Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho Calvary (2014)

Film ihwal seorang pendeta yang "tidak sempurna" sudah banyak dibuat. Bagaimana sosok yang seharusnya menjadi pembimbing bagi para umat beragama justru melaksanakan dosa besar sudah berkali-kali dibentuk entah dengan kemasan drama depresif atau komedi gelap. Tapi kali ini sutradara John Michael McDonagh menghadirkan sudut pandang yang berbeda ihwal kehidupan berat seorang pendeta. Kembali berkolaborasi dengan pemain drama Brendan Gleeson (pertama kali berkolaborasi daam The Guard), McDonagh coba menghadirkan dongeng ihwal "good priest". Brendan Gleeson berperan sebagai Father James, seorang pendeta Nasrani di sebuah pedesaan Irlandia. Dia yaitu seorang pendeta baik yang punya kepedulian besar pada jemaatnya. Pada suatu hari ada seorang laki-laki misterius yang melaksanakan legalisasi dosan pada James. Pada legalisasi dosa itu, sang laki-laki mengaku sebagai korban pemerkosaan dikala ia kecil dan berniat membunuh seorang pendeta. Sang laki-laki memutuskan untuk membunuh James alasannya yaitu menurutnya pembunuhan terhadap seorang pendeta baik jauh lebih merugikan bagi gereja daripada membunuh pendeta yang buruk.

James diberi waktu satu ahad sebelum "hari kematiannya" tiba. Selama seminggu itulah  James banyak berinteraksi dengan para warga yang lebih banyak didominasi yaitu jemaat gerajanya dimana masing-masing dari mereka memiliki problem pribadi. Ada seorang perempuan yang menerima kekerasan dari pacarnya, ada spesialis bedah atheis yang selalu melontarkan kata-kata menyindir ihwal agama, ada seorang kaya raya yang selalu menawari bantuan bagi gereja tapi selalu membanggakan hartanya, dan masih banyak lagi. Bahkan tidak hanya mereka, puteri tunggal James, Fiona (Kelly Reilly) juga tengah mengalami fase sulit dari hidupnya. Fiona pulang menemui James sehabis gagal melaksanakan perjuangan bunuh diri. Hubungan James dan Fiona sendiri memang selama ini renggang, salah satunya alasannya yaitu kekecewaan Fiona yang menganggap sang ayah telah meninggalkan ia dan ibunya. Selama satu ahad itu jugalah James berusaha mendekatkan lagi dirinya dengan Fiona. Tapi semua yang ia lakukan tidak berjalan gampang dikala masing-masing dari jemaatnya justru memberikan perilaku yang tidak mengenakkan pada James.
Meski tidak sekental The Guard, Cavalry tetap menghadirkan beberapa sentuhan black comedy dan satir. Komedinya muncul dikala terjadi interaksi antara James dengan orang-orang di sekelilingnya. Bukan sebuah komedi pertukaran obrolan yang konyol, melainkan satir menggelitik yang terasa dikala semua orang selalu menyatakan James yaitu orang baik dan tidak punya musuh tapi disisi lain mereka justru sering melontarkan kalimat-kalimat sinis yang menyiratkan ketidak sukaan pada James atau acara keagamaan yang ia lakukan. Sosok Father James yang berada dalam kondisi “me against the world” juga berhasil menarik simpati. Saya tahu ia yaitu orang baik yang sukarela menolong orang lain tapi justru menerima respon tidak mengenakkan, dari situlah rasa simpati muncu terhadap sosoknya. Saya berhasil dibentuk ikut mencicipi kegetiran dan kemarahan yang terpendam dalam diri James dikala ia menerima aneka macam perlakuan itu.
Tentu saja meski karakternya berada dalam posisi tersebut, McDonagh tidak lantas mengemas Calvary sebagai melodrama. Film ini terang jauh lebih “cerdas” dari sekedar melodrama. Karakternya ada dalam posisi sulit. Tema yang diangkat pun berada di seputaran kesendirian, menghadapi kematian, hingga pertanyaan akan kepercayaan yang mana berpotensi dikemas sebagai melodrama, tapi McDonagh tidak lantas bermenye-menye dalam mengeksplorasi aneka macam hal tersebut. Calvary lebih terasa sebagai sebuah observasi yang sesekali mengajak penonton turut mencicipi perasaan karakternya. Kita diajak untuk mengamati bagaimana seorang pendeta pun yaitu insan biasa yang tetap tidak akan sanggup berbagi pesan agama jikalau tidak menerima sumbangan moril dari orang-orang di sekitarnya. Brendan Gleeson sebagai Father James pun tampil manis dimana dari verbal (minim) yang ia tunjukkan kita sudah sanggup meraba adanya penderitaan serta rasa tertekan yang terpendam.

Sayangnya, titik puncak film ini terasa kurang maksimal gara-gara saya gagal dibentuk memahami seutuhnya motivasi dari laki-laki yang mengancam Father James. Saya paham alasan yang ia lontarkan ihwal good priest v.s. bad priest dan kaitannya dengan amarah sang laki-laki terhadap sexual abuse di dalam gereja Katolik, tapi saya tidak hingga benar-benar diajak mendalami aneka macam alasan itu. Saya hanya diajak untuk tahu tanpa diajak untuk benar-benar mengerti. Alhasil tidak ada rasa terikat yang menciptakan titik puncak yang (seharusnya) tragis itu jadi terasa kurang maksimal. Untungnya film ini ditutup dengan ending yang cukup indah. Sebuah ending yang menampilkan nasib karakter-karakter memang sudah biasa, tapi dengan sentuhan musik garapan Patrick Cassidy yang megah itu. Secara keseluruhan scoring-nya pun berhasil membangun suasana, apalagi saya memang menyukai tipikal music-musik orchestra semacam itu dalam sebuah score. Satu lagi yang paling mengesankan dari film ini yaitu bagaimana McDonagh sanggup memasukkan sebuah gosip kontroversial tanpa perlu terus menerus menyampaikannya secara tersurat.

Artikel Terkait

Ini Lho Calvary (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email