Thursday, December 13, 2018

Ini Lho The Walk (2015)

The Walk karya Robert Zemeckis ini bakal menunjukkan teror bagi para penderita acrophobia (takut ketinggian). Beberapa kenalan saya mengaku sudah berkeringat masbodoh melihat trailer-nya. Saat film dimulai pun, seorang laki-laki di samping saya tidak henti-hentinya bersumpah serapah melampiaskan kecemasannya sambil menggerakkan kakinya dengan sangat kencang. Begitu film selesai, ia meminta maaf bila tingkahnya telah mengganggu saya dan mengakui ketakutannya akan ketinggian. Saya tidak takut ketinggian. Tapi dikala berada di suatu hal yang bergerak di ketinggian saya merasa cemas, sebut saja pesawat dan lift. Menyaksikan titik puncak The Walk saat Philippe Petit (Joseph Gordon-Levitt) menyeberangi dua gedung World Trade Center di atas kabel terasa cukup menegangkan. Tapi tidak membangkitkan kecemasan penuh rasa tidak nyaman.

Segala bahan promosi film ini menjanjikan titik puncak menegangkan tersebut yang pada karenanya tersaji selama 30 menit terakhir film. Tapi dengan durasi 2 jam, Zemeckis pastinya tidak bisa hanya mengandalkan momen tersebut. Akhirnya sang sutradara membagi filmnya kedalam tiga bagian: pengenalan abjad Philippe Petit, persiapan menuju penyeberangan yang ia sebut "coupe", dan klimaksnya. Philippe diceritakan sudah terobsesi dengan atraksi berjalan di atas kawat (high-wire) sejak menonton pertunjukkan Papa Rudy (Ben Kingsley) di sebuah sirkus dikala ia masih kecil. Semenjak itu ia terus berlatih secara belajar sendiri dengan tali yang ia pasang sendiri di pekarangan rumahnya. Hingga beberapa tahun kemudian Philippe "resmi" menjadi murid Papa Rudy. 

The Walk adalah film mengenai passion serta mimpi, setidaknya begitulah seharusnya. Itu alasan mengapa pengenalan Philippe pada penonton menjadi penting. Penonton wajib dibentuk mengenal, bahkan memahami passion sang karakter. Berjalan di atas kawat ialah aktivitas menantang maut. Kenapa ia terobsesi akan hal itu? Apakah demi mencicipi kebebasan? Atau untuk mendekatkan diri dengan simpulan hayat tanggapan aneka macam permasalahan masa lalu? Tapi tidak ada sekalipun waktu dimana Zemeckis meluangkan waktu guna mengeksplorasi alasan itu. Kita dipaksa untuk mendapatkan begitu saja. Kenapa Philippe terobsesi? Well...just because
Pada tingkatan tertentu, film bertema ibarat ini tidak hanya bisa menggerakkan emosi penonton, tapi juga inspiratif. Saya tidak begitu menyukai kata "inspiratif", tapi begitulah adanya. Keberanian karakternya untuk mengejar kemustahilan dan melaksanakan hal-hal absurd haruslah berkesan pula beralasan. Jika tidak, maka hanya kenekatan kosong yang nampak. Akibat kegagalan membentuk drama besar lengan berkuasa pada paruh awal, sosok Philippe pun tidak terasa simpatik. Saat keegoisannya nampak tanggapan kecemasan sebab hari pelaksanaan semakin dekat, saya tidak mencicipi apapun kecuali Philippe ialah laki-laki yang egois. Hanya keegoisan dan amarah yang nampak, bukan percikan hasrat besar sebab harapan yang meluap-luap. 

Sangat disayangkan sebab Zemeckis bahu-membahu sanggup menghadirkan momen emotional breakdown yang meyakinkan dikala itu. Mendekati d-day sebuah insiden besar, pastilah orang yang bersangkutan bakal mengalami pergolakan emosi. Kekhawatiran akan kegagalan ditambah paranoid akan probabilitas simpulan hayat yang besar begitu menguras emosi Philippe. Akting Joseph Gordon-Levitt turut mendukung hal itu. Sang bintang film sudah habis-habisan menguras emosinya. Kita bisa melihat percampuran segala emosi yang berujung pada tingkah obsessive-compulsive dalam karakternya. Gordon-Levitt pun secara total telah menguras fisik dan psikisnya pada cuilan tersebut. Bayangkan, betapa kuatnya momentum ini bila sebelumnya Zemeckis berhasil menciptakan pondasi besar lengan berkuasa akan hasrat beserta mimpi seorang Philippe Petit.
Sama dengan dokumenter Man on Wire (juga ihwal Philippe Petit), Zemeckis turut mengemas persiapan Philippe dan "kaki tangannya" ibarat sajian heist movie. Menggunakan penyamaran yang berbeda-beda, Philippe tiap hari mengumpulkan informasi ihwal detail gedung. Kemudian pada hari pelaksanaan, bermacam kebijaksanaan kancil mereka gunakan biar bisa membawa banyak peralatan ke puncak gedung. Disitulah The Walk mulai menemukan daya pikatnya. Alur cepat nan dinamis ditambah sedikit bumbu komedi jadi resep Zemeckis menghadirkan sajian thrilling. Dari drama yang dangkal, film ini perlahan bertransformasi menjadi crime-thriller menegangkan sekaligus menyenangkan. 

Lalu hadirlah titik puncak yang merupakan jualan utama film ini. Setelah satu jam pertama yang bagai dibentuk setengah hati, klimaksnya menjadi dikala dimana Robert Zemeckis mencurahkan segenap kemampuannya sebagai seorang sutradara. Tanpa perlu lagi mengutamakan kekuatan bertutur, pemaksimalan teknis visual dalam pengambilan gambar jadi yang utama. Efek 3D yang sempat tidak terasa mempunyai kegunaan (kecuali warna hitam-putih diawal yang nampak indah karenanya) dieksploitasi untuk menunjukkan kedalaman visual. Tujuannya jelas, biar adegan Philippe menyeberangi WTC sanggup hadir, sehingga memunculkan ketegangan senyata mungkin. Saya akui Zemeckis cukup berhasil. Terbukti oleh histeria yang nampak pada penonton dengan acrophobia

Tapi ibarat yang sudah diungkap di atas, saya sendiri tidak mencicipi kecemasan ibarat itu. Memang benar klimaksnya cukup menegangkan, tapi tidak hingga menghadirkan kesan tidak nyaman atau menciptakan terpaku di daerah duduk. Terdapat dua alasan, pertama sebab saya tidak merasa peduli dengan karakternya. Saya tidak peduli walaupun orang (yang nampaknya) absurd yang mengatasnamakan passion ini akan terjatuh dari ketinggian 110 lantai. Bahkan bila itu terjadi nampaknya bakal meningkatkan intensitas. Kedua, meski efek 3D-nya maksimal, setting yang terhampar masih jauh dari kesan nyata. Segalanya tidak jauh beda dari beberapa film motion capture 3D milik Zemeckis sebelumnya. Visualnya indah namun masih belum selaras dengan pemandangan natural. 

Tidak ada passion dalam film yang seharusnya bertutur mengenai passion ini. Cukup menghibur dengan beberapa momen intens tapi tidak hingga terasa mencengkeram. Menyaksikan film ini saya pun menyadari bahwa ketakutan saya selama ini bukan sebab ketinggian, melainkan simpulan hayat dan ketidakberdayaan. The Walk tidak cukup aktual untuk bisa memunculkan kembali rasa takut tersebut. 

Artikel Terkait

Ini Lho The Walk (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email