Wednesday, November 7, 2018

Ini Lho Banda The Dark Forgotten Trail (2017)

Sutradara Jay Subyakto menyebut pembuatan debut film panjangnya ini sebagai proses bebas cenderung tak terstruktur. Meski naskah buatan Irfan Ramly (Surat dari Praha, Filosofi Kopi 2) memetakan jalur serta garis besar cerita, begitu pengambilan gambar berlangsung Jay membebaskan kru menangkap gambar apa pun di bermacam-macam titik kepulauan Banda. Lalu bagaimana bisa tercipta tuturan kohesif? Sebab begitulah sejarah. Tersimpan rapi nan rapat di semua daerah dari arsitektur bangunan bikinan insan hingga bentangan alam karya Tuhan, menetap, menunggu untuk diungkap, dirangkai, kemudian dimaknai. Selalu ada dongeng masa kemudian yang mungkin takkan diduga masyarakat masa kini.

Film dibuka oleh sekumpulan awan pekat sembari musik unsettling gubahan Lie Indra Perkasa. Sekilas bagai prolog bagi tontonan horor ketimbang dokumenter kebanyakan, tapi Banda The Dark Forgotten Trail memang bukan dokumenter kebanyakan dan punya belakang layar mengerikan yang segera penonton temukan. Kisahnya menjelaskan dahulu betapa dahulu, tak ubahnya hikayat Kerajaan nusantara macam Majapahit, Kepulauan Banda selaku penghasil pala nomor satu sempat mengalami masa kejayaan sebagai sentra perdagangan rempah yang bahkan lebih berharga daripada emas. "Kuasai rempah, maka kamu akan menguasai dunia", sebut salah satu ungkapan yang dibacakan Reza Rahadian selaku narator yang sepanjang film amat menghayati sehingga kita seolah mendengarnya eksklusif dari pihak pertama.
Toh film ini juga menghadirkan beberapa narasumber orisinil Banda dari bermacam profesi; sejarawan Usman Thalib, pengusaha pala Pongky van den Broeke, Wim Manuhutu, dan lain-lain. Dari para narasumber yang sangat informatif bertutur inilah kenangan gelap Banda terungkap lengkap, memunculkan kisah mencekat yang takkan ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah. Beberapa nama atau insiden mungkin familiar, namun kita disadarkan betapa pengetahuan kita akan fakta bekerjsama masih sekelumit. Jan Pieterszoon Coen misal. Semua mengenal sosok Gubernur Jenderal Hindia Belanda ini. Tapi berapa banyak orang tahu kalau Coen merupakan pelaku pembantaian terhadap rakyat nusantara pertama?  

Kelengkapan isu berpadu luasnya eksplorasi jadi keunggulan Banda The Dark Forgotten Trail. Berpijak pada jalur rempah sentra perdagangan, filmnya turut menjabarkan bagaimana kejayaan tersebut mempengaruhi manusia-manusia di Banda, termasuk mendorong hasrat berkuasa serta sisi materialistis insan yang memancing sederet konflik bahkan jauh sebelum kolonialisme. Cakupan kisah Banda membentang luas dari sekitar kurun 14 atau 15 hingga sekarang. Penonton diajak menengok Banda di era reformasi kala diterpa konflik SARA walau sebelumnya dikenal lewat berkat pluralisme yang kolam miniatur Indonesia. Ada pula presentasi situasi kini tatkala pala Banda mulai meredup dan terlupakan. Alhasil muncul satu garis lurus panjang yang mengambarkan bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan saling bersinggungan, sehingga memahami sejarah menjadi penting. 
Hebatnya, meski punya jangkauan kisah luas, penceritaannya rapi. Ibarat suatu kelas, film ini ialah guru sedangkan penonton muridnya. Dan Banda jadi guru yang baik, bisa memberikan materi secara runtut sekaligus jelas. Latar seluruh sisi, proses alasannya ialah akhir yang terjadi, tiada yang terlewat. Akhirnya bila tercetus pertanyaan dalam hati kita selaku murid, sang guru senantiasa sanggup menjawabnya. Bukti keberhasilan kerja kolektif Irfan Ramly yang menyiapkan dasar berupa naskah, trio editor Aline Jusria, Cundra Setiabudhi, dan Syauqi Tuasikal yang sangat cermat menyusun, kemudian tentunya pengarahan Jay Subyakto dengan niatan meracik dokumenter unik.

Jay memang membawa keunikan gaya. Sinematografi Ipung Rachmat Syaiful menangkap panorama alam indah dengan tone gelap selaku representasi kisah kelamnya. Sesekali suasana gambar mengingatkan akan judul-judul ibarat Baraka dan Samsara, walau sayang, sesekali terjadi repetisi footage. Bedanya dengan dua judul di atas, (selain keberadaan narasi) Jay menciptakan filmnya lebih liar lewat perpindahan gambar cepat ditemani musik gabungan rock n roll dan industrial. Departemen animasi yang diemban RUS Animation tak ketinggalan mencuri perhatian mereka ulang aneka macam insiden lampau. Di luar lisan kreativitas tersebut, momen terkuat justru hadir dibalut kesederhanaan saat kamera hanya memperlihatkan Pak Pongky mengisahkan suatu tragedi. Saat itu seisi ruangan mendadak terasa sesak. Sepertinya semua penonton menahan nafas sewaktu imajinasi tersulut, membayangkan detail insiden menyakitkan itu. Informatif, agresif, kreatif. Begitulah Banda The Forgotten Trail. Sumber berguru mengenai masa lalu, cerminan masa kini, dan persiapan bagi masa depan. 


Ulasan film ini juga sanggup dibaca di: http://tz.ucweb.com/8_1J3A

Artikel Terkait

Ini Lho Banda The Dark Forgotten Trail (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email