Thursday, December 13, 2018

Ini Lho Fantastic Four (2015)

Selain untuk memenuhi syarat biar hak tidak kembali ke tangan Marvel, versi teranyar Fantastic Four ini direncanakan bakal mengawali franchise baru yang kelak (harapannya) bakal di-crossover dengan X-Men. Tapi tidak usah membahas dulu ibarat apa hasil akhirnya. Karena mungkin hingga beberapa dekade ke depan film ini akan selalu diingat lewat cerita perseteruan dibalik layar antara sutradara Josh Trank dengan 20th Century Fox. Saya tidak akan membahas detail perseteruan tersebut. Cukup googling dan semua hal baik yang sifatnya fakta ataupun rumor ada di sana. Tapi bisa aku pastikan konflik dibalik layar itu jauh lebih menarik daripada keseluruhan filmnya sendiri. Melihat apa yang dihasilkan Trank lewat Chronicle, bisa ditebak cerita kuartet superhero ini pun bakal mengambil pendekatan yang lebih realistis dengan tone gelap, jauh berbeda dengan dua versi Fantastic Four sebelumnya.

Kesan itu pula yang sudah dibangun sedari awal dikala kita melihat dua sahabat, Reed Richards (Miles Teller) dan Ben Grimm (Jamie Bell) tumbuh bersama dan mencurahkan seluruh isi pikiran mereka guna membuat sebuah teleporter. Segala stereotype klise kental terasa: Mulai dari Reed yang sedari kecil berpenamilan polos menggunakan beling mata serta pakaian kelewat rapih, hingga olok-olok yang ia sanggup  dari guru dan teman sekolah alasannya cita-citanya untuk menemukan teleporter yang dianggap konyol. Tapi diluar itu, apa yang terlihat yaitu sebuah awal menjanjikan. Persahabatan sederhana yang cukup hangat dan potensi besar berupa interaksi menarik antara Reed si nerd dengan Ben yang lebih playful tapi memperlihatkan kehangatan seorang sahabat. 
Banyak kritikan menghampiri film ini alasannya start lambat dan gres memperlihatkan transformasi keempatnya (lima ditambah Victor von Doom) dikala film mencapai durasi 45 menit, dari total keseluruhan 100 menit. Artinya hampir separuh durasi dihabiskan untuk drama pengenalan karakter. Bahkan kita gres diberi kesempatan menonton agresi Fantastic Four tolong-menolong sebagai tim pada 20 menit terakhir. Pada paruh awal, atmosfer film ini lebih ibarat sci-fi macam Interstellar dengan segala tetek bengek scientific-wannabe berisikan para ilmuwan bekerja di lab daripada film superhero penuh adegan agresi fantastis. Juga benar bahwa reboot ini punya rasa yang begitu "melenceng" bila dibanding komiknya yang merupakan adonan sci-fi plus fantasi dengan tone ringan. Komik Fantastic Four dengan segala unsur cheesy-nya memang tidak pernah ditujukan sebagai cerita superhero serius, melainkan petualangan menyenangkan tanpa terbatas nalar. 

Tapi apakah pendekatan gritty dan realistis dari Josh Trank merupakan kesalahan? Sesungguhnya tidak. Justru aku cukup menikmati dikala film ini masih bermain-main di ranah sci-fi. Trank berhasil membangun daya tarik hasil pemaparan scientific mumbo jumbo. Absolutely meaningless, but still fun indeed. Memang naskahnya banyak berisi obrolan menggelikan ibarat sebuah overshadowing terhadap huruf Doctor Doom yang diucapkan Sue Storm (Kate Mara). Usaha berlebihan naskahnya untuk terdengar cerdas juga sering berujung konyol misal dikala Susan menjelaskan alasan ia menyukai musik pada Reed lewat definisi ilmiah rumit. Sentuhan drama pun terasa kosong, tapi hingga pada titik ini Trank masih bisa mengemas tontonan yang well-made, sederhana, juga mempunyai pace yang meski cukup lambat namun tertata rapih. Hingga sewaktu kecelakaan yang memperlihatkan kekuatan super itu terjadi, Trank masih bisa menghibur saya. Khususnya dengan atmosfer body-horror ala film-film David Cronenberg. 

Kemudian tragedi itu hadir. Alurnya melompat satu tahun kedepan, dan kita mendapati Sue dan Johnny berlatih di bawah naungan pihak militer, sedangkan Ben a.k.a The Thing telah dipakai sebagai senjata perang. Reed sendiri masih tidak diketahui keberadaannya. Lompatan waktu itu memperlihatkan jurang yang menghalangi pengembangan huruf termasuk interaksi mereka satu sama lain. Mulai dari sini akhirnya Fantastic Four mendadak berganti suasana menjadi sebuah film superhero daripada sci-fi murni. Ironisnya, dikala itulah filmnya semakin mengalami degradasi kualitas. Dinamika yang tadinya tertata menjadi terburu-buru, seolah ingin menebus kesabaran penonton dengan rangkaian alur cepat namun asal tabrak. Saya tidak tahu harus menyalahkan Trank atau pihak studio yang kabarnya mengambil alih fase editing demi membuat versi mereka sendiri. Tapi yang terang Fantastic Four langsung berubah dari film superhero yang berpotensi groundbreaking menjadi kekacauan luar biasa.
Harapan terakhir berada pada titik puncak yang (hampir) selalu menjadi momen terbaik film superhero. Akhirnya Reed, Ben, Sue dan Johnny bersatu untuk mengalahkan Doom...lewat sebuah action sequence 15 menit yang hanya menampilkan sedikit aksi. Daripada klimaks, rangkaian adegan ini lebih mirip second act. Semuanya berlalu begitu cepat tanpa ada satupun momen mengesankan. Kemudian lagi-lagi huruf Doctor Doom disia-siakan. Saya kecewa melihat Reed dan Sue tidak mempunyai chemistry sebagai love interest. Mengecewakan pula disaat Ben dan Johnny yang harusnya menghadirkan love/hate relationship hasil dari saling melempar olok-olokan satu sama lain justru tampak ibarat dua orang asing. Tapi lebih mengenaskan dikala untuk kedua kalinya salah satu villain terbaik milik Marvel berakhir sebagai omong kosong. Tidak hanya desain jelek yang mengingatkan pada John Connor di Terminator Genisys, kita pun gres melihatnya beraksi dikala klimaks, dan tidak butuh waktu usang atau perjuangan keras untuk mengalahkannya. Salah satu villain paling kompleks, paling jenius, dan berbahaya di Marvel Universe mendapat screen time super minim, gampang dikalahkan dan terlihat sangat bodoh. 

Fantastic Four identik dengan suasana menyenangkan, empat huruf utama yang punya interaksi menarik dan ikatan kekeluargaan kuat, serta memorable villain. Pada jadinya tidak ada satu pun dari ketiga hal tersebut yang berhasil dicapai oleh reboot ini. Lagi-lagi aku tidak mempermasalahkan suasana kelam dan realistis, tapi bagaimana bisa menghadirkan kesenangan tanpa adanya keseruan agresi yang memikat? Bagaimana mungkin anda bisa membuat film wacana "keluarga" superhero tanpa memperlihatkan ikatan sedikitpun diantara mereka dan hanya memperlihatkan waktu bagi mereka untuk bersama tidak hingga 30 menit? Film ini ditutup dengan sedikit harapan dikala keempatnya saling mengobrol santai. Bahkan Johnny mulai melontarkan olok-olokan mengenai penampilan Ben sebagai The Thing. Sebuah ending yang memuaskan? Tidak. Karena apa yang keempatnya bicarakan merupakan salah satu pembicaraan terkonyol untuk memilih nama tim superhero. This reboot (especially the second-half) feels like an extended trailer of a promising superhero movie.

Artikel Terkait

Ini Lho Fantastic Four (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email