Friday, December 28, 2018

Ini Lho It Follows (2014)

Seorang gadis berlari ketakutan keluar dari rumahnya. Dia menyerupai sedang dikejar oleh sesuatu/seseorang, tapi kita tidak pernah melihat sosok tersebut. Keesokan paginya, sang gadis telah tewas di pantai dalam kondisi mengenaskan. Adegan pembuka itu mengesankan bahwa "it" dalam judul film yakni sosok misterius yang tidak akan nampak dan diketahui sosoknya. Narasi kemudian berpindah, berfokus pada gadis lain berjulukan Jay (Maika Monroe) yang hendak berkencan dengan laki-laki berjulukan Hugh (Jake Weary). Pada awalnya kencan terlihat lancar dimana keduanya saling berinteraksi dengan nyaman. Namun situasi berubah sedikit absurd ketika Hugh melihat seorang perempuan berbaju kuning sedangkan Jay tidak. Pada kencan berikutnya, Hugh membius Jay sesaat sehabis keduanya berafiliasi seks. Di sebuah bangunan kosong, Hugh bercerita bahwa alasannya melaksanakan itu yakni untuk memindahkan teror yang ia alami. Sebuah teror yang hanya sanggup dipindahkan (ditularkan) lewat relasi seks dan sang korban akan terus diikuti secara perlahan oleh sosok misterius sebelum alhasil dibunuh olehnya.

Seperti yang dikatakan oleh sutradara sekaigus penulis naskah David Robert Mitchell, dongeng film ini akan terdengar begitu bodoh. Sebuah teror/kutukan dari makhluk supranatural (?) yang berpindah lewat relasi seks memang terkesan udik dan murahan menyerupai kebanyakan horor kelas B diluar sana. Tapi sebaliknya, sehabis diterjemahkan oleh Robert Mitchell ke layar, It Follows justru menjadi sajian stylish yang begitu elegan. Mulai dari setting, properti, sampai score garapan Disasterpeace, semuanya memiliki rasa retro. Memang gaya 80-an menyerupai ini tengah menjadi cara yang digemari para sineas indie untuk membuat filmnya lebih keren. Salah satu pola terbaru sanggup dilihat pada The Guest (review) milik Adam Wingard. Tapi It Follows bukan sekedar pamer gaya tanpa tujuan. Dari banyak sekali aspek di atas, yang paling mayoritas tentu saja musik, dan itu dimanfaatkan oleh Robert Mitchell untuk membangun atmosfer tidak nyaman disini. Scoring-nya bersinkronisasi tepat dengan gaya sang sutradara yang menuturkan alurnya secara lambat. Suatu komposisi yang terbukti efektif mewakili kecemasan yang melanda karakternya, kemudian menularkan itu pada penonton.
Cara mengundang rasa takut lewat pembangunan atmosfer ini juga yang sebetulnya membuat saya sedikit dikecewakan ketika Robert Mitchell menentukan untuk memperlihatkan perwujudan sosok "it". Pada alhasil penonton memang tidak pernah tahu siapa atau apa sebetulnya makhluk tersebut, tapi tetap ada penurunan rasa misterius yang hadir oleh unseen terror lewat kemunculan tersebut. Tapi hal tersebut sangat sanggup dimaafkan mengingat kelihaian Robert Mitchell dalam mengemas setiap penampakan yang ada. Desain "it" sebetulnya sederhana dan tidaklah original. Kita sudah sering melihat sosok menyerupai ini dalam film-film bertemakan cult organization. Tapi semuanya kembali lagi pada cara penyajian, dan Robert Mitchell tahu cara menyajikan sosok tersebut dengan begitu mengerikan. Secara timing sesungguhnya tidak terlalu spesial, tapi yang membedakan formula film ini dengan horor modern kebanyakan yakni ketiadaan kesan jump scare yang mengandalkan musik menghentak. Sebaliknya, mayoritas penampakan sama sekali tidak diiringi musik, dan justru dari situlah kesan creepy hadir. Sayang, sehabis konsistensi baik dalam atmosfernya, titik puncak film ini begitu datar. Saya yakin minimnya ketegangan di titik puncak banyak dipengaruhi oleh sosok "it" yang ditampakkan.
Kekurangan lain film ini terletak pada karakter. Disaat pemaparan horornya berusaha menjauh dari formula klise, karakternya justru menerima perlakuan sebaliknya. Tipikal abjad film horor yakni tindakan udik yang diambil ketika tengah menerima teror. Daripada mengambil langkah paling aman, seringkali mereka justru membahayakan diri sendiri semisal pergi sendirian ke daerah sunyi daripada tetap di tengah keramaian. Hal tersebut begitu nampak pada abjad Jay. Pada sebuah momen ketika untuk pertama kalinya teman-teman Jay menyadari bahwa sosok misterius itu benar-benar ada, Jay justru menentukan untuk kabur sendirian. Bukankah lebih kondusif jikalau bersama teman-temannya? Bukankah Jay sanggup memberi tahu posisi dari makhluk itu pada mereka sambil tetap berusaha kabur bersama? Oh, ternyata semua itu disimpan sebagai klimaks. Selain itu banyak lagi kebodohan abjad yang hanya punya satu tujuan: memfasilitasi sosok "it" untuk sanggup menebar teror. Patut disayangkan alasannya Jay dengan segala kecemasan yang dialami sanggup menjadi abjad perempuan kompleks, menyerupai yang dipertontonkan The Babadook (review).

Diluar kebodohannya, bagaimana Jay dihadirkan sebagai sosok yang dihantui kecemasan terasa selaras dengan tema yang diangkat oleh film ini. Untuk lebih mendalami temanya, mari tengok dua literatur yang sempat dinarasikan disini, yaitu novel The Idiot dan puisi The Love Song of J. Alfred Prufrock. Keduanya punya beberapa kesamaan, dimana salah satunya menyoroti tema kematian, atau lebih tepatnya insan sebagai makhluk yang tidak hidup selamanya. Fakta itu membuat kecemasan bahwa suatu ketika insan akan mati, sama menyerupai yang dialami oleh Jay. Kedua literatur itu juga membahas informasi sosial yang salah satunya tercipta oleh hasrat seksualitas. Seks dalam film ini menjadi cara untuk memindahkan teror (baca: menularkan kematian). Sosok "it" disebarkan lewat seks, dan jikalau dikaitkan dengan informasi sosial sanggup jadi "it" yakni perlambang dari penyakit menular seksual. Atau jikalau tidak sedetail itu, setidaknya ia yakni citra bagaimana aktifitas seksual yang pada masyarakat modern ketika ini justru seringkali berujung pada kehancuran bahkan janjkematian mereka. Terakhir, saya begitu menyukai ending-nya yang multi-interpretasi namun bukanlah sebuah bentuk kebingungan sang sutradara dalam mengakhiri filmnya. Sebaliknya, kesan ambigu tersebut makin memperkuat misteri yang menyelimuti sepanjang cerita.

Verdict: Tidak sempurna, tapi pengemasan David Robert Mitchell membuat It Follows yang punya bujet murah ini jadi terasa jauh lebih mahal dari horor penuh jump scares belakangan. Semakin berkelas pula ketika ceritanya menyajikan kritik terhadap modern society dan sikap seks mereka, meski tanpa interpretasi itu pun filmnya sudah cukup kuat.

Artikel Terkait

Ini Lho It Follows (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email