Film yang punya 2 judul lain (First Love & Crazy Little Thing Called Love) ini memang menjadi salah satu film sleeper hit Asia terbesar tahun ini. Bagi aku sendiri hasil yang disuguhkan oleh duo sutradara Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon dan Wasin Pokpong ini cukup melebihi ekspektasi. Thailand yang biasanya dikenal dengan film horror kembali mengejutkan saya. Setelah "Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives" yang menang Palme d'Or tahun lalu, giliran film ini yang berhasil menyuguhkan kejutan manis berupa sebuah komedi romantis yang ringan, down to earth, sekaligus menyentuh.
Nam (Baifern Pimchanok Luevisadpaibul) ialah gadis cilik yang sedang mencicipi cinta pertamanya kepada abang kelasnya yang berselisih 3 angkatan berjulukan Shone (Mario Maurer). Yang jadi masalah, Shone merupakan idola di kalangan gaids-gadis di sekolah tersebut mulai dari yang seangkatan hingga adik angkatannya termasuk Nam. Nam sendiri bagaikan bumi dan langit dengan Shone. Nam ialah gadis yang jelek, hitam dan punya selera fashion buruk. Nam juga bukan anak yang pintar. Untungnya Nam punya sahabat-sahabat yang baik hati. Mereka membantu Nam guna meraih impiannya mendapat cinta Shone mulai dari merubah penampilan Nam hingga melaksanakan hal-hal konyol menyerupai yang tertulis dalam buku "resep cinta" yang mereka baca.
Plot yang disajikan memang sangat sederhana dan super predictable. Tapi untungnya penyajian yang diberikan tidak sesederhana jalan ceritanya. Paruh awal film ialah bab yang sangat menyenangkan. Bagian dimana Nam dan kawan-kawannya melaksanakan usaha-usaha konyol yang guna menciptakan Nam mendapat Shone sangat berhasil memancing tawa saya. Apalagi adanya tokoh Guru Inn yang diperankan Sudarat Budtporm juga turut menjadi "badut" yang begitu lucu dimana ia mendapat subplot yang kurang lebih sama dengan Nam, yaitu perempuan buruk rupa mengejar laki-laki tampan yang menjadi idola.
Sayangnya, memasuki pertengahan film ini makin terjerumus pada segala hal klise yang membosankan sekaligus bertele-tele. Plot standar yang di paruh awal tertolong dengan segala kelucuan yang ada di paruh kedua ini makin menjadi tanpa ada satu faktorpun yang bisa menolong, kecuali paras manis gadis-gadis Thailand di film ini. Selebihnya, plot disaat Nam sudah bermetamorfosis gadis manis yang menjadi rebutan sangat membosankan. Dan ditambah konflik perpecahan antara Nam dan sahabatnya yang sudah aku prediksi dari awal akan terjadi. Transformasi Nam menjadi manis juga terasa terlalu cepat. Tiba-tiba saja Nam yang buruk rupa itu menjadi manis sehabis ia didandani untuk pertama kali ketika pementasan drama? Kisah cinta segitiga di pertengahan film juga masih kurang bisa membantu. Singkat kata paruh kedua film nyaris menciptakan aku terpengaruhi untuk mempercepat durasi.
Untunglah paruh simpulan film ini kembali menaikkan minat saya. Jika paruh awal suguhan komedi yang lucu jadi andalan, paruh simpulan menghadirkan kisah dramatis yang cukup mengharu biru. Akhir film ini menyerupai apa memang predictable, tapi bagaimana kisah bergulir hingga simpulan itulah yang agak tidak terduga sekaligus menyentuh. Kesederhanaan yang ada justru menciptakan aku hampir menangis menonton paruh simpulan film ini. Jujur hampir tidak ada romcom yang bisa menciptakan aku terharu selain (500) Days of Summer. Dan ternyata film dari Thailand ini bisa menyuguhkan hal tersebut.
Ini Lho A Little Thing Called Love (2010)
4/
5
Oleh
news flash