Wednesday, November 7, 2018

Ini Lho 20Th Century Women (2016)

Manusia tumbuh, berkembang, terbentuk kepribadiannya, dengan menerima efek dari hal-hal berskala besar di sekitar. Pergerakan kultur populer, kondisi perekonomian, atau peperangan. Dan saat semua bergeser, insan pun turut serta, entah ikut berevolusi memunculkan kesesuaian, berusaha beradaptasi, atau justru dihantam gegar budaya. Namun ada pula hal personal, yang meski sekilas nampak mikro dibanding bermacam-macam insiden masif di atas, punya dampak tak kalah besar bagi hidup seseorang. Hal itu ialah orang-orang di sekitar kita; orang tua, saudara sahabat. 20th Century Women tidak lain memoir dari sutradara/penulis naskah Mike Mills mengenai wanita-wanita di masa lalunya.

Mengambil setting tahun 1979, kita diajak mengunjungi Dorothea Fields (Annette Bening) sebagai perwujudan ibunda Mills, janda yang tinggal bersama putera tunggalnya yang berusia 15 tahun, Jamie (Lucas Jade Zumann). Selain mereka, tinggal pula dua penyewa di rumah itu, fotografer berambut merah penderita kanker leher rahim berjulukan Abbie (Greta Gerwig) dan William (Billy Crudup) si tukang kayu sekaligus mekanik. Lalu ada Julie (Elle Fanning), sobat Jamie semenjak kecil yang kerap belakang layar memanjat scafolding untuk bermalam di kamarnya, ialah gadis cukup umur yang selalu berganti pasangan seks namun menolak bekerjasama dengan Jamie. Menurut Julie, seks bakal menghancurkan persahabatan keduanya. 
Serupa banyak hubungan ibu-anak (personally saya mengalami), Dorothea dan Jamie merasa gila terhadap satu sama lain. Berbagai daya upaya dilakukan Dorothea guna mendidik Jamie termasuk membawa banyak lelaki sebagai sosok ayah menggantikan sang suami. Tapi lambat laun ia justru semakin jauh, tak memahami perilaku puteranya. Jamie sendiri, di fase cukup umur awal yang dikuasai teenage angst, menganggap tahu segalanya, sanggup melaksanakan semuanya. Ketika Dorothea yang lahir di masa Great Depression menggemari buaian nada Louis Armstrong, Jamie yang tumbuh di tahun 70-an memuja gebrakan punk yang tengah merajai skena musik dunia. Tercipta culture gap

Demi menyambung jurang pemisah tersebut, Dorothea meminta santunan Abbie dan Julie untuk membimbing Jamie. Tiga perempuan beda usia mengelilingi Jamie membawa permasalahan personal berbeda pula. Mencuat pertanyaan "does it take a man to raise a man?". Melalui surat cinta kepada wanita-wanita tercinta ini, Mills tegas menjawab, "tidak". Cukup ungkapan kasih, apa pun caranya, siapa pun pemberinya, tanpa batasan gender. Penuh kasih pula Mills merangkai memoar ini, menghadirkan momen kaya rasa yang membentang dari kehangatan menyentuh hati hingga kejenakaan. Balutan humor bukan saja memancing tawa, pun seringkali penuh makna ibarat kala Abbie mengajak mengucapkan "menstruation" bersamaan. Satu adegan itu merangkum seluruh tema dari bentrok budaya, feminisme, hingga topik utama soal pembelajaraan hidup seorang remaja.
Bicara perihal perempuan besar lengan berkuasa tentu membutuhkan penampilan kuat aktris selaku pemerannya. Annette Bening memimpin jajaran cast, menghidupkan seorang ibu yang selalu bangun tegak, terlihat mantap perilaku pula pemikirannya. Namun di balik senyum penuh keyakinannya tersirat keraguan menguasai perasaan. Greta Gerwig masih mengandalkan pesona quirky energetic, kali ini ditambah semangat punk guna menambal kerapuhannya. Begitu juga Elle Fanning, si gadis berjiwa bebas yang bagai sanggup menaklukkan dunia. Ketiganya mengitari Jamie, menciptakan pertumbuhannya makin berwarna serupa spektrum berkilauan yang nampak setiap kendaraan beroda empat karakternya melintas, kolam citra betapa progresi hidup (senang atau sedih) tidak monochrome. Soal warna, kombinasi art direction dengan tata rias dan kostum turut menyegarkan mata. Saya pribadi terpikat semenjak rambut merah Abbie dan baju kuning milik Julie si pirang berbaur di rumah Dorothea yang punya dinding juga perabot beraneka warna.

Mills memastikan para perempuan itu menetap di hati penonton. Sama ibarat Jamie, ketiganya jadi sosok berharga yang seolah telah tinggal usang menemani keseharian kita, berujung menghasilkan epilog menyentuh yang menyinggung esensi hidup. Kita memperoleh dan kehilangan, orang-orang tiba kemudian pergi. Bahwa hidup senantiasa bergerak membawa perubahan kultur beserta individu di dalamnya, menghasilkan memori yang menjaganya tetap hidup. Dan 20th Century Women merupakan hidangan langka yang bakal terus hidup di hati penontonnya dalam waktu lama.

Artikel Terkait

Ini Lho 20Th Century Women (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email