Tuesday, December 4, 2018

Ini Lho Free Fire (2016)

"Free Fireto shootout is like Steven Spielberg's "Duel" to car chase. Keduanya sama-sama mengambil momen paling dinantikan dalam film aksi, lalu mengembangkannya menjadi bahan feature. Sutradara merangkap penulis naskah Ben Wheatley (Kill List, Sightseers, A Field in England) seolah berkata pada penonton, "Kalian suka baku tembak? Silahkan nikmati 90 menit parade desingan peluru". Pasca horor psikologis, horor psychedelic, komedi hitam, hingga satir dystopian drama, Free Fire makin memperkaya warna filmografi sang sineas asal Inggris. 

Bertempat di sebuah gudang di Boston tahun 1978, filmnya mengisahkan dua anggota IRA (Irish Republican Army), Chris (Cillian Murphy) dan Frank (Michael Smiley) yang hendak membeli senjata dari Vernon (Sharlto Copley). Turut hadir pula Justine (Brie Larson) selaku penghubung dua belah pihak. Namun bahkan semenjak dibuka oleh Ord (Armie Hammer) pertemuan ini sudah bermasalah ketika Vernon tidak membawa senjata sesuai pesanan. Konflik makin memanas tanggapan terungkapnya sebuah fakta, memecah baku tembak di antara mereka. Tidak ada jagoan di sini, hanya dua kubu kriminal yang tak segan menumpahkan peluru. 
Penggemar Quentin Tarantino dan karya-karya awal Guy Ritchie (Lock, Stock and Two Smoking Barrels, Snatch) akan terpuaskan oleh bagaimana Wheatley membangun intensitas di satu lokasi berisi tokoh-tokoh abnormal yang gemar bersumpah serapah dan bertingkah kasual sembari saling tembak kolam sedang menikmati keseruan bermain bersama teman. Wheatley memang tidak berniat mengakibatkan Free Fire gelaran serius. Entah gaya deadpan Armie Hammer, kepiawaian Sharlto Copley memerankan tokoh bodoh, perilaku histeris Brie Larson di beberapa kesempatan, maupun komedi hitam berupa tukar barang peluru yang bagai menggantikan bahasa verbal pertengkaran karakter  adegan Justine dan Harry (Jack Reynor) ialah teladan terbaik  setia memancing tawa.

Naskah hasil goresan pena Ben Wheatley bersama Amy Jump amat kaya dalam perbendaharaan kalimat, akhirnya karakternya menyerupai mempunyai ratusan cara guna mengungkapkan olok-olokan atau luapan perasaan. Walau sejatinya secara umum dikuasai abjad tampak homogen, tidak seberwarna kata-kata yang terlontar dari verbal mereka, tak jadi problem sewaktu interaksinya konsisten membuat banter menarik. 
Seperti telah disebut, Free Fire adalah perjuangan transformasi satu aspek film agresi (shootout) menjadi sorotan utama. Peristiwa yang umumnya berlangsung 10 hingga 15 menit diperpanjang berkali lipat, dan tak pelak memunculkan problem terkait tensi. Pembukaannya efektif menanam benih konflik yang dieskalasi sedikit demi sedikit sebelum memuncak dikala tembakan pertama meletus. Berikutnya, repetisi gagal dihindari, lantaran Free Fire memang punya alur tipis yang disusun potongan-potongan situasi yang bisa menarik andai Wheatley menekankan pentingnya suatu tujuan, fokus di pergulatan untuk mencapainya. Tapi kecuali momen "berebut telepon", sederet perjuangan abjad (menggapai koper, bergegas menuju kawasan perlindungan, dll.) karam dalam baku tembak acak yang meski "berisik", minim variasi dan gaya.

Free Fire jelas mengasyikkan, namun kurang soal balutan ketegangan tanggapan ketiadaan "ancaman" pada shootout-nya. Karakternya kerap kena tembak, terpaksa susah payah menyeret tubuhnya ke sana kemari lantaran terluka, namun tak hingga meregang nyawa. Penonton pun akan santai saja mendapati seseorang tertembak, toh ia bakal baik-baik saja, setidaknya hingga 15 menit terakhir kala Wheatley mulai meniru skala, menggunakan cara lain selain lesatan liar peluru, serta menyelipkan adegan brutal nan menyakitkan. Andai second act-nya mempunyai kegilaan serupa, pasti Free Fire lebih menggigit. But this is still such a hillarious, chaotic yet fun "bang bang bang" parade.

Artikel Terkait

Ini Lho Free Fire (2016)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email