Thursday, December 13, 2018

Ini Lho Sicario (2015)

Premis Sicario berkisah wacana perjuangan CIA menelusuri kartel narkoba di Meksiko. Terdengar menyerupai plot sebuah agresi kelas-b. Tapi mengingat keberadaan Denis Villeneuve sebagai sutradara, bisa dipastikan film ini tidak akan berakhir sebagai tontonan ala-kadarnya. Villeneuve memang tengah berada di puncak kejayaan. Tiga film terakhirnya (Incendies, Prisoners, Enemy) adalah critical acclaim, dan sekarang ia pun telah resmi ditunjuk sebagai sutradara bagi sekuel Blade Runner. Pertanyaannya, apakah Sicario dengan premis yang sekilas sudah lama itu bakal memperpanjang catatan emas Villeneuve? Saya tegaskan dulu, jikalau Sicario bukanlah sajian full throttle action yang melaju kencang, car chase mendebarkan, atau rangkaian dentuman dan desing peluru. Ini ialah thriller yang lebih banyak meneror pikiran anda, kemudian meninggalkan kesan tidak nyaman.

Sicario adalah film yang disturbing. Kesan itu disalurkan secara gamblang (visual penonton) maupun subtil (imajinasi penonton). Opening-nya memberi pola pemakaian cara pertama, ketika tim SWAT FBI yang dipimpin oleh Kate Macer (Emily Blunt) melaksanakan penyergapan terhadap markas gembong pengedar narkoba. Penyergapan itu berujung inovasi mengerikan, ketika mereka mendapati puluhan mayit dalam kondisi mengenaskan tersembunyi di balik tembok rumah. Villenueve ingin menciptakan penonton ikut merasa mual menyerupai Kate dan rekan-rekannya dengan cara memperlihatkan kumpulan mayit mengerikan itu secara detail. Entah dengan menggerakkan kamera secara lambat, atau penggunaan close-up statis tepat di depan mayat-mayat itu. Berkat santunan sinematografi dari Roger Deakins, ada keindahan yang gila menyelinap dibalik pemandangan horror tersebut. Rasa tidak nyaman pun eksklusif menyergap.
Kate ialah sosok idealis. Memberantas kejahatan hingga ke akar sesuai dengan mekanisme yang berlaku ialah prinsipnya. Berbekal itu serta pengalamannya di lapangan, tidak mengherankan ketika penasehat Departemen Keamanan, Matt Graver (Josh Brolin) merekrut Kate untuk bergabung dalam sebuah tim elit bentukannya. Tujuan dibentuknya tim tersebut ialah meringkus kartel narkoba dari Meksiko yang ditengarai turut bertanggung jawab atas ditemukannya mayat-mayat tadi. Misi semacam itu pastilah tidak akan ditolak oleh Kate. Tapi ia tidak tahu bahwa misi yang akan dijalani tidaklah "sesederhana" melaksanakan penyerbuan biasa. Hal itu sama menyerupai Sicario yang jauh lebih kompleks dari sekedar sajian kriminal wacana pertempuran antara polisi dengan penjahat. 

Seperti suguhan kriminal pada umumnya, ada konspirasi serta para penegak aturan yang korup, namun fokus utamanya bukan itu. Bukanlah citra pemeriksaan prosedural yang digali oleh naskah goresan pena Taylor Sheridan, melainkan rasa ketidakberdayaan. Apa yang bisa dilakukan seekor domba di tengah sarang serigala? Meski itu domba terkuat sekalipun, tidak banyak yang bisa ia lakukan. Jika tidak terbunuh pun, ia tetap akan terluka dan hanya bisa berlari dipenuhi kebingungan serta ketakutan. Kate ialah domba tersebut. Kota Juarez, Meksiko daerah misi berlangsung beserta orang-orang di dalamnya (termasuk tim milik Matt sendiri) ialah para serigala. Kate merupakan domba terkuat. Kita melihat bagaimana ketangkasannya di lapangan dan keteguhan dalam menegakkan prinsip keadiannya. Tapi sepanjang misi ia tidak bisa berbuat apapun. Dia banyak terluka baik fisik atau mental, dan dekat dengan penderitaan. Kate bagai tersesat kehilangan arah. Ini ialah tipikal film dimana penonton tidak kuasa menahan rasa iba pada aksara utamanya. Setidaknya itu perasaan saya menyaksikan bagaimana secara perlahan tapi niscaya Kate mulai dilucuti kekuatannya. Kerapuhannya meningkat, dan hasilnya berpuncak pada ending. 

Emily Blunt memperlihatkan sisi dualitas yang memukau. Kita diajak melihat transformasi meyakinkan dari Blunt pada aksara Kate. Di paruh awal, menyerupai yang pernah ia munculkan di Edge of Tomorrow, Blunt menjadi seorang penegak aturan yang penuh kepercayaan diri dan kekuatan. Tapi seiring berjaannya waktu, ia makin goyah, dan semangat membara di matanya perlahan menjadi makin padam, makin rapuh. Sebagai "lawan tanding", ada Benicio del Toro sebagai Alejandro yang begitu intimidatif dalam tiap kemunculannya, bahkan tanpa harus melaksanakan banyak hal. Keberadaannya saja telah bisa menghadirkan kengerian yang menciptakan saya terpaku.
Sicario merupakan drama tragis yang menelanjangi kejamnya dunia. Tapi justru kekejaman itulah yang menyebabkan kisahnya jujur. Dunia positif daerah kita tinggal bukanlah daerah yang adil dimana kebaikan selalu mengalahkan kejahatan. Bukanlah sebuah daerah dimana final senang telah menanti diujung penderitaan. Tidak bisa dipungkiri, ini bukanlah nirwana bagi pemegang idealisme keadilan macam Kate. Semua ini diperlihatkan begitu positif oleh Denis Villeneuve lewat instansi korup, kekerasan substansial yang sesekali hadir, hingga landscape Juarez yang begitu gersang, sesak dan berbahaya. Suara desingan peluru seolah menjadi hal biasa. Bahkan ketika matahari terbenam, suara-suara itu beserta kilauan lampu kendaraan beroda empat polisi bagaikan kembang api yang dinyalakan sebagai bentuk selebrasi terhadap vandalisme dan kekerasan. Berbagai pemandangan itu ditangkap oleh kamera Roger Deakins dengan sempurna. Semuanya kelam, bahkan banyak adegan yang hanya menampakkan siluet. Tapi lagi-lagi dibalik kegelapan itu ada keindahan. It was really strange, how all of these dark feeling and imagery could be such a beautiful sight.

Meski diawali adegan pembuka yang cukup menghentak, secara keseluruhan film ini ialah slow-burning thriller. Ketegangan lebih banyak dibangun melalui isi pikiran penonton, mencengkeram perlahan, hingga tanpa sadar menciptakan otak kita memvisualisasikan horror mencekam. Namun yang paling mengerikan justru bukanlah adegan penuh mayit atau darah, melainkan betapa ganasnya dunia daerah kita tinggal. Banyak bermain dengan suasana daripada agresi dinamis, scoring atmosferik garapan Johann Johannsson turut menjadi penguat. Musiknya bukanlah diisi dentuman perkusi bombastis layaknya Hans Zimmer, tapi ambience bernada rendah yang bagaikan mengundang kabut berwarna hitam pekat di sekeliling kita. Sicario bagai diselimuti kabut, yang di dalamnya terdapat sesosok monster mengerikan siap menerkam kita. Tapi alih-alih eksklusif menyerang, monster itu justru mempermainkan kita dulu lewat raungan pelan atau langkah kaki setapak demi setapak. Dipenuhi ketidakberdayaan dan ketidaktahuan, rasa takut dalam diri kita pun makin besar. Begitulah cara Denis Villeneuve menebar ketegangan dalam Sicario. And yes, Denis Villeneuve maintain his winning streak with this movie.

Artikel Terkait

Ini Lho Sicario (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email