Thursday, November 8, 2018

Ini Lho War For The Planet Of The Apes (2017)

Sulit membuat sekuel bagus. Apalagi dalam konteks blockbuster ketika dominan sekuel dibentuk demi mengeruk laba komersil (yang mana tidak keliru). Dan banyak sekuel memaksakan arah ketimbang meneruskan tahapan proses karakternya secara natural. Seri reboot Planet of the Apes jadi satu pola langka, membawa penonton mengamati tokoh-tokohnya tumbuh dari monyet korban eksperimen yang memberontak di Rise, membangun kehidupan sembari makin berguru arti menjadi makhluk berakal di Dawn, kemudian berkulminasi pada War di mana peperangan tak semata soal baku hantam fisik, pula bergulat dengan perasaan. 

Beberapa tahun pasca Dawn yang memanaskan konflik dua spesies, Caesar (Andy Serkis) memimpin koloni monyet tinggal di pedalaman hutan sambil terus menghindari pasukan militer insan yang semakin berhasrat memusnahkan ia dan rakyatnya. Dari pemandangan paling pertama, War dengan Matt Reeves selaku sutradara eksklusif memamerkan sihirnya. Opening kala insan dibantu beberapa monyet mantan pengikut Koba (dipanggil Donkey) menyerbu koloni Caesar yaitu kesunyian mencekik yang senantiasa mengisi filmnya. Reeves berani membisukan momen demi momen, dan itu pilihan bijak lantaran dominan monyet berkomunikasi lewat gerak tubuh, dan War berfokus pada mereka. 
Pun kesunyian itu urung membosankan. Pertama berkat tambah mumpuninya efek motion capture. Begitu nampak meyakinkan para monyet hingga terasa magical, seolah tengah menyaksikan primata positif dengan intelegensi sudah berkembang pesat. Kedua tentu terkait akting. Tanpa mengesampingkan penampil lain, Serkis terang menonjol. Sang bintang film menghidupkan, bahkan menghembuskan hati dalam segala tutur kata hingga guratan rasa terkecil berupa tatapan mata atau perubahan ekspresi mikro. Diwakilinya gejolak kompleks dalam diri si pemimpin yang terjebak di tengah tanggung jawab melindungi segenap rakyat dan emosi personal. Yes, this time it's personal.

Semua diawali penyergapan tengah malam yang bergerak demikian intens menggiring kita menuju tragedi. Michael Giacchino mengkreasi musik yang sanggup diapresiasi tinggi baik dari keunikan gaya maupun rasa mencekam yang tertuang tegas. Di luar dampak peristiwanya, musik Giacchino memastikan momen ini tersaji sebagai horor. Dan bukan terakhir kali scoring menyegarkan kaya rasa berhasil ia berikan. Kejadian tersebut mendorong Caesar nekat memburu pimpinan militer yang hanya kita kenal sebagai Kolonel (Woody Harrelson, dalam performa yang mengingatkan pada Kolonel Kurtz-nya Marlon Brando di Apocalypse Now). Di sini kerumitan dilematis Caesar nampak. Untuk pertama kali sepanjang franchise ini penonton diajak mencurigai keputusannya.
Akhirnya ditemani Maurice (Karin Konoval), Rocket (Terry Notary), dan Luca (Michael Adamthwaite), perjalanan Caesar dimulai. Menunggangi kuda melintasi bentangan alam luas yang ditangkap begitu indah oleh sinematografi Michael Seresin, War bagaikan suguhan western. Hanya saja gurun gersang nan benderang digantikan lokasi bersalju yang masbodoh pula kelam. Pun dongeng para monyet mencari rumah gres demi kehidupan lebih baik sejalan dengan esensi setumpuk film western masa lampau. Reeves membawa perjalanan ini dalam tempo cukup lambat namun bukan diseret sekaligus terasa padat sebagaimana naskah tulisannya bersama Mark Bomback enggan menyisakan celah. Tensi melambat di antara agresi tak berujung kekosongan melainkan pembangunan intensi menuju agresi berikutnya, membuat penonton sulit menentukan kapan ketika sempurna sejenak ke kamar kecil.

Sekalinya agresi yang dijanjikan hadir, Reeves tidak mengecewakan. Walau belum sebombastis Dawn (adegan penyergapan gudang senjata dengan putaran kamera 360 derajat di tank masih action terbaik franchise ini), setidaknya keasyikan konsisten diciptakan, bahkan sebatas kera-kera kecil bergelantungan di bentangan kabel layaknya pertunjukan sirkus pun menarik. Selain itu, tiap gelaran agresi selalu memberi dampak penting bagi emos karakternya, bukan sekedar ledakan hampa. Semakin menyenangkan ketika War tidak melulu memancarkan aura depresif. Selipan humor sesekali mengisi di ketika tepat. Menyegarkan tanpa mendistraksi. Tampil pula Bad Ape (Steve Zahn) yang berkat kesesuaian timing serta penokohan likeable tak berujung jadi comic relief perusak suasana macam Jar Jar Binks (berisiko ke sana bila ditangani secara salah).

Bertempo cukup lambat juga bernuansa masbodoh bukan berarti minim rasa. Reeves menolak berlebihan mendramatisir, juga tidak meredam emosi. Seolah meracik penuh kasih sayang, sang sutradara mengandalkan sensitivitas tutur, sembari tidak terburu-buru memastikan rasa yang coba disampaikan merasuk di hati penonton. Reeves menunjukan bahwa dramatis sanggup terasa artistik nan elegan melalui keputusan mempercantik ekspresi perasaan daripada sepenuhnya menahan itu. Kelemahan mungkin muncul sewaktu third act-nya lebih mementingkan ragam penuturan filosofis daripada menumpahkan puncak aksi. Sedikit anti-klimaks tapi bukan masalah. Masih menyenangkan. Tatkala monyet bertambah cerdas sedangkan sebaliknya insan menjadi primitif, tinggal tersisa satu persamaan. Rasa. Itulah pemersatu yang semestinya meruntuhkan perbedaan. War for the Planet of the Apes adalah epilog trilogi mengesankan yang turut memberi kritik sempurna target terhadap gosip sosial masa sekarang sekaligus mengatakan solusi. 


Review ini disponsori UC Web. Ulasan film ini di UC Web sanggup anda kunjungi di: http://tz.ucweb.com/7_25r9y

Artikel Terkait

Ini Lho War For The Planet Of The Apes (2017)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email