Wednesday, January 16, 2019

Ini Lho Opera Jawa (2006)

Ini ialah kedua kalinya saya menonton karya Garin Nugroho setelah  Under the Tree sebelumnya telah menjadi perkenalan yang menyenangkan dengan karya sutradara yang satu ini. Saat itu reaksi saya ialah kagum. Kagum bagaimana sineas Indonesia bisa untuk menciptakan film yang tidak hanya berkualitas cantik tapi juga dirangkum dengan unik dimana banyak sekuen-sekuen tarian ataupun adegan penuh metafora didalamnya. Yap, film lokal yang berkualitas baik memang banyak tapi yang menyajikan kisahnya dengan penuh penemuan masihlah jarang. Tapi dua tahun sebelumnya Garin sudah menciptakan sebuah film yang bisa dibilang lebih nyeni daripada Under the Tree. Jika dalam Under the Tree masih ada alur "normal" layaknya drama pada umumnya, dalam film yang punya judul internasional Requiem from Java ini keseluruhan kisahnya murni memakai perpaduan antara tari dan tembang-tembang Jawa. Metafora-metafora juga jauh lebih banyak dan kental menghiasi sepanjang film.

Kisah dalam Opera Jawa mengambil dasar dari dongeng "Ramayana" khususnya pada kepingan penculikan Sinta oleh Rahwana. Ceritanya ialah mengenai kehidupan sepasang suami istri, Setio (Martinus Miroto) dan Siti (Artika Sari Devi). Sebelum menikah keduanya ialah penari yang mementaskan "Ramayana" sebagai Rama dan Sinta. Setelah menikah, keduanya berhenti menari dan menggantungkan hidup pada perjuangan pembuatan tembikar yang ditekuni Setio. Namun bisnis tersebut tidak berjalan lancar. Bukan hanya bisnis Setio, tapi bisnis para pengusaha dan pedagang kecil di kampung tersebut juga terancam sebab adanya ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin. Ludiro (Eko Supriyanto) yang merupakan tukang jagal sapi yang sukses ialah salah satu diantara si kaya yang semena-mena. Kesulitan keuangan menciptakan kekerabatan Setio dan Siti merenggang. Setio yang harus lebih sering bekerja meninggalkan Siti menciptakan istrinya tersebut "haus" akan belaian seorang lelaki. Sampai Ludiro tiba dan berhasrat merebut Siti dari suaminya. Disinilah kesetiaan Siti terhadap Setio mulai diuji. Disatu sisi beliau menyayangi dan ingin setia pada sang suami tapi disisi lain hasratnya akan Ludiro makin sulit dibendung.
Menikmati Opera Jawa sekaligus berusaha mengerti segala isi didalamnya bukanlah perkara yang mudah. Terpesona oleh bagaimana sebuah setting dan pemakaian properti yang ditambah aneka macam macam instalasi media seni rupa memang ialah hal yang akan dengan gampang dirasakan oleh penontonnya. Begitu juga kekaguman akan bagaimana tari dan tembang Jawa bisa berpadu dalam media film. Tapi bagaimana meresapi intisari kisahnya ialah dongeng lain. Saya sendiri mencicipi bahwa butuh konsentrasi berlebih dan berpikir cukup keras untuk bisa memahami rangkaian adegan demi adegan penuh metafora yang ditampilkan Garin. Kita sudah diberi dasar bahwa kisah ini mengambil basis dari Ramayana, tapi yang dilakukan Garin ialah melaksanakan penyesuaian lepas sehingga terang banyak perbedaan dongeng dan pesan-pesannya juga berbeda. Tema cinta,kesetiaan dan hasrat seksual terpampang terang di permukaan. Bagaimana adegan Ludiro coba merayu Siti dengan ratusan lilin yang berujung pada perjuangan pelampiasan seksualnya. Lalu bagaimana perjuangan Siti melawan hasratnya berselingkuh. Sampai ketika Setio dibakar api cemburu kala Ludiro menghadiahkan bentangan kain merah pada Siti yang berujung pada amukan Setio yang memperabukan kain itu kemudian dilanjutkan pada kesedihan dan amarah luar biasa Ludiro sampai-sampai ingin kembali ke rahim ibunya. Benar-benar rangkaian-rangkaian adegan indah.
Selain itu masih muncul juga hal-hal lain disini menyerupai ketika ada adegan ketika Setio coba "membentuk" sang istri dengan tanah liat layaknya kerajinan tembikar yang biasa ia buat. Bisa jadi itu ialah sebuah metafora perihal bagaimana seorang perempuan dalam hal ini istri "dibentuk" sesuai dengan harapan sang suami dan kadangkala menjadi pelampiasan hasratnya saja. Hal-hal tersebut ialah sorotan dan makna-makna metafor yang masih berada di seputar kisah cinta segitiga Setio-Siti-Ludiro yang meninggalkan kesan kelam, tragis sekaligus begitu "seksi". Tapi sekali lagi Opera Jawa masih menyimpan banyak makna-makna lain didalamnya khususnya mengenai gambaran-gambaran sosial masyarakat Jawa ketika ini. Ketimpangan sosial terang jadi yang paling terasa. Saat rakyat kecil hidupnya makin tidak terang arah dan nasibnya, sang penguasa lalim dalam hal ini seorang tukang jagal menyedot harta-harta dan penghasilan si miskin. Masih ada lagi potret mengenai kaum menengah kebawah dalam sebuah obrolan di warung kopi yang begitu terasa suasana keakraban dan kerakyatannya yang sederhana. Seolah saya sedikit berkaca pada suasana obrolan tersebut. 

Kesemuanya itu sekali lagi ditampilkan dalam balutan tarian dan tembang-tembang Jawa. Nyaris tidak ada obrolan dalam film ini, bahkan untuk obrolan major bisa saya katakan sama sekali tidak ada. Cukup sulit memahami maknanya, tapi sedikit gerakan-gerakan tarian bisa membantu. Jika itu masih susah, lirik tembang Jawa yang terdengar cukup bisa menawarkan citra mengenai apa yang dimaksudkan dalam sebuah adegan. Tapi saya rasa Garin Nugroho terasa terlalu nyeni dalam film ini. Kata terlalu nyeni toh bagi saya masih boleh dikritisi, sebab mengkritisi sebuah film sebagai film yang terlalu klise juga boleh saja. Terlalu nyeni tapi masih bisa diserap maknananya meskipun mungkin tidak 100% berhasil terserap makna per adegan tapi paling tidak poin utamanya bisa masuk pada penonton. Faktor abstraksi yang muncul juga seringkali menciptakan adegan per adegannya seolah berbeda segmen dan tidak berhubungan. Sedikit mengganggu tapi biarlah, toh penyajiannya luar biasa indah. Tidak saya sangka syutingnya hanya 14 hari. Padahal dengan koreografi tari dan segala macam set rumit nan indah itu, saya sempat berfikir film ini makan waktu usang dalam pembuatannya. Kredit lebih patut diberikan pada Artika Sari Devi yang sebelum produksi film ini belum pernah sekalipun berkecimpung dalam tari tapi ternyata akting dan tarian yang beliau sajikan disini bagi saya melebur dengan amat baik. Begitu pula keseluruhan film ini yang bisa menyatukan aneka macam bentuk seni dalam sebuah media film yang hebat.

RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho Opera Jawa (2006)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email