Thursday, December 6, 2018

Ini Lho Son Of Saul (2015)

Melalui film pemenang Best Foreign Language Film (perwakilan Hungaria) di ajang Oscar 2016 ini, definisi "character-driven movie" dibawa ke tingkatan lebih jauh oleh sutradara Lazlo Nemes  juga menulis naskah bersama Clara Royer. Karakter utamanya berjulukan Saul Auslander (Geza Rohrig), laki-laki Yahudi asal Hungaria yang tergabung sebagai anggota Sonderkommando dalam kamp konsentrasi di Auschwitz. Para Sonderkommando bertugas menyingkirkan jenazah para korban hollocaust dan menerima beberapa "keistimewaan" ibarat barak tersendiri, makanan, sampai rokok karena pihak Nazi membutuhkan mereka untuk selalu bugar. Karena itu pula tentara Nazi tidak asal membunuh anggota Sonderkommando sebagaimana tahanan lainnya.

Di kemunculan pertamanya, kita melihat Saul berjalan perlahan menuju fokus kamera, dan sejak itu, selama 107 menit durasi film amat jarang beliau menghilang dari frame. Camerawork Matyas Erdely didominasi dua jenis shot, yakni close-up sisi depan seolah penonton tengah bertatap muka dengan Saul, atau di belakang bahu, membuntuti ke mana ia melangkah. Matyas Erdely mengeliminasi kehadiran Saul dari layar hanya saat suatu insiden sangat perlu ditekankan. Bukan itu saja, penggunaan aspect ratio 1.37 : 1 (kotak) plus shallow focus (fokus di satu titik, sisanya blur) menyempitkan bidang pandang.
Dampak teknik pengambilan gambar tersebut ialah atensi nyaris sepenuhnya tertuju pada Saul. Penonton diposisikan sebagai observer, bukan sekedar di tataran tingkah laku, namun pribadi ke dalam batin sang karakter. Kita melihat tatapan matanya, pula verbal mikro yang subtil tapi besar lengan berkuasa menyiratkan bagaimana sang tokoh begitu terguncang atas rangkaian pemandangan horor di kesehariannya mengurusi mayat-mayat. Dia tidak ekspresif, lebih sering menatap kosong yang justru menegaskan betapa kengerian tersebut telah mengganggu isi pikirannya. Geza Rohrig menampilkan akting solid, menekankan di ketersiratan rasa ketimbang pengekspresian emosi gamblang. 
Senantiasa di bersahabat Saul, kita pun tak lebih banyak tahu daripada sang protagonis, sebatas memahami bahwa Saul terenggut perhatiannya oleh jenazah seorang bocah yang hendak diautopsi. Merasa sang bocah harus diberikan pemakaman layak sesuai pedoman Yahudi, Saul mempertaruhkan nyawanya, berpindah dari satu unit ke unit lain guna mencari seorang Rabbi. Hanya itu yang ia pikirkan, tanpa mempedulikan carut marut di sekelilingnya termasuk rencana pemberontakan Sonderkommando. Lalu apakah sang bocah benar anak Saul atau sekedar bentuk usahanya menebus rasa bersalah sesudah sekian usang membuang jenazah rekan-rekan sejawat? Mungkin senyuman simpul di tamat film sanggup menjadi jawaban.

Saul tidak memperhatikan (atau peduli) terhadap segala hal di atas, begitu pula penonton, di mana seringkali saya dibentuk galau oleh kekacauan yang mendadak hadir. Kebingungan itu memang sengaja diciptakan Nemes semoga mengerucutkan fokus pada Saul seorang sekaligus meletakkan penonton pada kondisi yang sama dengannya. Tujuan itu tercapai, namun di sisi lain kenyamanan mengikuti alur penceritaan jadi terganggu. It's too chaotic and confusing. Tapi paling tidak "Son of Saul" telah berhasil menyuguhkan temvariasi sudut pandang serta cara penceritaan bagi tema hollocaust.

Artikel Terkait

Ini Lho Son Of Saul (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email