Setelah menyaksikan film ini kesan pertama yang saya sanggup yaitu sutradara Benni Setiawan terasa begitu terobsesi menghadirkan sebuah kisah cinta yang berbobot dan pelik namun ia takut dengan segala kerumitan dan tema yang berat menciptakan penonton awam kurang bisa menikmati sehingga ia menentukan memberikan film ini dengan cara bertutur ringan dan mengusung genre drama komedi. Harapannya penonton bisa terhibur dengan kisah cinta dan kelucuan yang ada tetapi juga bisa menyerap pesan moral yang ada. Film yang disesuaikan dari 2 novel berjudul "The Da Peci Code" dan "Rosid dan Delia" ini sendiri yaitu film yang berhasil menyabet 5 penghargaan di FFI 2010 kemudian termasuk di kategori "Film Terbaik"
Rosid (Reza Rahardian) merupakan cowok muslim yang taat beragama tapi tidak ortodoks dan merupakan pengagum berat W.S. Rendra. Rosid sendiri memiliki ciri khas dengan rambut kribonya. Karena rambut kribo itu Rosid tidak menggunakan peci. Hal itulah yang sering menciptakan ayahnya, Mansur (Rasyid Karim) murka padanya. Menurut sang ayah menggunakan peci putih dan baju koko yaitu keharusan dan lambang kesalehan dalam Islam. Tapi berdasarkan Rosid hal itu bukanlah hal wajib dan hanya tabiat dari nenek moyang. Hal lain yang menciptakan sang ayah murka yaitu alasannya yaitu Rosid berpacaran dengan gadis Katolik, Delia (Laura Basuki). Hubungan keduanya memang menerima saingan dari keluarga kedua belah pihak yang melaksanakan aneka macam cara untuk memisahkan mereka. Bila keluarga Delia mencoba mengirim Delia kuliah di Amerika, keluarga Rosid mencoba menjodohkannya dengan Nabila (Arumi Bachsin), seorang muslimah yang merupakan putri dari teman usang ayah Rosid. Apakah keputusan yang akan diambil Rosid dan Delia?
Seperti yang sudah saya singgung bahwa film ini terasa begitu terobsesi menjadi film berbobot nan berat tapi juga menghibur dan simpel dicerna. Hal itu justur berujung pada rasa tanggung yang begitu terasa di aneka macam aspek. Dari komedi sangat sering kelucuan yang dilontarkan gagal mengenai sasaaran dan terasa garing. Sungguh, kelucuan yang coba ditampilkan sangat banyak yang garing dan tidak penting. Begitu juga dengan konflik cinta beda agama dan fatwa sesat yang coba diangkat dan sayangnya terasa kurang dikulik lebih dalam lagi dan terasa hanya sebagai pembuat konflik batin antara karakternya belaka tanpa coba diangkat secara detail.
Film ini juga dibuka dengan jelek dimata saya. Banyak sekali adegan tidak penting yang maunya lucu tapi sangat gagal. Untung seiring berjalannya kisah film ini mulai membaik. Tapi kembali lagi pada goresan pena saya sebelumnya, semua aspek yang coba digarapa terasa sangat nanggung padahal cukup berpotensi. Lihat saja aneka macam macam sentilan sosial yang coba dihadirkan menyerupai pemikiran ortodoks mengenai keharusan menggunakan peci dan baju koko yang mana saya sendiri juga berpikiran hal tersebut bukanlah hal yang wajib melainkan hanya tabiat nenek moyang. Begitu juga wacana informasi penggerebekan dengan kekerasan kepada fatwa sesat atau yang hanya asal tuduh sesat. Untuk 2 konflik ini cukup baik pada pengenalan konfliknya tapi berakhir juga dengan nanggung. Untuk konflik cinta beda agama yang jadi kisah utama juga sama saja. Kalau mau mengisahkan kasus beda agama alangkah baiknya kedua agama diceritakan secara detail. Sedangkan dalam film ini yang diceritakan mendalam hanya kehidupan agama Islam saja. Sehingga lagi-lagi kata yang keluar yaitu "nanggung".
Untuk akting para pemainnya berdasarkan saya cukuplah dikatakan tidak mengecewakan baik. Reza Rahardian memainkan aksara Rosid dengan porsi yang cukup. Melihat filmography yang ia miliki Reza Rahardian cukup berpotensi jadi pemeran berprospek cerah yang bisa memainkan aneka macam kaakter asakan ia tidak mengikuti jejak Lukman Sardi yang muncul begitu sering sehingga berpotensi mengakibatkan rasa bosan bagi penonton. Rasyid Karim dan Henidar Amroe sebagai orang renta Rosid yaitu yang paling saya suka aktingnya. Henidar Amroe sebagai ibu yang bijak dan penyayang sekaligus terjebak konflik batin bisa tampil baik. Rasyid Karim juga sama sayangnya ia seringkali dituntut memainkan porsi komedi yang agak mengganggu aktingnya. Saya sangat suka dengan 2 adegan di film ini yang begitu menggambarkan chemistry berpengaruh antara orang renta dan anak. Yang pertama yaitu adegan Mansur mendatangi Rosid dan sangat khawatir anaknya dihajar masa. Disitu saya cuku tersentuh dengan sosok ayah yang supaya bagaimanapun sangat sayang pada anaknya. Yang kedua yaitu adegan Rosid membacakan puisi untuk sang ibu.
Untuk Laura Basuki dan Arumi Bachsin juga tidak jelek walaupun Laura Basuki masih sering terlihat kaku tapi dengan kecantikannya hal itu bisa tertutupi. Sama juga dengan Arumi yang cukup lancar mamainkan gadis muslimah yang sendu walaupun porsinya agak kurang. Dan yang terakhir yaitu konklusi film yang cukup mengecewakan bagi saya. Sangat bertentangan dengan nilai moral mengenai cinta beda agama yang dilontarkan ditengah film dimana dikatakan informasi tersebut sulit untuk ditentukan benar salahnya. Sedangkan kesimpulan film ini terasa terlalu gamblang dan jelas. Andai film ditutup dengan lebih ambigu niscaya akan jauh lebih baik.
OVERALL: Film yang serba nanggung di hampir semua aspek. Tapi mengingat film Indonesia yang tengah krisis kualitas dan tema, film ini cukuplah masuk kategori lumayan.
RATING:
Ini Lho 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)
4/
5
Oleh
news flash