Setumpuk pertanyaan dibiarkan oleh Sion Sono tertinggal dalam Suicide Circle. Pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya tidak dijawab juga tidak persoalan alasannya esensi utama dari film tersebut sudah tersampaikan tanpa perlu menjawab segala misteri yang ada. Toh sebetulnya akan lebih baik kalau kita diberikan posisi yang sama dengan warga Jepang yang ada dalam film dimana mereka juga tidak mengetahui kebenaran dibalik masalah bunuh diri masal yang terjadi. Tapi ternyata Sion Sono bertekad untuk menimbulkan film tersebut sebagai awal sebuah trilogi meskipun akhir-akhir ini ia menyampaikan akan mengurungkan niat tersebut alasannya menciptakan banyaknya kesulitan yang ia alami. Empat tahun sehabis film pertama yang "gila" itu muncul Noriko's Dinner Table yang boleh dibilang merupakan prekuel dari Suicide Circle. Namun bukan murni prekuel juga alasannya film ini juga mempunyai timeline pada ketika film pertamanya berlangsung dan sehabis film pertama berakhir. Makara apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab disini?
Noriko ialah gadis berusia 17 tahun yang pendiam tapi didalam hatinya menyimpan tekad yang besar untuk hidup bebas dan keluar dari dunianya yang sempit. Noriko memang sudah usang mendambakan pergi ke Tokyo untuk mencari kehidupan gres yang menurutnya akan lebih berwarna. Tapi sang ayah (Ken Mitsuishi) tidak mengijinkan alasannya beranggapan bahwa Tokyo berbahaya bagi gadis-gadis remaja. Hingga suatu malam Noriko nekat kabur dari rumah dan pergi ke Tokyo tanpa sedikitpun bekal pengetahuan perihal Tokyo. Untungnya Noriko punya beberapa sobat yang ia kenal lewat situs jejaring sosial bernama haikyo.com. Lewat situs tersebut Noriko berkenalan dengan sang admin yang mempunyai nickname "Ueno Station 54". Pemiliknama tersebut ternyata ialah gadis berjulukan Kumiko (Tsugumi) yang kemudian membantu Noriko hidup di Tokyo. Ternyata Kumiko ialah seorang pemimpin dari sebuah perusahaan jasa sekaligus organisasi, yang mana Noriko kesannya juga ikut bergabung dengan organisasi tersebut. Ya, organisasi inilah yang kesannya akan memicu sebuah bunuh diri massal yang merenggut nyawa 54 siswi SMU secara tragis.
Benar-benar sebuah sekuel/prekuel yang mempunyai tone jauh berbeda dengan Suicide Circle. Hal ini sangat terasa alasannya daripada horror sadis menyerupai film pertama, Noriko's Dinner Table lebih kearah drama yang kelam meski masih diisi aneka macam adegan yang menampilkan darah dan adegan-adegan sinting khas Sion Sono. Jika anda ialah orang yang berharap film ini akan brutal menyerupai film pertama dan anda bukan orang yang menyukai drama anda kemungkinan besar akan kecewa pada film ini. Lalu kalau anda ialah orang yang menonton dengan keinginan utama untuk mendapat balasan dari aneka macam misteri yang ada di Suicide Circle maka anda mungkin juga akan kecewa. Karena daripada menjawab secara eksklusif pertanyaan dan misteri yang ada, Sion Sono justru menawarkan jawabannya dengan masih dibungkus metafora-metafora dan pesan-pesan sosial. Tapi sesungguhnya Sion menawarkan beberapa balasan akan misteri di film pertama. Khususnya yang berkaitan dengan pertanyaan "Apakah Suicide Club benar-benar ada?". Lewat film ini kita akan tahu juga apa yang mendasari insiden bunuh diri massal di stasiun Shinjuku. Sedangkan untuk balasan bagi pertanyaan lain Sion Sono tidak memberikannya secara gamblang namun kalau kita telaah lebih lanjut balasan itu ada. Tapi memang beberapa misteri tetap dibiarkan tersimpan.
Seperti film pertamanya, Sion Sono masih punya beberapa hal yang ia singgung dalam film ini. Masih mengenai menghargai kehidupan, kemudian ada juga mengenai bagaimana insan itu bisa move on dari permasalahan yang mereka hadapi, komunikasi yang kurang lancar dalam keluarga, konsep kebahagiaan dan tentunya ialah hal yang bekerjasama dengan film pertama juga yaitu bagaimana internet bisa dijadikan media komunikasi yang bermanfaat tapi kalau disalahgunakan berpotensi menimbulkan kehebohan massa dan hal-hal yang sifatnya tidak benar. Sungguh miris ketika aku mengetahui fakta mengenai keberadaan Suicide Club yang sebenarnya. Dan lagi semua informasi sosial tersebut dirangkum dalam durasi yang tidak sebentar, yakni mencapai dua setengah jam. Selain itu temponya juga lambat, kelam dan didominasi oleh narasi yang dibacakan satu persatu tokohnya. Jelas sangat berbeda dengan Suicide Circle dan mungkin akan susah dinikmati oleh secara umum dikuasai penontonnya. Tapi berdasarkan aku justru Noriko's Dinner Table ialah pencapaian luar biasa yang akan sulit dicapai oleh sineas Jepang lainnya.
Kelam dan elok ialah dua hal yang begitu terasa dari film ini. Dirangkum dalam lima chapter, film ini bisa menciptakan aku mencicipi suasana yang kelam tanpa perlu menampilkan adegan sadis. Cukup dengan memaksimalkan karakterisasi tokoh-tokohnya dan mengeksploitasi dongeng perihal disfungsi keluarga, penonton sudah dibentuk mencicipi aura yang kelam dan cukup depresif. Untungnya nuansa kelam itu tidak hingga terasa keterlaluan menyerupai yang muncul dalam film Jepang lainnya, Norwegian Wood. Noriko's Dinner Table memang kelam tapi kita tidak hingga dibentuk gregetan dengan karakternya, namun justru makin tertarik kedalam dunia dan pikiran mereka masing-masing. Untuk adegan gila, film ini masih punya beberapa. Tidak sebrutal Suicide Circle, tapi kegilaannya masih tetap. Tentunya masih sama menyerupai film pendahulunya, film ini dibalut dengan scoring dan lagu-lagu yang bisa membangun suasana dengan amat baik. Lagu-lagu yang bernada kelam dan miris tersebut juga dipadukan dengan visual yang sama kelam dan cantinya. Noriko's Dinner Table lebih baik jangan dipandang sebagai film yang menjawab Suicide Circle alasannya Sion Sono sendiri tampaknya tidak menciptakan film ini untuk menjawab pertanyaan tapi lebih kepada pengembangan universe yang ada dalam filmnya tersebut. Sebuah film yang bisa melangkah lebih jauh lagi dibanding film pertamanya dan masih mempunyai konsep yang sama gilanya. Keluarga rental? Keren!
Ini Lho Noriko's Dinner Table (2006)
4/
5
Oleh
news flash