Thursday, December 6, 2018

Ini Lho A War (2015)

Membahas peperangan apalagi menggunakan sudut pandang kemanusiaan memang tak pernah ada habisnya sampai datang masa di mana hal tersebut tidak terulang lagi. Film ber-setting medan perang baik yang mengusung pesan anti-war atau sekedar glorifikasi terhadap desingan peluru jumlahnya pun sudah tak terhitung, sehingga filmmaker mesti berusaha lebih keras semoga karyanya meninggalkan kesan di hati penonton. A War karya Tobias Lindholm sekaligus perwakilan Denmark di ajang Oscar 2016 (berhasil menembus nominasi final) ini sekilas tanpa inovasi. Tengok saja judulnya yang mengundang pertanyaan, apakah (A) Klise dan malas, atau (B) straight to the point, menggambarkan keseluruhan kisah di dalamnya.

Penonton pribadi dibawa menuju Provinsi Helmand, Afganistan, daerah pasukan militer Denmark yang dipimpin Claus Michael Pedersen (Pilou Asbæk) tengah bertugas. Misi utama mereka yaitu berpatroli demi melindungi warga sipil dari pasukan Taliban. Suatu ketika ketika tengah menjalankan misi, terjadi kecelakaan yang menewaskan salah seorang pasukan. Merasa bertanggung jawab, Claus menentukan ikut terjun ke lapangan, memimpin pasukannya secara langsung. Sementara itu, secara bersamaan alurnya kerap berpindah menyoroti kehidupan keluarga Claus di rumah, termasuk bagaimana repotnya sang istri, Maria (Tuva Novotny) merawat ketiga anak mereka sendirian. 
Patut ditekankan bahwa A War bukanlah film perang dengan dominasi adegan baku tembak. Fakta tersebut sudah bisa diterka kalau menengok bujet yang hanya berjumlah $1.2 juta. Selain ledakan ranjau di adegan awal, sepanjang durasi 115 menit hanya ada satu momen berisikan hujan peluru, itupun tidak tersaji dalam skala besar dan jauh dari kesan bombastis. Membagi kisah menjadi dua babak, fokusnya lebih menitikberatkan pada problema moralitas baik di dalam maupun luar medan perang. Paruh pertamanya berupa frontline drama, mengetengahkan pada keharusan Claus mengambil keputusan-keputusan dilematis sebagai hasil ukiran antara nurani dengan prosedural. Sampai semuanya berpuncak pada baku tembak antara militer Denmark melawan Taliban, di mana keputusan Claus berujung konsekuensi yang harus ia dan keluarganya tanggung.
Paruh keduanya berupa courtroom drama, membawa konflik dari garis depan peperangan menuju ruang persidangan. Jika babak pertama berfungsi memaparkan, maka babak keduanya mengajak penonton merenungi wacana moralitas selaku tema film. Dalam naskah garapan Tobias Lindholm, terdapat pembeda antara A War dengan formula milik Hollywood, yakni tatkala Claus tidak diposisikan seutuhnya sebagai "sosok putih". Penonton sama sekali tidak digiring untuk mendukung atau mengutuknya, alasannya yaitu kita sendiri tidak bisa (semudah itu) menentukan kebenaran, di mana selalu ada reasonable doubt dalam tiap sisi. Keputusan Lindholm untuk tidak menyederhanakan kompleksitas tema memperlihatkan bobot tersendiri di tengah perjalanan alur yang gotong royong predictable.

Selain momen titik balik di pertengahan film, A War sesungguhnya terasa amat familiar, mulai dari tema, cerita, bahkan perpindahan fokus menuju ruang persidangan juga bukanlah suatu hal gres meski harus diakui Lindholm cukup kokoh menghantarkan tiap aspeknya. Penggunaan shaky cam dalam taraf sewajarnya untuk adegan battlefield menguatkan suasana chaotic realistis, menjauhkan filmnya dari kesan glorifikasi peperangan berbalut kemewahan visual. Courtroom drama-nya pun bisa menggugat perspektif saya akan moralitas. Namun lagi-lagi semuanya terlalu familiar, mengakibatkan A War tidak memberi impact atau provokasi lebih kuat.

Artikel Terkait

Ini Lho A War (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email