Sunday, January 6, 2019

Ini Lho The Admiral: Roaring Currents (2014)

Mari melaksanakan sedikit hitung-hitungan. Estimasi penduduk Korea Selatan pada tahun 2014 berjumlah sekitar 51 juta jiwa, bukan angka yang besar kalau dibandingkan 252 juta penduduk Indonesia pada tahun yang sama. Menilik angka tersebut, prestasi yang ditorehkan The Admiral: Roaring Currents jelas luar biasa ketika berhasil mengumpulkan lebih dari 17,6 juta penonton (total penghasilan diatas $131 juta). Angka tersebut menyebabkan film ini sebagai film terlaris sepanjang masa di Korea Selatan, mengalahkan The Host bahkan Avatar-nya James Cameron. Jika mau dibandingkan tentu saja film terlaris negeri kita yaitu Laskar Pelangi yang "hanya" mengumpulkan sekitar 4,6 juta penonton tidak ada apa-apanya. Cerita yang berasal dari kisah kasatmata wacana usaha heroik Laksamana Korea Selatan pada masa peperangan melawan Jepang, serta nama besar macam Choi Min-sik dan Ryu Seung-ryong memang menjadi dua faktor terbesar dari kesuksesan film ini. Tentu lebih banyak didominasi penonton berharap menerima sajian historical yang heroik sekaligus epic.

Pada tahun 1597, Laksamana Yi Sun-yin (Choi Min-sik) dibebaskan dari penjara menyusul semakin gentingnya situasi Korea disaat pasukan Jepang semakin bersahabat untuk mengepung ibukota. Yi Sun-yin sendiri sempat dipenjara dan menerima penyiksaan alasannya yakni dianggap melawan perintah raja. Tapi kondisi ketika itu memang menyudutkan pihak Korea. Setelah banyak sekali kekalahan, pasukan dan persenjataan yang tersisa sekarang tinggal sedikit. Bahkan angkatan bahari yang dipimpin oleh Yi Sun-yin hanya mempunyai 12 kapal. Tentu bagaikan misi bunuh diri ketika mereka harus berhadapan dengan 330 kapal armada angkatan bahari Jepang. Tapi Yi Sun-yin tidak gentar. Bahkan ia tidak menuruti perintah raja yang menyuruh pasukannya untuk mundur. Walau banyak prajurti yang kabur bahkan berusaha membunuh Yi Sun-yin, sang laksamana tetap yakin bahwa ia sanggup mengubah rasa takut prajuritnya menjadi keberanian yang akan berujung kemenangan.
Sutradara Kim Han-min menentukan untuk membagi filmnya ini kedalam dua fase. Fase pertama lebih banyak berisikan drama seputar ketakutan yang melanda pasukan Korea. Alih-alih juga menyelipkan sedikit adegan aksi, Han-min menentukan mengesampingkan secara total unsur tersebut dan 100% berfokus pada dramanya. Hal itu dilakukan dengan impian penonton sanggup ikut mencicipi ketakutan dan keputus asaan yang ada di benak setiap prajurit Korea. Tapi hasil akibatnya tidak menyerupai itu. Satu jam pertama film ini begitu melelahkan alasannya yakni drama yang hanya berputar-putar saja. Dinamika yang dibangun juga kurang padat. Ibarat sebuah tembok, paruh pertama film ini yakni tembok yang penuh lubang, tidak padat, tidak kokoh. Tentu saja faktor ekspektasi akan menerima disuguhi adegan agresi spektakuler cukup kuat terhadap kebosanan yang terasa, tapi akan lain ceritanya kalau unsur drama yang ada terasa kuat. Tidak buruk, hanya saja untuk menjadi pondasi utama terperinci jauh dari kata kuat. Untung ada akting solid Choi Min-sik yang menciptakan saya tidak mengalah dan menentukan tidur.

Saya sendiri pesimis The Admiral: Roaring Currents bisa membangun intensitasnya lagi ketika memasuki momen peperangan yang ditunggu-tunggu. Pesimis, alasannya yakni akan sangat sulit mengemas durasi satu jam menjadi full action. Saya tahu Han-min berusaha memperlihatkan "balasan" atas kesabaran penonton, tapi mungkinkah itu dilakukan? Butuh usaha ekstra, dan kesan epic yang tinggi untuk sanggup membayar kebosanan di paruh pertamanya. Nyatanya Kim Han-min bukanlah sutradara yang bodoh, melainkan percaya diri. Semegah apapun adegan peperangan tetap sanggup menjadi sajian flat jika hanya asal menaruh ledakan, asal cepat, dan asal berisik (film Michael Bay sanggup jadi teladan sempurna). Tapi diluar dugaan paruh kedua film ini tidak hanya berhasil menyuguhkan agresi bombastis yang seru tapi juga penuh dinamika dan emosi. Sesuatu yang sama sekali hilang dalam satu jam pertamanya. 
Pertempurannya penuh suasana bombastis yang menggelegar, disusun rapih sehingga setting nyata dan CGI pun berpadu selaras. Kim Han-min tidak hanya asal melempar ledakan demi ledakan. Satu jam adegan peperangan punya beberapa fase yang menghasilkan dinamika pemacur adrenaline dan perasaan. Pertanyaan yang hadir tentu "bagaimana seni administrasi Yi Sun-yin untuk memenangkan peperangan tidak seimbang itu?" Sebuah pertanyaan yang menerima jawaban setimpal dimana setiap satu demi satu taktik sang Laksamana diungkap, saya dibentuk terkagum-kagum akan kehebatannya. Bagaimana ia memanfaatkan medan perang dan rasa takut begitu luar biasa. Setiap pergerakan kapal, setiap perintah yang ia berikan jadi terasa bermakna sampai membangun intensitas adegan. Ditambah lagi keberhasilan Kim Han-min menyuguhkan momen heroik yang menggugah pada bab ini. Tidak hanya merinding, saya menteskan sedikit air mata ketika melihat bagaimana Yi Sun-yin melecut semangat tidak hanya anak buahnya tapi juga para warga sipil. Sebuah penggambaran tepat dari keberanian serta kepahlawanan.

Semua itu juga ditambah scoring garapan Kim Tae-seong yang begitu megah nan menggelegar. Sebuah iringan musik yang bahkan jauh lebih baik dalam aspek skala serta pembangunan emosi dibandingkan banyak musik di film-film agresi Hollywood. Pada akibatnya The Admiral: Roaring Currents memang bukanlah sajian epic yang luar biasa. Penyajian adegan agresi heroik dan penuh emosi di paruh keduanya memang luar biasa, tapi satu jam pertama yang membosankan itu menciptakan film ini gagal untuk "naik kelas". Mungkin untuk bertutur lebih jauh wacana filosofi seorang Yi Sun-yin film ini kurang berhasil, tapi sebagai sebuah film hiburan yang brutal dan penuh agresi kepahlawanan tanpa melupakan dinamika emosi sehingga rangkaian adegan aksinya tidak kosong melompong, The Admiral: Roaring Currents telah berhasil.

Artikel Terkait

Ini Lho The Admiral: Roaring Currents (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email