Wednesday, January 9, 2019

Ini Lho The Purge: Anarchy (2014)

Film pertama The Purge terang merupakan kesuksesan ditinjau dari segi finansial, dimana film tersebut berhasil mendapat $89 juta dollar dari bujetnya yang hanya $3 dollar. Meski mendapat banyak respon negatif dari kritikus, tidak butuh waktu usang bagi Universal Pictures untuk menciptakan sekuelnya. The Purge: Anarchy pun dirilis setahun sesudah film pertamanya dan masih disutradarai serta ditulis naskahnya oleh James DeMonaco. Sebuah pekerjaan besar bagi DeMonaco untuk menambal banyak keburukan film pertama, khususnya pada kegagalannya untuk menciptakan film yang sama menarik dengan premisnya. The Purge memang punya inspirasi dasar abnormal yang menarik sebelum karenanya berakhir menjadi sebuah film home invasion yang membosankan. DeMonaco pun tetapkan menciptakan Anarchy lebih besar dari fim pertamanya, sebuah formula standar dalam sekuel tapi dalam kasusk The Purge hal tersebut memang perlu dilakukan untuk memaksimalkan potensi dari premisnya.

The Purge: Anarchy akan berfokus pada jumlah huruf utama yang lebih banyak dimana mereka semua yakni muka-muka gres yang tidak muncul di film pertama. Kita akan dibawa mengikuti perjuangan bertahan hidup dari lima orang yang terjebak diluar ketika Purge berlangsung. Eva (Carmen Ejogo) dan putrinya Cali (Zoe Soul) berada diluar sesudah secara mendadak rumah mereka diserbu oleh pasukan bersenjata milik laki-laki misterius berjulukan Big Daddy (Jack Conley) sebelum karenanya diselamatkan oleh Leo Barnes (Frank Grillo). Leo sendiri sesungguhnya tengah berada dalam perjalanan untuk melaksanakan “pembersihan” tapi rasa iba membuatnya menentukan menyelamatkan Eva dan Cali. Tidak usang kemudian mereka bertemu dengan Shane (Zach Gilford) dan mantan pacarnya, Liz (Kiele Sanchez) yang terjebak diluar sesudah kendaraan beroda empat mereka dirusak oleh sekelompok orang bertopeng. Bersama-sama, mereka berlima harus bertahan hidup melewati malam disaat pasukan bersenjata milik Big Daddy dan pria-pria bertopeng misterius yang mengejar Shane dan Liz sama-sama memburu mereka semua.
Pertanyaan pertama yang hadir sesudah menonton sebuah sekuel tentu saja “apa lebih anggun dari film sebelumya?” Untuk The Purge: Anarchy jawabannya yakni “ya”. Film ini memang lebih anggun dari film pertamanya. Dengan konsep yang ambisius, menyebabkan The Purge sebagai home invasion berskala kecil memang menyia-nyiakan potensi, sebab itu keputusan DeMonaco memperbasar skalanya disini sanggup dibilang tepat. Unsur horror dan thriller yang kental di film pertama diturunkan, dan disuntikkanlah dna film agresi disini. Hasilnya memang menciptakan Anarchy lebih terasa sebagai action berbumbu thriller daripada horror. Bagi yang berharap horror mungkin bakal kecewa tapi harus diakui perubahan tersebut menciptakan film ini jauh lebih seru dengan tempo yang lebih cepat dan terjaga daripada pendahulunya. Masih banyak momen yang digarap kurang maksimal, tapi Anarchy tidak terasa membosankan ibarat film pertamanya.

Sebagai perjuangan mencapai ambisinya yang besar, DeMonaco tidak hanya memperbesar skala tapi juga menciptakan ceritanya lebih kompleks dengan suntikkan subplot ihwal para revolusioner, konspirasi pemerintahan, serta kritikan terhadap kaum-kaum elit yang menindas rakyat kecil. Kritik sosial terhadap orang-orang kaya memang menciptakan kisahnya jadi lebih menarik dan tidak sehampa film pertamanya, tapi tetap saja ambisi besar DeMonaco untuk menciptakan thriller yang penuh kisah kompleks dan cerdas masih belum berhasil. Kisah para revolusioner belum terlalu digali dan saya cukup yakin kisah itu sengaja disimpan untuk film ketiga yang rencanaya bakal rilis tahun depan. The Purge: Anarchy juga masih terlalu kecil untuk memenuhi ambisi DeMonaco walau skalanya sudah jauh lebih besar dibanding film pertama. Kita masih buta ihwal sosok new founding father, kisah para revolusioner dan lain sebagainya. Anarchy juga sudah dikemas lebih brutal namun belum segila inspirasi dasarnya.
Biar bagaimanapun, franchise The Purge memang dibentuk untuk menarik sebanyak mungkin orang, jadi kegilaan yang hadir pun tidak akan bebas berkeliaran. Salah satu yang masih amat saya sayangkan yakni penggamabaran “malam pembersihan” yang masih terlampau “aman”. Saat mendengar ihwal sebuah malam ketika kriminalitas dibebaskan di kepala saya terbayang sebuah perang besar yang brutal di seluruh penjuru kota. Akan ada pembunuhan dimana-mana, perampokan, penculikan, hingga pemerkosaan. Tapi bahkan film keduanya yang bertajuk “Anarchy” masih belum menggambarkan segala kegilaan itu, dan anarki yang muncul masih amat minim.

Kekurangan besar lainnya dari film ini yakni karakter. Tentu saja saya tidak berharap mendapat huruf yang tereksplorasi mendalam pada film ibarat ini, tapi lebih banyak didominasi huruf utamanya benar-benar menyebalkan. Dari lima tokoh utama, kita punya Eva, Cali dan Shane sebagai sosok yang saya harap dibunuh saja. Mereka yakni orang-orang menyebalkan, selalu merengek, egois, tidak tahu terima kasih, dan sangat cerewet. Liz tidak menyebalkan lebih sebab karakternya tidak banyak berbuat apapun. Hal itu menyisakan Leo Barnes-nya Frank Grilo sebagai satu-satunya huruf yang menarik diikuti. Karakternya memang standar one-man army, tapi sosok Frank Grilo yang keras, penuh charisma dan punya wajah tidak “sebaik” action heroes pada umumnya menciptakan Leo menjadi huruf yang cukup keren. Overall, Anarchy memang peningkatan dibanding film pertama. Jauh lebih menghibur, dan lebih mendekati keambisiusan premisnya meski masih belum sanggup memenuhi semua potensi yang ada. Dengan topeng, slow-motion dan gimmick lainnya DeMonaco tampak berusaha menciptakan filmnya terasa keren dan stylish tapi ironisnya, momen dengan gaya dan aspek visual paling keren justru closing credit-nya.

Artikel Terkait

Ini Lho The Purge: Anarchy (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email