Bukan, ini bukanlah review usang yang gres sempat saya publish. Saya memang gres kini ini menonton film kedua Joko Anwar ini. Saya sendiri gres semenjak tahun 2011 kemudian mulai rutin menonton film Indonesia yang saya anggap layak tonton di bioskop. Baru di 2011 jugalah saya mencoba mencari-cari film Indonesia berkualitas yang sebelumnya telah saya lewatkan menyerupai Quickie Express, Under the Tree dan beberapa film lain. Untuk film yang disutradarai Joko Anwar sendiri saya belum menyaksikan Janji Joni tapi sudah menonton Pintu Terlarang itupun sudah 2 tahun yang kemudian dan ketika itu saya masih melihat film sebagai hiburan semata dan kurang menikmati Pintu Terlarang yang buat saya ketika itu terasa berat, jadi saya tidak akan membandingkan kedua film karya Joko Anwar ini.
Eros (Ario Bayu) yaitu seorang polisi yang tengah menyelidiki kasus pembakaran terhadap 5 orang yang menewaskan kelimanya secara mengenaskan. Diluar kehidupannya sebagai polisi, Eros yaitu seorang homoseksual. Sementara itu seorang wartawan berjulukan Janus (Fachri Albar) juga tengah menyelidiki kasus tersebut. Janus sendiri menderita penyakit narkolepsi yang membuatnya gampang sekali tiba-tiba tertidur apabila emosinya sedang memuncak misal terlalu panik, antusias ataupun marah. Hal itu jugalah yang menciptakan sang istri, Sari (Shanty) menggugat cerai Janus alasannya yaitu beliau merasa sang suami tidak bisa memenuhi nafkah batinnya alasannya yaitu setiap akan berafiliasi Janus selalu tiba-tiba tertidur. Janus yang masih menyelidiki kasus kematian 5 orang tersebut secara belakang layar meletakkan tape recorder dalam pot di kamar jenazah dimana salah seorang istri korban ada disitu dan menolak diwawancara.
Tidak usang kemudian istri korban tersebut tewas tertabrak dan dilindas kendaraan beroda empat sempurna didepan mata Janus. Yang lebih abnormal lagi, ketika Janus mengambil tape recorder miliknya, beliau menemukan rekaman bunyi perempuan tersebut. Wanita itu menyampaikan hal yang tidak dimengerti Janus yang pada dasarnya yaitu menunjukkan lokasi sebuah daerah berjulukan "Bukit Bendonowongso". Yang lebih abnormal dan mengerikan lagi, semua orang yang mendengar rekaman itu dan mengetahui lokasi tersebut akan mati secara mengenaskan. Ternyata gres diketahui kalau lokasi itu menunjukkan daerah penyimpanan harta karun miik Presiden pertama. Dan ternyata selain Janus dan Eros ada pihak lain yang ikut serta dalam perburuan harta karun tersebut.
Joko Anwar memang paling berani bereksperimen. Lihat saja dongeng dan nuansa dalam film ini yang tentunya tidak akan ditemui di film Indonesia lain atau setidaknya di film garapan sutradara lainnya. Sisi teknis khususnya sinematografi film ini begitu berani menampilkan nuansa yang berbeda dan sangat pantas disebut sebagai film noir pertama di Indonesia. Dengan berani film ini menampilkan setting di negeri antah berantah. Setting lokasinya memang sebetulnya tidak sulit ditebak, tapi tata artistik film ini bisa menciptakan seolah lokasi-lokasi dalam film ini bukanlah di Indonesia. Lalu penggunaan tata cahaya dan teknik sinematografi yang sangat film noir makin memantapkan film yang punya judul lain Dead Time: Kala ini sebagai salah satu film dengan sinematografi terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
Tapi apakah film dengan sinematografi luar biasa ini diikuti dengan dongeng yang mumpuni? Cerita yang ditulis Joko Anwar sama beraninya dengan gaya penyutradaraan dan sinematografinya yang eksperimental. Dasar dongeng yang beliau tulis cukup berani dengan berlokasi di negeri antah berantah tapi sebetulnya sangatlah Indonesia, Joko Anwar coba memasukkan banyak sekali unsur termasuk sindiran terhadap Indonesia dan yang utama yaitu mengenai perburuan harta yang dibalut dengan ramalan Jayabaya. Dengan genre fantasi dan setting di negeri antah berantah memang bisa menutupi banyak sekali hal yang diluar budi yang banyak terjadi di film ini. Tapi harus diakui juga bahwa Joko Anwar terlalu mementingkan gaya sehingga ceritanya sendiri agak terasa kedodoran. Beberapa hal terasa janggal alasannya yaitu eksekuisnya yang kurang maksimal menyerupai mengenai kutukan yang merenggut nyawa. Bagaimana awalnya kutukan itu bisa terjadi? Apa sebetulnya makhluk yang muncul tiap kali akan ada orang yang terbunuh itu? Saya juga tidak menemukan film ini bisa mengikat saya alasannya yaitu karakternya sendiri tidak menarik buat saya.
Mengenai ramalan dan konklusinya saya sendiri mencicipi hal yang bisa dibilang lucu kalau tidak mau diaktakan konyol. Sang penidur yang diartikan sebagai orang yang kena penyakit tidur? Saya tidak tahu niscaya apakah ramalan Jayabaya yang digunakan di film ini memang benar ada disalah satu ramalan Jayabaya atau hanya karangan tapi yang terang tafsiran untuk hal itu terlalu naif. Kemudian sang "ratu adil" yang muncul buat saya justru lebih menarik. Seperti yang saya bilang bahwa meski di negeri antah berantah, tapi sangat terang bahwa negeri di film ini yaitu alternate universe bagi Indonesia. Dan apa kesudahannya jikalau sang ratu adil yaitu seorang homoseksual yang seringkali direndahkan di negeri ini? Ide yang menarik hanya saja tidak ada klarifikasi mengapa bisa beliau yang menjadi ratu adil menginagt tidak ada hal Istimewa yang telah beliau lakukan sebelumnya.
Tapi yah meski di ceritanya kedodoran dalam eksekusi, tapi dasar idenya tetaplah menarik. Berbagai sindiran untuk negeri ini terang sangat terasa menyerupai agresi anarkis, gosip politik, kemudian sosok orang di pemerintahan yang digambarkan mau melaksanakan apa saja demi harta, dan masih banyak hal lainnya. Secara keseluruhan film ini punya tata sinematografi dan artistik yang sangat bagus, inspirasi dongeng yang juga kreatif, hanya saja Joko Anwar terlihat terlalu asyik bergaya dalam filmnya dan memang itu berhasil menciptakan keunikan tersendiri. Tapi akan lebih baik lagi jikalau berikutnya beliau lebih memaksimalkan penggarapan ceritanya. Masih banyak lubang yang meninggalkan pertanyaan tidak perlu. Saya terang akan menunggu 2 film terbarunya yang akan rilis tahun ini, Modus Anomali dan Impetigore.
Ini Lho Masa (2007)
4/
5
Oleh
news flash