Saya sempat khawatir dengan film ini yang katanya berhasil menunjukkan dan mengeksplorasi keindahan alam Wakatobi didalamnya. Yang saya khawatirkan yaitu film ini memakai aspek tersebut untuk menutupi kelemahan dari segi dongeng dan nantinya akan berlebihan dan menjadi layaknya film dokumenter. Tapi ternyata yang disajikan oleh Kamila Andini (putri Garin Nugroho) selaku sutradara lebih dari sekedar pamer pemandangan indah dan mengeksplorasi shoot mengenai keindahan alam Wakatobi secara berlebihan.
Seperti yang sudah disinggung diatas film ini ber-setting di Wakatobi (Sulawesi Tenggara) dimana berlatar pada kehidupan penghuni lokal alias Suku Bajo. Pakis (Gita Novalista) yaitu gadis cilik yang setiap hari hanya menunggu ayahnya pulang dari melaut sesudah sekian lama. Dia masih percaya bahwa sang ayah masih hidup dan suatu ketika nanti akan pulang untuk melengkapi kembali keluarganya. Keyakinan itu ia tunjukkan dengan aneka macam perilaku menyerupai membawa cermin derma ayahnya kemanapun ia pergi bahkan membawa cermin itu ke dukun semoga lewat cermin tersebut ia bisa melihat dimana sang ayah berada.
Sementara itu sang ibu, Tayung (Atiqah Hasiholan) walaupun masih mengharapkan kepulangan sang suami ia tetap mencoba berpikir logis bahwa kemungkinan besar suaminya telah meninggal. Tanpa adanya kepala keluarga kehidupan ibu anak ini menjadi kurang serasi dan tidak berkecukupan. Suatu hari datanglah seorang peneliti lumba-lumba dari Jakarta berjulukan Tudo (Reza Rahadian). Kedatangan Tudo yang masuk kedalam kehidupan mereka berdua tentu akan memiliki imbas tersendiri.
Yang jadi poin dan kelebihan utama film ini tentunya bagaimana pemandangan di Wakatobi berhasil dieksplorasi secara maksimal tapi tanpa menunjukkan imbas yang berlebihan. Mulai dari pemukiman warga yang berada diatas air, hamparan padang rumput, hingga pantai dan pemandangan bawah bahari dan aneka macam macam penghuninya yang ditampilkan dengan luar biasa indah. Sudut pengambilan gambar juga seringkali unik. Dengan pemakaian kata "Mirror" pada judulnya, film ini tidak hanya menunjukkan porsi dalam hal dongeng pada "sang kaca" tapi juga dalam pengambilan gambar yang seringkali memakai refleksi dari beling tersebut sehingga menunjukkan keindahan dan keunikan tersendiri. Yang paling luarbiasa tentunya adegan menggantung puluhan cermin diatas pohon.
Gambar manis tidak didukung dongeng yang manis yaitu hal yang percuma. Dan untungnya "The Mirror Never Lies" tidak hanya terpelajar menyajikan gambar tapi juga cukup baik dalam bercerita pada penonton. Cerita yang ada mengalir dengan begitu alami tanpa terasa dipaksakan dramatis ataupun menjadi membosankan. Memang terkadang agak pelan namun alasannya mengalir secara alami menjadikannya nyaman diikuti. Faktor ini tidak lepas dari akting para pemainnya yang cukup memuaskan. Atiqah yang nyaris sepanjang film memakai bedak diwajahnya bisa menjadi sosok perempuan yang galau ditinggal sang suami dan harus menghidupi puteri tunggalnya yang justru sering bertengkar dengan dia. Aksen Wakatobi yang ia ucapkan juga manis dan natural.
Tapi bintang utama film ini yaitu Gita Novalista. Sebagai bakat lokal yang memulai debutnya di film ini ia tampil begitu natural dan bisa menjalin chemsitry yang berpengaruh dan alami dengan setiap lawan mainnya. Beda lagi dengan Reza Rahadian yang kurang menonjol disini walaupun itu bukan alasannya ia berakting jelek melainkan lebih alasannya ia tidak menerima porsi yang cukup untuk menunjukkan kemampuannya. Satu lagi kekurangan film ini yaitu banyaknya monolog dari huruf Pakis yang dipaksakan menjadi puitis tapi malah terlihat abnormal dan kaku.
OVERALL: Sebuah film Indonesia yang sungguh patut diapresiasi dengan menampilkan keindahan alam lokal yang mungkin belum banyak orang yang tahu.
RATING:
Ini Lho The Mirror Never Lies (2011)
4/
5
Oleh
news flash