Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Avengers: Age Of Ultron (2015)

Merupakan pekerjaan yang sulit kalau bukan tidak mungkin untuk menciptakan follow-up yang melebihi The Avengers. Semaksimal apapun usahanya, suatu sekuel niscaya tidak akan "sesegar" film pendahulunya. Ditambah ekspektasi amat tinggi dari penonton, menciptakan sekuel yang lebih anggun dari suatu masterpiece semakin terasa tidak mungkin. Christopher Nolan telah mencicipi itu. Kali ini giliran Joss Whedon berhadapan dengan tantangan tersebut. Dia sudah mewujudkan "kemustahilan" dikala berhasil menggabungkan banyak superhero dalam satu film. Age of Ultron memperlihatkan Avengers yang sudah menyatu sebagai sebuah tim, berbeda dengan di film pertama dikala gres terbentuk. Hal itu sudah diperlihatkan oleh action sequence pembuka dikala mereka menyerang markas Baron Strucker (Thomas Kretschmann). Pembuka yang dikemas apik oleh Whedon, memanfaatkan gerak kamera dinamis menunjukkan masing-masing superhero bekerja sama di pertempuran. Mengingatkan pada titik puncak film pertama.

Sejak usang Whedon menjanjikan sekuel yang tidak hanya lebih besar namun juga lebih gelap. Bahkan dikala ditanya satu kata yang paling sesuai menggambarkan film ini, ia menjawab "death". Whedon menepati janti tersebut. Untuk mewujudkan film yang lebih gelap beberapa cara ditempuh. Selipan humor kuantitasnya dikurangi meski tidak dihilangkan. Ciri khas naskah goresan pena Whedon masih terasa. Interaksi antar aksara tetap beberapa kali memancing tawa. Tidak seefektif film pertama, tapi masih segar, masih begitu hidup. Karakter (tidak hanya Tony Stark) melontarkan one-line-joke di tengah pertempuran jadi pemandangan biasa. Berbekal kepintaran Whedon serta dominan aksara yang sudah terbentuk dalam film-film sebelunya, baris dagelan tidak merubah mereka menjadi aksara sitcom. Whedon masih tahu batas. Quicksilver (Aaron Taylor-Johnson), Ultron (James Spader) maupun Vision (Paul Bettany) punya momen komedik masing-masing yang tidak terasa dipaksakan sehingga out-of-character
Age of Ultron juga terasa lebih gelap sebab kisahnya banyak mengeksplorasi ketakutan. Ultron tercipta sebab ketakutan Tony Stark bahwa suatu dikala nanti ada musuh yang tidak bisa ditangani oleh Avengers. Semakin berpengaruh tema "ketakutan" berkat kehadiran Scarlet Witch (Elizabeth Olsen) dengan kemampuannya memanipulasi pikiran untuk menghadirkan mimpi terburuk seseorang. Dengan tema itu, jikalau berani nekat Whedon bisa saja menciptakan film ini menjadi horror bertemakan superhero. Whedon terang menyadari potensi tersebut. Beberapa adegan kental suasana horror. Mulai dari dream sequence masing-masing Avengers, sekilas penampakan mayit seorang aksara yang tewas bersimbah darah, adegan potong tangan yang menjadi "rutinitas" phase 2 MCU sebagai referensi terhadap Empire Strikes Back, hingga kehadiran awal Scarlet Witch yang lebih terasa ibarat hantu perempuan daripada superhero/villain standar pembiasaan komik. Keberhasilan itu menciptakan Age of Ultron sanggup menjadi sajian MCU yang lebih kelam, tanpa melupakan unsur hiburan. 

But here comes the problems. Termasuk Ultron, total ada 10 aksara yang harus membuatkan spotlight. Jumlah yang bahkan melebihi film X-Men sekalipun. Terlebih lagi beberapa dari mereka ibarat Quicksilver, Scarlet Witch, Vision dan Ultron gres diperkenalkan dalam film ini sehingga membutuhkan pengenalan. Bahkan untuk aksara usang sekalipun terdapat sub-plot pemanis semisal ketakutan Tony Stark plus pertentangannya dengan anggota tim sebagai jembatan menuju Captain America: Civil War, hubungan Bruce Banner dan Black Widow, hingga eksplorasi Hawkeye sebagai bentuk "melunasi" tersia-siakannya beliau pada film pertama. Ada begitu banyak karakter, ada begitu banyak hal terjadi. Beberapa arc sesungguhnya berhasil. Hawkeye jadi aksara yang lebih menarik dikala kehidupan pribadinya diperlihatkan, atau dikala ia "berkeluh kesah" ihwal dirinya sebagai insan biasa yang terjebak di tengah pertempuran para dewa. Kisah cinta Bruce dan Natasha yang makin diangkat menunjukkan keunikan sekaligus romansa terbaik dalam sejarah MCU selain Steve Rogers dan Peggy Carter.
Tapi tidak semua berjalan mulus. Efek shared universe begitu terasa disini. Saat James Gunn "selamat" sebab Guardians of the Galaxy adalah stand alone, maka Age of Ultron layaknya titik puncak sebuah fase. Harus merangkum apa yang telah terjadi, memperkenalkan hal baru, hingga menunjukkan tease pada apa yang akan hadir ke depannya (Infinity Wars). Ya, kali ini Joss Whedon kesulitan menangani hal tersebut. Age of Ultron memang bukan sekedar pengisi slot, tapi keharusan terikat akan event-event MCU melucuti potensinya. Cerita pun jadi amat bertumpuk. Sebagai tumpuan kisah si kembar Pietro dan Wanda yang terburu-buru dieksekusi. Alhasil, peralihan sisi yang mereka alami tidak menunjukkan dampak lebih. Saya berharap sebuah turning point menggetarkan dikala villain berganti menjadi pahlawan, tapi itu tidak terjadi. Kegagalan yang juga berujung pada kurangnya dampak emosional pada klimaks. 

Tapi kekecewaan terbesar tiba dari sosok Ultron. Digadang-gadang sebagai villain bagus MCU sesudah Loki, Ultron hanya diatas rata-rata namun tidak mengesankan. Kompleksitas aksara yang salah mengartikan perdamaian dan kehancuran bagai hanya tempelan saja. Apa yang hingga pada penonton hanya "Ultron ingin menghancurkan dunia" layaknya penjahat pada umumnya. Tidak lebih, tidak ada pula kompleksitas yang hadir jawaban kebencian Ultron (anak) pada Tony Stark (ayah). Tentu lebih baik dari sosok villain Marvel kebanyakan, tapi layaknya Winter Soldier, Ultron punya potensi berada di ranah yang lebih kompleks, lebih abu-abu. Whedon berusaha menciptakan Ultron lebih quirky, lebih absurd dengan lontaran-lontaran jokes yang nyatanya kurang efektif. James Spader bukanlah Tom Hiddlestone. Spader justru lebih berpotensi menjadi villain yang lebih kelam, lebih kejam daripada "joker" layaknya Loki. Melucuti potensi itu menciptakan Ultron terasa less menacing dari yang selama ini digadang-gadang oleh bahan promosinya.
Menjadi tidak maksimal, tapi Joss Whedon sudah melaksanakan hal Istimewa di sini, atau setidaknya lebih baik dari sutradara-sutradara lain yang kerepotan menangani aksara dalam jumlah besar (ex: Sam Raimi, Brett Ratner, Marc Webb). Tidak mungkin menerima hasil lebih baik dari ini dengan total aksara utama menyentuh dua digit. Setidaknya masing-masing dari mereka punya kesempatan bersinar meski hanya beberapa menit. Diantara mereka, Scarlet Witch/Wanda Maximoff ialah yang paling saya sukai. Seperti deskripsi Maria Hill, "she's weird". Kemunculan awalnya misterius dan creepy. Meski pada alhasil beralih sisi menjadi hero, karakternya masih terasa twisted. Potensi yang hadir dari karakterisasi serta kekuatan terpendam Wanda inilah yang bisa menjadikannya ibarat Hulk dalam film-film ke depan, dalam artian sosok Avengers yang sulit dikontrol bahkan bisa menjadi bahaya layaknya di komik. 

Adegan agresi masih dikemas begitu baik oleh Whedon. Pergerakan kamera dinamis, tiap ledakan dan hantaman tidaklah asal namun diperhitungkan matang demi koreografi memikat. Tidak kosong. Whedon juga masih mahir mengakibatkan tiap-tiap Avengers nampak keren dikala tengah beraksi, tanpa harus berlebihan dan annoying. Semua itu ialah bukti bahwa Whedon tidak hanya paham tapi juga menyayangi tiap-tiap tokoh yang ada. Mereka tampak keren bukan sebab suatu keharusan, tapi sebab Whedon ingin yang terbaik bagi karakternya, dan beliau tahu bagaimana caranya. Tapi ibarat yang saya sebut di atas, suasana fresh dalam film pertama tidak akan muncul di sekuelnya. Masih memukau, masih bombastis, tapi melihat para superhero ini beraksi dalam satu layar tidak lagi menciptakan bulu kuduk bangun atau bahkan air mata menetes. Kita kembali melihat para Avengers bersatu menghadapi pasukan musuh, yang masih menghibur tapi tidak lagi luar biasa. Masih ditambah titik puncak yang tidak se-epic apa yang hadir dalam trailer-nya. Mungkin butuh Thanos untuk memunculkan thrill itu lagi.

Age of Ultron bukan epic massive. Bukan pula blockbuster bintang lima ibarat yang saya harapkan. Fans akan terhibur meski penonton awam mungkin tidak mengerti beberapa referensi serta sempat bosan oleh selipan drama yang kental di pertengahan.Tapi dengan aksara dan kisah sebanyak itu, fakta bahwa film ini tidak awut-awutan bahkan sangat menghibur ialah pencapaian mengesankan sekaligus bukti kejeniusan Joss Whedon.

Artikel Terkait

Ini Lho Avengers: Age Of Ultron (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email