Thursday, December 13, 2018

Ini Lho Maze Runner: The Scorch Trials (2015)

Apa yang menciptakan The Maze Runner mampu bertahan di tengah film pembiasaan novel young adult yang mulai berguguran? Meski kekuatan dongeng dan karakternya belum mencapai level yang sama dengan The Hunger Game, franchise ini punya keunggulan lain dalam bentuk setting dunianya. Setidaknya hal itulah yang nampak pada film pertama. Bermodalkan labirin berliku penuh monster, sutradara Wes Ball sukses menawarkan sajian agresi unik nan memikat. Dari segi dongeng pun banyak misteri dengan potensi besar untuk ditelusuri. Film pertama berakhir ketika Thomas (Dylan O'Brien) dan teman-temannya berhasil lolos dari "Glade". Walau demikian, beberapa potongan masa kemudian Thomas serta organisasi W.C.K.D masih menyimpan banyak misteri. The Scorch Trials langsung melanjutkan ending film pertama ketika Thomas dan teman-temannya diselamatkan oleh sebuah helikopter yang membawa mereka menuju suatu markas.

Mereka disambut oleh Janson (Aidan Gillen), pimpinan dari markas tersebut. Tidak perlu hingga filmnya menawarkan tanggapan pun gampang ditebak bahwa Janson dan anak buahnya bukanlah para "penolong" menyerupai yang Thomas harapkan. Walau begitu, disana mereka menemukan banyak bawah umur lain yang juga sempat dikurung dalam labirin milik W.C.K.D. Mayoritas dari bawah umur tersebut merasa antusias ketika beberapa waktu sekali, Janson memanggil beberapa dari mereka untuk dibawa ke suatu daerah yang katanya bagaikan nirwana dengan tanah subur dan ladang pertanian. Tapi sekali lagi ada yang mencurigakan dari Janson. Rasa curiga itulah yang dirasakan Thomas, terlebih lagi ketika suatu malam, Aris (Jacob Lofland), orang yang sudah paling usang berada di markas tersebut membawanya melihat sebuah pemandangan mengerikan ihwal nasib bawah umur yang dibawa pergi. 
Meski menawarkan sentuhan unik pada aksinya, terang mustahil menawarkan jenis rintangan serupa dengan labirin film pertamanya. Disitulah tantangan terbesar The Scorch Trials. Meninggalkan setting labirin sempit berisikan monster berjulukan Griever, sekuel ini dibawa ke lingkup yang lebih besar: sebuah hamparan tanah tandus (Scorch). Tapi pada kala dimana padang tandus sudah dijadikan arena kejar-kejaran gila oleh George Miller dalam Mad Max: Fury Road, apa yang ditawarkan oleh Wes Ball dalam film ini? Nyatanya tidak banyak, juga tidak spesial. 

Aura dystopian masih dibangun dengan baik oleh setting-nya, menyerupai ketika reruntuhan gedung pencakar langit saling tumpang tindih, menawarkan kesan kehancuran masif yang efektif. Tapi arena yang cukup menjanjikan untuk sumbangan skala lebih besar itu justru tersia-siakan. Sekali lagi sesungguhnya sudah merupakan keputusan sempurna menciptakan sekuel ini kental dengan nuansa survival horror dengan kehadiran zombie, banyaknya penggunaan suasana gelap, juga beberapa scare jump dalam takaran kecil. Tapi dalam durasi yang lebih panjang (di atas 130 menit) dan skala lebih besar, The Scorch Trials lebih banyak diisi oleh kekosongan. Disaat adegan agresi mengambil alih, Wes Ball sebetulnya sanggup mengemasnya sebagai sajian yang menyenangkan, bahkan beberapa diantaranya cukup menegangkan. Tapi aku sudah berulang kali melihat semua itu. Melihat sekelompok orang saling bertukar tembakan dan ledakan, atau berusaha lari dari kejaran zombie. Kesenangan film pertamanya masih ada, tapi tidak dengan inovasinya.
Cerita yang ditawarkan cukup menarik. Karena meski telah bebas dari kurungan, beberapa karakternya masih terkekang dalam "penjara" mereka masing-masing. Diawal film, Newt (Thomas Brodie-Sangster) menolak seruan Thomas untuk kabur dari markas milik Janson, dengan alasan sudah usang mereka tidak mencicipi tidur di daerah nyaman dan menyantap masakan enak. Tapi penelusuran akan aspek-aspek menarik macam itu alhasil terpinggirkan oleh perjalanan panjang mereka melintasi Scorch. Eksplorasi abjad makin terpinggirkan, disaat sesungguhnya The Scorch Trials lebih membutuhkan itu. Alhasil beberapa sisi drama kurang berkesan, menyerupai ketika Teresa (Kaya Scodelario) mengambil keputusan mengejutkan sebelum klimaks. Memang efektif sebagai twist, tapi kurang menawarkan emotional impact yang harusnya turut hadir. 

Ibaratkan ada seorang penampil yang belum berpengalaman dalam suatu pementasan. Berikan beliau sebuah panggung kecil berisikan beberapa barang untuk dieksplorasi, dan tidak butuh waktu usang baginya untuk berhasil menguasai panggung tersebut. Penonton pun akan terhibur melihat aksinya yang eksploratif dan bisa jadi variatif. Tapi kemudian berikan panggung yang jauh lebih besar dengan jumlah properti yang sama, maka bisa dipastikan ia bakal kesulitan. Alhasil penonton akan lebih sering melihat kekosongan yang tidak jarang menjemukan, pula aksi-aksi repetitif. Begitulah yang terjadi dengan Wes Ball ketika menggarap Maze Runner: The Scorch Trials

Artikel Terkait

Ini Lho Maze Runner: The Scorch Trials (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email