untuk film ini sanggup dibaca juga di: http://tz.ucweb.com/8_dMLE

Artikel Terkait

Ini Lho Valerian And The City Of A Thousand Planets (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email