Sineas lokal kita tampaknya sedang latah baik itu dalam hal baik dan buruk. Dalam hal buruk, banyak sineas yang latah dengan terus menerus menciptakan film horror-seks kacrut yang sayangnya justru terus mendulang uang. Sedangkan untuk para sineas yang niat menciptakan film sebagai karya seni dan bukan hanya pengeruk uang tampaknya juga sedang terjadi latah walaupun latah yang dimaksud disini tidak sepenuhnya dalam konteks yang jelek bahkan bisa dibilang cukup baik. Akhir-akhir ini film yang mengangkat tema suku - suku pedalaman lokal cukup banyak bermunculan. Film-film tersebut biasanya mengeksplorasi keindahan alam serta banyak sekali macam kebudayaan lokal yang ada di masing-masing daerah. Sepertinya "wabah" ini diawali oleh kesuksesan "Laskar Pelangi" 3 tahun yang lalu. Setelah "Lost in Papua" dan "The Mirror Never Lies" kali ini giliran "Batas" karya sutradara Rudi Soedjarwo yang muncul.
"Batas" menceritakan kedatangan Jaleswari (Marcella Zalianty) ke tempat Borneo di Kalimantan yang juga merupakan perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Tujuan kedatangan Jaleswari yaitu untuk memeriksa kenapa proyek pendidikan yang diberikan oleh perusahaan tempatnya bekerja tidak pernah berjalan lancar disana dimana guru-guru yang dikirim selalu tidak pernah bertahan lama. Disana Jaleswari dibantu oleh Adeus (Marcell Domits) yang juga seorang guru. Disana Jaleswari juga disambut oleh sang kepala suku, Panglima Adayak (Piet Pagau). Tapi selain menyambut Jales, Panglima juga seakan mengisyaratkan bahwa ada sesuatu misteri di tempat tersebut yang menanti Jaleswari. Apa bersama-sama penyebab kegagalan proyek tersebut? Apa ada hubungannya dengan seorang gadis tidak dikenal yang sedang dalam kondisi shock dan termangu berjulukan Ubuh (Ardina Rasti) yang berada dirumah Nawara (Jajan C. Noer)? Misteri juga muncul dari laki-laki berjulukan Otik (Otiq Pakis) yang awalnya ramah tapi dibalik itu menyerupai terpendam maksud lain.
Maraknya film berjenis ini punya sisi negatif dan positif. Sisi positifnya yaitu banyak budaya dan tempat yang mungkin masih jarang diketahui orang menjadi lebih dikenal lagi. Pemandangan alam indonesia yang kaya itu juga akan lebih terksplorasi. "The Mirror Never Lies" yaitu bukti keberhasilan eksplorasi pemandangan alam yang luar biasa indah. "Batas" juga memperlihatkan hal yang kurang lebih sama walaupun alam yang diperlihatkan tidak se "wah" di "The Mirror Never Lies", tapi banyak sekali pemandangan hutan khususnya di sepanjang sungai dan setting kampung lokal sudah cukup buat saya. Tapi sisi negatif hal itu juga ada. Bukan mustahil plot yang ada menjadi sangat predictable dan klise. Dan "Batas" terasa mencoba menyajikan hal yang lain untuk mencegah hal itu.
Selain gosip pendidikan dan kebudayaan lokal serta mimpi untuk hidup yang lebih baik (standar film sejenis) "Batas" juga mencoba mengangkat tema lain menyerupai jual beli TKI ilegal yang dipekerjaklan paksa ke Malaysia hingga konflik perbatasan negara yang sedikit disinggung. Bahkan film ini bersama-sama sudah mencoba tampil secara filosofis dilihat dari kekerabatan antara judul dan jalan cerita. Kata "Batas" disini bisa dikaitkan dengan bagaimana setiap aksara yang ada dalam film ini mencoba mendobrak segala batas dalam kehidupan mereka. Seperti misalnya bagaimana Jales mencoba mendobrak batas disaat beliau memutuskan untuk terus mengatakan sumbangsih ilmunya walaupun menerima banyak sekali ancaman dan bahaya. Untuk hal-hal tersebut film ini layak menerima acungan jempol.
Tapi rasanya "Batas" terlalu jauh dalam perjuangan mereka mendobrak batas dalam bercerita sehingga malah kehilangan batasan-batasan yang seharusnya ada dalam perjuangan mereka mengatakan suguhan konflik ddan kisah pada penonton. Usaha tersebut tidak diikuti dengan sanksi yang maksimal. Konflik yang cukup banyak ditampilkan dan bercabang gagal dimaksimalkan penceritaan serta penyelesaiannya. Padahal durasi diatas 110 menit seharusnya tidaklah kurang. Berbagai kisah yang ada terasa tidak menerima klarifikasi yang memuaskan di akhirnya. Apalagi penyelesaian serta ending yang diberikan terlalu menggampangkan dan malah mengulur-ulur hal yang tidak perlu daripada memaksimalkan durasi yang ada untuk lebih mengatakan klarifikasi dan pendalaman terhadap banyak sekali kisah yang ada. Beberapa narasi (maunya) puitis dari tokoh Jaleswari juga sangat mengganggu buat saya.
Dibandingkan eksplorasi keindahan alam dan kebudayaan serta kisah dan konflik yang ada, keunggulan film ini yang paling berhasil malah ada di departemen akting. Aktris dan pemeran yang ada hampir semuanya mengatakan performa terbaik mereka. Piet Pagau dan Ardina Rasti yaitu dua orang terbaik dalam film ini. Piet Pagau benar-benar bisa memperlihatkan sosok kepala suku yang dihormati, ditakuti tapi juga memiliki permasalahan dan "batas" tersendiri dalam kehidupannya. Tatapan dan gesturnya entah itu disaat menjadi orang bijak ataupun sedang murka sangat efektif dan berhasil membangun emosi karakternya dengan baik. Sedangkan Ardina Rasti tampil tanpa obrolan disini. Hanya berbekal mulut wajah, beliau berhasil dengan sangat luar biasa menghidupkan seorang Ubuh yang kondisinya masih rapuh. Jenis tugas yang jarang muncul di perfilman lokal.
Aktor cilik Alifyandra bisa dibilang cukup manis dalam debut aktingnya ini. Memang masih terasa kaku dan kurang di beberapa pecahan tapi cukuplah untuk dikategorikan bagus. Marcella Zalianty yang menjadi sorotan utama juga tidaklah jelek walaupun tertutupi oleh penampilan Piet Pagau dan Ardina Rasti yang lebih baik. Yang kurang mungkin yaitu dari Arifin Putra, Jajang C. Noer dan Marcell Domits. Tapi khusus untuk Arifin dan Jajang bukan sebab akting jelek tapi lebih sebab tokoh mereka tidak diberikan porsi yang lebih. Sedangkan Marcell Domits yang juga seorang debutan masih naik turun performanya walaupun tidak jelek juga.
OVERALL: "Batas" mungkin bukan jajaran film terbaik. Masih sangat banyak kekurangan khususnya pada teknik bercerita. Tapi "Batas" masih merupakan karya yang pantas sanggup apresiasi lebih khususnya untuk beberapa pemainnya.
RATING:
"Batas" menceritakan kedatangan Jaleswari (Marcella Zalianty) ke tempat Borneo di Kalimantan yang juga merupakan perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Tujuan kedatangan Jaleswari yaitu untuk memeriksa kenapa proyek pendidikan yang diberikan oleh perusahaan tempatnya bekerja tidak pernah berjalan lancar disana dimana guru-guru yang dikirim selalu tidak pernah bertahan lama. Disana Jaleswari dibantu oleh Adeus (Marcell Domits) yang juga seorang guru. Disana Jaleswari juga disambut oleh sang kepala suku, Panglima Adayak (Piet Pagau). Tapi selain menyambut Jales, Panglima juga seakan mengisyaratkan bahwa ada sesuatu misteri di tempat tersebut yang menanti Jaleswari. Apa bersama-sama penyebab kegagalan proyek tersebut? Apa ada hubungannya dengan seorang gadis tidak dikenal yang sedang dalam kondisi shock dan termangu berjulukan Ubuh (Ardina Rasti) yang berada dirumah Nawara (Jajan C. Noer)? Misteri juga muncul dari laki-laki berjulukan Otik (Otiq Pakis) yang awalnya ramah tapi dibalik itu menyerupai terpendam maksud lain.
Maraknya film berjenis ini punya sisi negatif dan positif. Sisi positifnya yaitu banyak budaya dan tempat yang mungkin masih jarang diketahui orang menjadi lebih dikenal lagi. Pemandangan alam indonesia yang kaya itu juga akan lebih terksplorasi. "The Mirror Never Lies" yaitu bukti keberhasilan eksplorasi pemandangan alam yang luar biasa indah. "Batas" juga memperlihatkan hal yang kurang lebih sama walaupun alam yang diperlihatkan tidak se "wah" di "The Mirror Never Lies", tapi banyak sekali pemandangan hutan khususnya di sepanjang sungai dan setting kampung lokal sudah cukup buat saya. Tapi sisi negatif hal itu juga ada. Bukan mustahil plot yang ada menjadi sangat predictable dan klise. Dan "Batas" terasa mencoba menyajikan hal yang lain untuk mencegah hal itu.
Selain gosip pendidikan dan kebudayaan lokal serta mimpi untuk hidup yang lebih baik (standar film sejenis) "Batas" juga mencoba mengangkat tema lain menyerupai jual beli TKI ilegal yang dipekerjaklan paksa ke Malaysia hingga konflik perbatasan negara yang sedikit disinggung. Bahkan film ini bersama-sama sudah mencoba tampil secara filosofis dilihat dari kekerabatan antara judul dan jalan cerita. Kata "Batas" disini bisa dikaitkan dengan bagaimana setiap aksara yang ada dalam film ini mencoba mendobrak segala batas dalam kehidupan mereka. Seperti misalnya bagaimana Jales mencoba mendobrak batas disaat beliau memutuskan untuk terus mengatakan sumbangsih ilmunya walaupun menerima banyak sekali ancaman dan bahaya. Untuk hal-hal tersebut film ini layak menerima acungan jempol.
Tapi rasanya "Batas" terlalu jauh dalam perjuangan mereka mendobrak batas dalam bercerita sehingga malah kehilangan batasan-batasan yang seharusnya ada dalam perjuangan mereka mengatakan suguhan konflik ddan kisah pada penonton. Usaha tersebut tidak diikuti dengan sanksi yang maksimal. Konflik yang cukup banyak ditampilkan dan bercabang gagal dimaksimalkan penceritaan serta penyelesaiannya. Padahal durasi diatas 110 menit seharusnya tidaklah kurang. Berbagai kisah yang ada terasa tidak menerima klarifikasi yang memuaskan di akhirnya. Apalagi penyelesaian serta ending yang diberikan terlalu menggampangkan dan malah mengulur-ulur hal yang tidak perlu daripada memaksimalkan durasi yang ada untuk lebih mengatakan klarifikasi dan pendalaman terhadap banyak sekali kisah yang ada. Beberapa narasi (maunya) puitis dari tokoh Jaleswari juga sangat mengganggu buat saya.
Dibandingkan eksplorasi keindahan alam dan kebudayaan serta kisah dan konflik yang ada, keunggulan film ini yang paling berhasil malah ada di departemen akting. Aktris dan pemeran yang ada hampir semuanya mengatakan performa terbaik mereka. Piet Pagau dan Ardina Rasti yaitu dua orang terbaik dalam film ini. Piet Pagau benar-benar bisa memperlihatkan sosok kepala suku yang dihormati, ditakuti tapi juga memiliki permasalahan dan "batas" tersendiri dalam kehidupannya. Tatapan dan gesturnya entah itu disaat menjadi orang bijak ataupun sedang murka sangat efektif dan berhasil membangun emosi karakternya dengan baik. Sedangkan Ardina Rasti tampil tanpa obrolan disini. Hanya berbekal mulut wajah, beliau berhasil dengan sangat luar biasa menghidupkan seorang Ubuh yang kondisinya masih rapuh. Jenis tugas yang jarang muncul di perfilman lokal.
Aktor cilik Alifyandra bisa dibilang cukup manis dalam debut aktingnya ini. Memang masih terasa kaku dan kurang di beberapa pecahan tapi cukuplah untuk dikategorikan bagus. Marcella Zalianty yang menjadi sorotan utama juga tidaklah jelek walaupun tertutupi oleh penampilan Piet Pagau dan Ardina Rasti yang lebih baik. Yang kurang mungkin yaitu dari Arifin Putra, Jajang C. Noer dan Marcell Domits. Tapi khusus untuk Arifin dan Jajang bukan sebab akting jelek tapi lebih sebab tokoh mereka tidak diberikan porsi yang lebih. Sedangkan Marcell Domits yang juga seorang debutan masih naik turun performanya walaupun tidak jelek juga.
OVERALL: "Batas" mungkin bukan jajaran film terbaik. Masih sangat banyak kekurangan khususnya pada teknik bercerita. Tapi "Batas" masih merupakan karya yang pantas sanggup apresiasi lebih khususnya untuk beberapa pemainnya.
RATING:
Ini Lho Batas (2011)
4/
5
Oleh
news flash