Wednesday, December 5, 2018

Ini Lho Hangout (2016)

Dalam ulasan untuk "Koala Kumal" beberapa bulan kemudian (baca di sini) saya menyatakan urgensi biar Raditya Dika berani mengambil risiko, beranjak dari komedi romantis patah hati demi menghindari stagnasi. Karena itu saya antusias menyambut perilisan "Hangout" yang mengawinkan elemen komedi dengan thriller. Di luar dugaan eksperimen Dika bukan itu saja. Gaya humornya ikut bertransformasi, sehingga gampang memaafkan sederet kekurangan, memberi apresiasi lebih kepada film yang rasanya takkan mengalami kesulitan berarti menembus satu juta penonton ini (telah mengumpulkan 100.000 penonton di hari pertama).

Seperti telah diketahui bersama, jajaran cast film ini memerankan diri sendiri, atau mungkin lebih tepatnya versi alternatif. Karena kita tidak tahu apakah di dunia konkret Titi Kamal memang penggila acara survival, Surya Saputra begitu memperhatikan penampilan, atau Dinda Virgo Dewi ialah sosok yang jorok, walau terperinci Raditya Dika tidak terlilit hutang dan tinggal di kontrakan. Selain empat nama di atas, hadir pula Mathias Muchus, Prilly Latuconsina, Bayu Skak, Soleh Solihun dan Gading Marten. Sembilan selebritis tersebut menerima seruan misterius ke sebuah pulau kosong tak berpenghuni yang tanpa diduga berujung ajal mereka satu per satu. 
Kekuatan "Hangout" menyeruak melalui gelaran rujukan pop culture (GGS, Dahsyat-Inbox, AADC?) atau dikala Dika bermain-main dengan ciri jenaka tiap abjad yang kadang terasa sebagai sindiran akan sosok-sosok public figure (Obsesi Surya pada penampilan, image berbeda Dinda di belakang kamera, Bayu yang tak pernah lepas dari kameranya). Bukan satir cerdas tapi terperinci menggelitik, dan Dika pun nampak bersenang-senang mengolah itu. Ironisnya, sewaktu masing-masing tokoh menerima kesempatan  walau sejenak  bersinar, abjad paling tidak menarik malah Dika sendiri. Dika tetaplah Dika dengan gaya deadpan yang bahkan di sini sempat pula ia olok-olok. 

Kultur terkenal memang salah satu kelebihan Dika, sayangnya keberhasilan aspek tersebut urung tertular pada percobaan mengemas gaya komedi lain. Berulang kali ia lemparkan toilet joke, dick joke, dan segala dagelan jorok lainnya namun tak satupun sempurna sasaran. Seolah lelah dianggap tak berkembang, Dika berusaha keras tampil beda, tapi semakin jorok humornya, semakin terperosok pula daya bunuh "Hangout". Bukan berarti seluruhnya gagal, lantaran beberapa komedi hitam seputar kematian, khususnya adegan pembunuhan yang melibatkan perangkap tombak ialah kegilaan yang jenaka. 
Eksperimen di ranah thriller memiliki persentase keberhasilan dan kegagalan setara. Tatkala ketegangan nihil tercipta, nyatanya Dika cukup piawai  dan berani  menciptakan selesai tragis, "kejam", nan berdarah bagi para tokohnya. Kejutan soal identitas sang pembunuh sudah sanggup ditebak bahkan semenjak kemunculan pertama pelakunya, tapi "predictable" bukan (satu-satunya) kelemahan twist tersebut, melainkan ketidakjelasan intensi. Apakah sindiran bagi minimnya komunikasi dan pertemanan? Atau sekedar presentasi komikal mengenai kekonyolan motivasi? Pilihan yang mana pun sama saja, lantaran keduanya sama-sama tidak berhasil memperlihatkan dampak. 

Terkadang "Hangout" bakal membuat anda tertawa oleh kegilaan dan semangat bersenang-senangnya, namun di lain kesempatan memunculkan wajah masam kala mendapati tidak maksimalnya uji coba seorang Raditya Dika. Sesekali terasa pintar, di lain waktu kebodohan kerap mencuat. It's kinda divisive indeed. Tapi sekali lagi perjuangan Raditya Dika (sedikit) keluar dari zona nyaman ini sangat layak diapresiasi, dan bukan tak mungkin di masa depan nanti sang pelawak akan menghasilkan karya unik pula luar biasa. He's capable of doing that

Artikel Terkait

Ini Lho Hangout (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email