Poin terpenting dari remake adalah mempertahankan esensi film aslinya, dan bakal makin baik kalau bisa menambal kekurangan, menyesuaikan dongeng dengan kondisi modern, serta meningkatkan aspek teknis sesuai kemajuan teknologi. "Cinderella" dan "The Jungle Book" merupakan dua rujukan live action remake milik Disney yang memenuhi syarat-syarat di atas. Kini giliran Bill Condon ("The Twilight Saga: Breaking Dawn Part 1 & 2", "Dreamgirls") bertugas menghidupkan "Beauty and the Beast" yang lebih dari dua dekade kemudian sanggup menjadi film animasi pertama peraih nominasi Best Picture di ajang Oscar. Prepare to feel the magic from this tale as old as time once again.
Saya percaya anda semua sudah familiar dengan kisah khas fairy tale klasik miliknya, di mana seorang pangeran tampan (Dan Stevens) dikutuk oleh penyihir menjadi makhluk buas mengerikan akhir keangkuhannya. Kutukan itu hanya bisa hilang kalau Pangeran mengasihi dan dicintai seseorang sebelum kelopak mawar terakhir dari sang penyihir jatuh. Di desa, Belle (Emma Watson) yaitu gadis tercantik namun dianggap absurd lantaran selalu menghabiskan waktu membaca, bahkan menolak cinta Gaston (Luke Evans), laki-laki berpengaruh idola semua wanita. Ketika ayahnya, Maurice (Kevin Kline) tersesat dan ditangkap oleh Beast, Belle bersedia menggantikan posisi sang ayah untuk tinggal selamanya di istana. Lalu menyerupai anda tahu, itulah awal tumbuhnya benih cinta mereka.
Walau dikukuhkan sebagai klasik, harus diakui animasinya dulu menyimpan beberapa lubang alur yang sampai kini kerap diangkat selaku materi diskusi. Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulos menyadari kasus tersebut dalam menulis naskahnya, kemudian melaksanakan perubahan-perubahan kecil yang berdampak besar, semisal berkenaan timeline yang tak lagi memancing tanya soal usia Pangeran atau asal mula keberadaan Chip (Nathan Mack), si cangkir kecil putera Mrs. Potts (Emma Thompson). Chbosky dan Spiliotopoulos turut menyelipkan fakta kalau sang penyihir menghilangkan memori warga kampung ihwal Pangeran dan istana agar ketidaktahuan mereka terasa masuk akal. Secara umum, kualitas narasi film ini jauh lebih baik ketimbang pendahulunya.
Penokohan pun bertambah solid. Serupa Beast, Belle dipandang "berbeda" dan statusnya sebagai misunderstood genius ikut ditekankan. Melihat respon negatif warga yang menganggap tidak sepantasnya perempuan banyak mencar ilmu menciptakan sosok Belle kian relevan di masa sekarang. Belle versi gres ini juga berani terang-terangan menolak Gaston yang menegaskan kekuatannya. Hubungan Belle dengan ayahnya diperdalam, menambah bobot emosi lewat selipan kisah masa kemudian ihwal sang ibu. Demikian pula terkait tokoh-tokoh lain. Ada alasan mengapa Gaston begitu terobsesi pada kekuatan, bukan hanya lantaran ia laki-laki penuh otot tanpa otak. Sementara paparan singkat mengenai orang bau tanah Beast cukup menjelaskan penyebab perilaku kasarnya.
Sepertiga awal penceritaan sejatinya sempat tertatih tatkala filmnya kolam kekurangan amunisi di samping tata visual memikat mata termasuk gegap gempita warna-warni nomor musikal "Be Our Guest" yang menerangkan insting Bill Condon merangkai nuansa festive. Namun sebagaimana jalinan asmara Belle dan Beast, momen ketika "si jelek rupa" menyelamatkan pujaan hatinya dari serangan serigala bertindak selaku titik balik. Keduanya mulai intens berinteraksi, bertukar tawa dan perhatian, memunculkan kehangatan manis yang bakal memancing senyum penonton mengamati perkembangan natural romansa kedua protagonis. Setelahnya, bersiaplah terhanyut, tak kuasa menahan senyum, tawa, kemudian tersentuh dan meneteskan air mata.
Sudah barang tentu puncak kisah cintanya bertempat di adegan dansa. Bill Condon dan tim berhasil menghidupkan momen tersebut, mulai gaun kuning ikonik Belle, kemegahan dekorasi set, iringan lagu tema, sampai sempurnanya pergerakan kamera menangkap setiap gerakan Belle dan Beast yang mewakili komunikasi rasa antara mereka berdua. Segala aspek berpadu menghasilkan sajian yang akan bisa dikagumi para love skeptic sekalipun. Bagaikan tengah menyaksikan perwujudan kesakralan cinta tatkala dua insan saling jatuh hati, mengekspresikan segenap perasaan tanpa perlu berkata-kata. One of the most romantic musical piece ever put on cinema that perfectly defines what "love" is.
Belle digambarkan sebagai "the most beautiful girl in town" dan Emma Watson mewakili deskripsi itu. Sosoknya lovable dan tegas bersikap. Penuh kasih sekaligus berpengaruh di ketika bersamaan. Watson konsisten mempertahankan charm baik kala melakoni porsi drama serius, romansa, komedi, sampai memamerkan kemampuan bernyanyi ditambah antusiasme ekspresif yang diharapkan aktris musikal. Saya sempat khawatir Beast kehilangan pesona alasannya yaitu transisi media animasi ke live action (biasanya) tampil lebih serius, berpotensi melucuti daya tarik ketika makhluk buas ini canggung menyikapi kehadiran sang pujaan hati. Walau butuh waktu, Dan Stevens menggugurkan kekhawatiran saya. Begitu Beast dan Belle semakin lekat, sang pemain film berkesempatan mengatakan sisi kemanusiaan likeable di balik balutan CGI.
Beberapa perubahan demi memperbaiki beberapa kekurangan narasi versi animasi tak serta merta menurunkan respect Bill Condon pada film aslinya dengan tetap memberi sentuhan tersendiri agar tak berujung shot-for-shot remake. Para penggemar pasti bakal bernostalgia melihat sederet adegan direka ulang. Percintaan Belle dan Beast boleh jadi suguhan utama, tetapi film ini menyertakan bermacam bentuk cinta lain, sebutlah cinta Belle untuk Maurice (ayah dan anak) juga keduanya pada sang ibu/istri. Bahkan para perabot selaku aksara pendukung turut diberi kesempatan (their "last moment" is very touching), menjadikan "Beauty and the Beast" sebuah perayaan menyentuh terhadap keindahan cinta.
Ini Lho Beauty And The Beast (2017)
4/
5
Oleh
news flash