Wednesday, January 9, 2019

Ini Lho 3 Nafas Likas (2014)

Rako Prijanto yang dulu lebih dikenal sebagai sutradara film-film komedi tasteless macam Benci Disko, D'Bijis, Pengantin Sunat dan masih banyak lagi, akhir-akhir ini seolah mulai "bertobat". Tiga film terakhirnya punya genre lebih serius dan digarap dengan lebih baik pula. Mulai dari Malaikat Tanpa Sayap hingga Sang Kiai jelas merupakan peningkatan kualitas dibanding film-film Rako sebelumnya, meski pencapaian Sang Kiai yang menjadi perwakilan Indonesia di ajang Oscar tahun kemudian memang terasa kurang pantas. Kali ini Rako Prijanto kembali menciptakan film bermuatan sejarah dan usaha Indonesia di masa penjajahan dengan 3 Nafas Likas. Film ini diangkat dari kisah kasatmata dari kehidupan Likas Tarigan atau yang dikenal juga sebagai Likas Gintings. Cerita dalam film ini memebentang panjang dari zaman 1930-an hingga masa kini serta berlokasi di banyak daerah mulai dari Sumatera Utara, Jakarta hingga Ottawa. Terkesan ambisius memang ketika sebuah film bertutur perihal dongeng yang terjadi dalam jangka waktu panjang alasannya ialah niscaya akan banyak hal yang terjadi dan sebuah tantangan tersendiri untuk menciptakan rangkaian kisahnya tetap terfokus dan tergali dengan baik.

Likas kecil (Tissa Biani Azzahra) ialah perempan yang punya ambisi besar dalam hidupnya. Dia bercita-cita menjadi seorang guru meski sang ibu (Jajang C. Noer) menentang keras pilihan tersebut. Alasan penolakan sang ibu ialah alasannya ialah ia tidak ingin kembali "kehilangan" anaknya sehabis sang putera pertama, Mulia (Mario Irwnsyah) sudah lebih dulu merantau untuk menjadi polisi. Tapi berkat kontribusi penuh sang ayah (Arswendi Nasution) keinginan Likas kesudahannya terpenuhi dan beliau pergi menuntut ilmu di sekolah guru (disebut normal school). Sebuah keputusan yang bantu-membantu juga berat bagi Likas alasannya ialah untuk pertama kalinya ia harus hidup jauh dari keluarganya. Tapi semua pengorbanan itu ahirnya terbayar ketika Likas cukup umur (Atiqah Hasiholan) berhasil meraih cita-citanya sebagai guru. Pada masa itulah Likas bertemu dengan Djamin Gintings (Vino Bastian), seorang prajurti PETA yang sempat tinggal bersebelahan dengannya. Diam-diam keduanya mulai saling menyayangi dan bekerjasama lewat surat menyurat.Tapi hubungan keduanya harus menerima tantangan besar disaat Djamin yang menjadi tentara harus berjuang di medan perang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Meskipun banyak tantangan besar dalam hidupnya Likas tidak pernah mengalah khususnya dalam memenuhi akad yang pernah ia ucapkan pada tiga orang yang paling berharga dalam hidupnya.
Seperti yang saya sebutkan diatas, tantangan terbesar dalam mengangkat dongeng yang terbentang dalam jangka waktu usang ialah bagaimana membagi kepingan-kepingan kisahnya yang niscaya amat banyak untuk sanggup terasa maksimal tanpa harus terasa tumpang tindih. 3 Nafas Likas tidak sanggup dibilang 100% berhasil melaksanakan hal tersebut tapi tidak sanggup juga dibilang sepenuhnya gagal. Pada potongan awal, Rako Prijanto berhasil mengemas kisahnya dengan baik. Fase demi fase yang harus dijalani Likas kecil dalam usahanya menggapai impian tersaji dengan memuaskan. Ada simpati yang tecrcipta untuk sosok Likas dan banyak sekali konflik yang hadir pun cukup kuat. Drama yang muncul dari hubungan Likas dengan kedua orang tuanya yang memiliki perilaku begitu berbeda ialah keunggulan utama pada fase ini. Tapi kemudian ketika film memasuki fase kedua yang ironisnya merupakan babak utama, kisahnya sedikit melemah. Muncul banyak momen yang tiba dan pergi begitu cepat bahkan sebelum penonton berhasil diajak meresapi momen tersebut. Hal itu terjadi alasannya ialah ada begitu banyak potongan dongeng esensial dalam kehidupan Likas yang memang tidak sanggup dihilangkan. Tapi durasi yang terlalu singkat untuk mengemas dongeng sebanyak itu mengakibatkan banyak ceritanya tidak maksimal.

Nampaknya orang-orang dibalik film ini khawatir jikalau 3 Nafas Likas berjalan selama dua jam atau bahkan lebih penonton akan menjadi lelah dan bosan. Memang benar jikalau film sepanjang itu tidak bertutur dengan baik hasil kesudahannya akan membosankan, tapi Rako Prijanto sudah mengambarkan ia sanggup bercerita dengan baik disini, jadi apabila durasi ditambah untuk memperlihatkan porsi lebih banyak pada eksplorasi dongeng saya yakin film ini tidak akan terasa membosankan, justru sebaliknya akan semakin kuat. Saya suka dongeng Likas dengan kedua orang tuanya, dan tidak ada dilema dengan itu. Yang terasa kurang justru eksplorasi hubungan Likas dengan Djamin. Sosok Djamin yang literally sering pergi meninggalkan Likas untuk ke medan perang ironisnya juga menciptakan abjad dan hubungannya dengan Likas kurang tereksplorasi. Kita dipaksa untuk pribadi meyakini bahwa perkenalan singkat keduanya sudah menumbuhkan benih-benih cinta sejati dan tahu-tahu mereka sudah bertunangan kemudian menikah. Sangat disayangkan alasannya ialah sosok Djamin ialah kepingan terbesar dan paling penting dalam hidup Likas dan walaupun potongan pertengahan dan tamat hubungan mereka digarap cukup baik, pembangunan yang lemah diawal menciptakan kisah keduanya kurang kuat, kurang menyentuh.
Untungnya walaupun banyak aspek dongeng yang kurang maksimal, akting manis dari masing-masing pemainnya menolong potongan dramanya menjadi tidak jatuh. Meski Tissa Biani dan Arswendi Nasution tampil manis di paruh pertama, yang paling mencuri perhatian ketika itu tentu saja Jajang C. Noer sebagai seorang ibu yang over protective. Tapi berkat karakterisasi yang apik dan akting yang bagus, penonton berhasil dibentuk memahami rasa takut luar biasa akan kehilangan orang tercintalah yang membuatnya bersikap menyerupai itu. Kemudian pada paruh kedua, beban giliran ditanggung oleh duo Atiqah Hasiholan dan Vino Bastian. Diluar karakternya yang kurang tergali, Vino Bastian bantu-membantu sudah terlihat maksimal khususnya dengan logat yang ia gunakan, hanya saja pelafalan dialognya terasa dipaksakan dan seringkali mengganggu, permasalahan yang sesungguhnya bukan pertama kali ia alami. Sedangkan Atiqah berhasil menyajikan kapasitas akting yang tidak hanya paling mencuri perhatian dalam film ini tapi juga merupakan salah satu akting terbaik sepanjang karirnya. Dia begitu total disini mulai dari ekspresi, gestur hingga emosi semuanya total, mengakibatkan adegan yang bantu-membantu tidak terlalu berpengaruh menjadi begitu dramatis bahkan beberapa terasa menyentuh berkat aktingnya. 

3 Nafas Likas memang terasa keteteran dalam mengemas begitu banyak dongeng kedalam film berdurasi hanya 107 menit, mengakibatkan potensi dongeng yang begitu besar gagal termaksimalkan. Tapi film ini tetaplah sebuah presentasi yang memuaskan berkat pengemasan yang baik dari Rako Prijanto, aspek setting dan pengemasan artistik lainnya yang cukup maksimal, serta akting berpengaruh dari para pemainnya dengan Atqiah Hasiholan sebagai yang terbaik. Yang paling menyenangkan sekaligus melegakan bagi saya ialah fakta bahwa film ini tidak hanya menjual pesan moral dan usaha menyerupai yang biasa digunakan banyak film lokal lainnya, bersembunyi dibalik moral dan budaya untuk menyembunyikan kualitasnya yang kurang, menyerupai film Rako Prijanto sebelumnya, Sang Kiai. 3 Nafas Likas bertutur perihal banyak hal menyerupai alasan untuk hidup, pengejaran mimpi, makna kebahagiaan, dan masih banyak lagi tapi semua itu dimasukkan tanpa pernah melupakan tujuan utama dalam pembuatan suatu film: menciptakan film yang manis (plus poster filmnya juga indah).

Artikel Terkait

Ini Lho 3 Nafas Likas (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email