Thursday, December 13, 2018

Ini Lho Red Army (2014)

Olahraga dengan semangat fair play yang diusung tidak jarang menjadi media propaganda berpengaruh serta target empuk politisasi. Contoh paling erat silahkan tengok nasib sepak bola Indonesia beberapa tahun terakhir. Tapi apa yang dipaparkan oleh Gabe Polsky dalam dokumenternya ini ada pada tingkatan berbeda dari sekedar urusan "cari muka". Uni Soviet medio 1970 sampai tamat 1980 dikenal lewat kejayaan tim hockey-nya yang dianggap sebagai tim terbaik sepanjang masa. Tapi menyerupai yang nampak pada opening montage film ini, hockey bagi Soviet kala itu bukan sekedar permainan/olahraga di atas lapangan es. Lebih dari itu, hockey yaitu jalur propaganda pemerintah Soviet di masa perang hirau taacuh untuk mengatakan bahwa sistem milik mereka yaitu yang terbaik. Bagi mereka, ini lebih dari pertandingan dua tim. Ini yaitu peperangan antara komunisme melawan kapitalisme (baca: Amerika Serikat). 

Disajikan lewat sudut pandang Slava Fetisov, kapten sekaligus salah satu legenda hockey Soviet (bahkan dunia), Red Army langsung menampar penonton yang masih berpikir bahwa "sport's just a game". Sedari kecil belum dewasa sudah bermimpi menjadi atlet hockey profesional yang kelak akan membela tim nasional. Klub pujian masyarakat Soviet yaitu CSKA Moscow yang dikenal dengan julukan "Red Army". Tiap tahunnya belum dewasa rela berada di antrian panjang untuk menjalani tes masuk. Dapat diterima di Red Army (lalu tim nasional) bukan sekedar mendatangkan kesenangan biasa, tapi menyerupai yang dituturkan Fetisov, memunculkan pujian serta patriotisme dalam hati mereka. Mereka akan melaksanakan apapun termasuk latihan berat untuk sanggup diterima, sama menyerupai pemerintah Soviet yang tidak segan melaksanakan apapun demi membawa tim hockey mereka merajai dunia.
Sebagai tolak ukur kehebatan sistem Soviet, tidak heran hockey dianggap sebagai segalanya. Bahkan lirik sebuah lagu yang dinyanyikan oleh paduan bunyi sebelum turnamen menyatakan "Real men play hockey, cowards don't play hockey", seolah mengarahkan persepsi bahwa machoisme laki-laki Soviet diukur dengan partisipasi mereka dalam olahraga itu. Pada kenyataannya latihan intens memang sudah menanti para atlet. Demi mendapat hasil maksimal, Stalin turut menginstruksikan pihak militer turut mengawasi jalannya pelatihan. Sedangkan para pemain yang bergabung dengan Red Army sendiri secara otomatis telah terdaftar sebagai anggota militer Soviet. Bahkan disaat tim tengah bertanding di luar negeri, akan selalu ada anggota KGB yang melaksanakan pengawasan ketat selama 24 jam termasuk menahan pasport para pemain begitu selesai berurusan dengan pihak imigrasi (pada masa itu rakyat Soviet dihentikan meninggalkan negaranya). 

Gambaran yang sejatinya sudah cukup ekstrim di atas hanyalah puncak gunung es dari segala fakta mengejutkan wacana obsesi Soviet dalam bidang hockey. Ibarat panggung pertunjukkan, Red Army tidak hanya dibungkus oleh satu tirai. Namun ada banyak tirai berikutnya yang satu per satu dibuka untuk menyibak kejutan demi kejutan yang tersimpan. Saya tidak sedang membicarakan kejutan dalam bentuk plot layaknya film-film penuh twist, namun kejutandari rasa tidak percaya akan suatu obsesi yang berujung pada perlindungan berlebih dari Uni Soviet terhadap para atletnya. Hal itu membuat penyampaian kisahnya berjalan dinamis. Selalu ada hal gres yang diungkap dengan kemasan pace cepat namun tidak pernah terburu-buru. 

Aspek editing memikat yang mengkombinasikan footage wawancara terhadap para legenda hockey Soviet dan jurnalis, footage pertandingan, serta beberapa cuilan animasi juga turut berperan besar membuat dinamika yang kuat. Bukan hanya pengisi, tapi layaknya dokumenter modern yang tidak hanya bermodalkan penuturan interviewee, footage tersebut berperan sebagai alat bantu bertutur sekaligus hiburan visual. Melihat tim Soviet bermain dengan indah (in a way that reminds me of Barcelona's tiki-taka in football) akan membuat siapapun berdecak kagum, bahkan untuk orang yang "buta" akan hockey menyerupai saya.
Red Army bicara wacana perang dingin, propaganda komunisme, wacana persahabatan, juga pastinya wacana kebebasan dan kemanusiaan. Tidak sanggup dipungkiri semua itu yaitu pokok bahasan serius, tapi Gabe Polsky nyatanya tidak ragu untuk mengemas dokumenter ini dengan lebih playful. Disaat dongeng mulai dihantarkan pada fase awal, daripada suasana kelam, kita justru disuguhi upbeat music yang menstimulus hadirnya suasana jenaka sebagai pengiring narasi. Berikutnya, Polsky tetap setia menghadirkan polesan-polesan kecil menggelitik menyerupai lambang Soviet yang bergerak lincah diantara lirik lagu seolah tengah mengiringi lagu anak-anak, sampai ketika beberapa kali kameranya membisu menyoroti lisan Slava Fetisov yang seolah menarik hati audience akan segera hadirnya suatu momen tak terduga. Polsky menandakan bahwa materi serius cenderung kontroversial tidak harus selalu disajikan secara gloomy. Dia Berbagai sistem Soviet terlihat gila (bahkan konyol), jadi kenapa tidak disajikan secara gila pula lewat sentuhan oddball (black) comedy? Mungkin begitu pikirnya. 

Film ini penuh kritik khususnya kepada sistem Soviet serta pendekatan adikara yang dilakukan Viktor Tikhonov kala melatih tim Soviet. Tapi berkaitan dengan sistem komunisme dan training keras cenderung tidak manusiawi itu, Polsky masih sempat menggiring penonton pada pemikiran dilematis. Apakah semua itu sepenuhnya patut disalahkan? Karena pada alhasil tidak sanggup dipungkiri para pemain Soviet memang bangun diantara jajaran atlet hockey terbaik sepanjang masa alasannya yaitu gemblengan yang didapat. Bahkan ketika bermain bersama di NHL (National Hockey League) mereka sanggup meraih gelar juara. Kita pun turut melihat keruntuhan Uni Soviet, dan kembalinya Fetisov dan kawan-kawan ke Russia yang gres saja merdeka. Lalu apa yang mereka lihat? Perubahan sistem. Bahkan boleh dibilang degradasi mental ketika banyak kriminalitas terjadi dan paham kapitalis yang mulai merangsek masuk dalam tiap sendi sosial masyarakat. Kaprikornus apakah segalanya menuju kearah lebih baik atau lebih buruk? Tidak ada balasan pasti. Red Army bersikap layaknya ideologi itu sendiri, yakni sebuah konsep yang teramat subjektif untuk sanggup ditentukan benar dan salahnya. Gabe Polsky paham benar akan itu dan mengambil keputusan tepat.

Artikel Terkait

Ini Lho Red Army (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email