Tuesday, January 15, 2019

Ini Lho Primer (2004)

Saya yakin semua orang pernah mempunyai pengalaman dimana mereka menonton film dan sama sekali tidak mengerti apa maksud dari film tersebut dikala pertama kali menontonnya. Ada kalanya terkadang sebuah film tidak cukup hanya ditonton sekali untuk bisa dimengerti apa isi didalamnya. Bahkan bagi para penonton yang tidak malas untuk berpikiri sekalipun ada batas dimana kemampuan nalar tidak sanggup menandingi kerumitan yang ditawarkan sebuah film. Sejauh ini, saya sendiri pernah tiga kali mengalami hal tersebut, yaitu disaat menonton dua film David Lynch, Eraserhead dan Inland Empire serta film Primer ini. Bedanya, bila dalam kedua film Lynch tersebut kerumitan tiba dari makna dalam filmnya dan penonton bebas menawarkan interpretasi masing-masing terhadap film tersebut, sedangkan dalam Primer kita akan menemukan sebuah sajian dengan plot yang berjalan tidak secara konvensional dan berisikan dialog-dialog ilmiah yang susah dimengerti orang awam. Primer sendiri berhasil memenangkan Grand Jury Prize pada Sundance tahun 2004 dan menerima status cult. Sebuah pencapian hebat dari sebuah film yang hanya mempunyai bujet $7,000 dan banyak sekali aspeknya ditangani oleh satu orang saja. Ya, Shane Carruth selaku sutradara juga merupakan produser, penulis naskah, penata musik, editor sekaligus menjadi pemain utamanya.

Pada awalnya, Primer akan memperkenalkan penontonnya pada Aaron (Shane Carruth), Abe (David Sulivan), Robert (Casey Gooden) dan Phillip (Anand Upadhyaya) yang tengah mengerjakan sebuah proyek ilmiah. Mereka berusaha membuat sebuah inovasi terbaru dengan melaksanakan banyak sekali uji coba di garasi milik Aaron. Setelah banyak sekali kegagalan, risikonya Aaron dan Abe menemukan fakta bahwa mesin yang mereka kerjakan tersebut bisa dipakai untuk mengurangi massa sebuah benda. Tapi dibalik keberhasilan tersebut mereka menemukan suatu fakta yang aneh. Keanehan terjadi dikala benda yang mereka masukkan dalam mesin itu dikeluarkan dimana terdapat protein dalam jumlah yang harusnya gres terbentuk dalam jangka waktu beberapa tahun. Disitulah mereka mulai menyadari bahwa mesin tersebut bisa jadi merupakan sebuah mesin waktu. Primer diisi dengan begitu banyak obrolan ilmiah yang mengandung unsur fisika yang amat kental. Jika anda bukan orang yang cukup andal dalam bidang fisika maka jangan harap mengerti apa yang mereka bicarakan. Hebatnya, semua pemain drama yang bermain disini nampak begitu menguasai apa yang mereka bicarakan, padahal belum tentu mereka memahami istilah-istilah fisika yang ada dalam obrolan tersebut.

Tapi sebetulnya untuk memahami jalan dongeng film ini kita tidaklah perlu benar-benar mengerti akan istilah-istilah fisika yang bertebaran. Karena banyak sekali obrolan rumit tersebut bisa dibilang berfungsi sebagai deskripsi detail mengenai bagaimana prinsip kerja mesin waktu tersebut. Tapi untuk memahami jalan ceritanya tidak perlu hingga memahami banyak sekali istilah asing tersebut. Masalahnya ialah meskipun filmnya sudah berisikan obrolan yang membuat pusing penonton, Shane Carruth sama sekali tidak berusaha membuat alur ceritanya sederhana. Tema time travel yang sudah cukup rumit disajikan dengan alur yang rumit pula. Alurnya mungkin termasuk linear, tapi kontinuitas waktu yang menjadi bias dengan tema mesin waktu inilah yang membuat plotnya rumit. Kombinasi obrolan kelas tinggi dengan alur yang rumit inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi penonton untuk memecahkan puzzle yang terdapat dalam filmnya. Daripada menekankan kepada petualangan yang terjadi jawaban keberadaan mesin waktu ibarat yang biasa kita jumpai pada film-film mainstream, Primer lebih mengetengahkan pada penemuannya. Hal itulah yang menyebabkan film ini lebih bawel berbicara soal cara kerja dan banyak sekali ilmu fisika di sekitar mesin waktu tersebut, lantaran yang ditekankan ialah mengenai inovasi hal gres dan bagaimana orang menanggapi temuan gres tersebut.
Saya yakin pengalaman pertama menonton film ini akan terasa membingungkan. Kita tahu bahwa ini ialah film wacana mesin waktu yang memungkinkan penggunanya kembali ke masa lalu, tapi bagaimana proses tersebut terjadi dan hal-hal apa saja yang terjadi sehabis itu akan terasa membingungkan. Jika anda malas berpikir dan eksklusif mengalah sehabis pengalaman menonton yang pertama, maka Primer akan menjadi sebuah film yang memusingkan, menyebalkan dan tidak jelas. Tapi bila segala hal rumit tersebut membuat anda ingin tau untuk memecahkan puzzle yang ada, maka pengalaman menonton kedua atau bahkan seterusnya akan terasa luar biasa, apalagi dikala anda sudah bisa memahami hampir keseluruhan filmnya, maka Primer akan menjadi sebuah film dengan naskah yang cerdas, padat dan penuh dengan twist cemerlang. Pada pengalaman pertama, saya sendiri mengalah dikala filmnya gres berjalan satu jam lebih sedikit. Tapi begitu mengulang hingga dua kali lagi, filmnya terasa begitu cerdas. Film ini seolah menjadi definisi yang sesungguhnya dari genre science-fiction dimana akhir-akhir ini Hollywood makin mengesampingkan unsur sains dan makin memperkuat fiksinya. Sedangkan apa yang disuguhkan Primer benar-benar merupakan sebuah studi akan hal berbau sains yang dipadukan dengan unsur fiksim bukannya sebuah hal fiksi yang dipaksa diselipi sains tanpa dasar.

Mari sedikit membicarakan apa yang sebetulnya terjadi dalam film ini, jadi mungkin paragraf ini mengandung beberapa SPOILER. Mesin waktu dalam film ini punya cara kerja kurang lebih ibarat ini: Aaron dan Abe tiba ke gudang penyimpanan untuk menyalakan mesin waktu dengan diberi timer 15 menit. Setelah itu mereka akan menunggu di penginapan sembari mengecek bursa saham. Setelah mengetahui saham mana yang paling banyak menghasilkan uang, mereka kembali ke gudang penyimpanan enam jam sehabis mesin tersebut dinyalakan. Kemudian mereka masuk dan secara otomatis mereka akan kembali pada waktu disaat mesin itu menyala, yakni 15 menit sehabis timer dinyalakan. Itulah sebabnya mereka menggunakan timer lantaran bila tidak maka Aaron dan Abe akan bertemu dengan kembaran mereka dari masa depan yang keluar sempurna disaat mereka menyalakan mesin tersebut. Tapi tentu saja selain itu masih ada banyak misteri lainnya yang muncul khususnya mendekati simpulan film. Pastinya saya juga tidak akan membocorkan kejutan tersebut dalam review ini.

Menonton Primer saya kembali tersadarkan pada esensi film sebagai simbol kreatifitas. Primer tidak pernah terliaht murahan meski tanpa mengetahui bujet aslinya kita sudah bisa menerka bahwa film ini dibentuk dengan bujet minim. Naskah yang cerdas dan dibumbui imajinasi menawan dan dipadukan dengan proses edting yang baik ialah faktor yang membuat film murah ini tidak pernah terasa murahan. Film ini terasa begitu akrab dengan keterbatasan dalam banyak sekali aspek, tapi dengan bermodalkan kreatifitas khususnya dari Shane Carruth yang ibarat melaksanakan one man show disini, Primer bisa terlihat jauh lebih berharga dari film-film sci-fi keluaran Hollywood yang mempunyai bujet bisa mencapai 100.000 kali lebih besar daripada film ini. Primer ialah segalanya wacana time traveler. Mulai dari bagaimana konsep sebuah mesin waktu, apa saja yang bisa dilakukan dengan mesin tersebut, hingga apa saja dampaknya bila kita mencoba mencurangi waktu. Semuanya dibalut dalam sebuah sajian film yang cerdas dan solid.


Artikel Terkait

Ini Lho Primer (2004)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email