Bagi anak-anak, sebuah bedtime stories seperti apapun ceritanya akan terasa benar-benar nyata. Mereka akan merasa banyak sekali fantasi yang ada di dalamnya sebagai sebuah kenyataan dalam hidup. Hal yang sama juga terjadi berkaitan dengan kisah-kisah legenda horror sebelum tidur menyerupai boogeyman yang bersembunyi dalam kamar atau monster-monster lainnya. Sedangkan bagi orang berakal balig cukup akal yakni hal yang kadangkala menyebalkan ketika harus meyakinkan pada bawah umur bahwa monster itu tidak kasatmata biar mereka tidak selalu merasa ketakutan. Tapi bagaimana jikalau kisah menakutkan itu memang benar adanya? Konsep itulah yang coba diangkat oleh Jennifer Kent dalam film yang pada awalnya berasal dari film pendek berjudul MONSTER buatannya tahun 2005. Menarik meski bekerjsama bukanlah suatu konsep yang benar-benar baru. Tapi perbedaan The Babadook dengan horor terkenal garapan Hollywood yakni keputusan Jennifer Kent untuk tidak mengandalkan jump scare dalam meningkatkan tensi dan menghadirkan keseraman. Filmnya dibuka dengan sebuah opening slow motion menarik, menampilkan adegan mimpi yang dialami oleh Amelia (Essie Davis). Amelia kini merupakan orang renta tunggal sesudah sang suami, Oskar (Benjamin Winspear) meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan ketika mengantar Amelia menuju rumah sakit untuk melahirkan.
Kecelakaan itu merenggut nyawa Oskar, tapi Amelia selamat begitu pula kandungannya. Putera Amelia berjulukan Samuel (Noah Wiseman) merupakan seorang anak yang jikalau dilihat sekilas tidak jauh beda dengan bawah umur kebanyakan. Tapi Samuel punya tingkah laris yang bakal dengan gampang dicap "aneh" dan "menyebalkan" oleh orang-orang di sekitarnya. Dia begitu percaya dengan cerita-cerita monster dan sering menakut-nakuti anak lain, suka menciptakan senjata yang katanya akan dipakai untuk mengalahkan sang monster, bahkan emosinya sering meledak-ledak. Hal itu jugalah yang menciptakan kesulitan Amelie semakin besar. Disatu sisi, tentu saja kehidupan sudah merupakan suatu hal yang berat sebagai orang renta tunggal, ditambah lagi stress berat atas meninggalnya Oskar masih ia rasakan hingga sekarang. Kelakuan Samuel pun semakin menambah beban dan tekanan yang dirasakan Amelia. Sampai suatu hari Samuel menemukan sebuah buku dongeng misterius berjudul Mister Babadook. Tidak menyerupai buku bawah umur lainnya, buku itu penuh dengan gambar dan narasi menyeramkan perihal Mister Babadook, sosok monster yang mencari mangsa dan tidak akan sanggup diusir. Dari situlah awal teror yang dialami Amelia berawal.
Seperti yang saya sebutkan diatas, perbedaan The Babadook dengan horor milik Hollywood kebanyakan yakni tidak bergantungnya film ini terhadap jump scare. Dibuat kaget memang merupakan salah satu keasyikan dalam menonton film horor, tapi banyak yang lupa atau sengaja melupakan bahwa kengerian bukan hanya bersumber dari rasa kaget. Bahkan rasa takut yang sesungguhnya sama sekali berbeda dari sekedar kaget. Rasa takut bersumber dari ketidak nyamanan dan perasaan was-was. Hal itulah yang coba dibangun oleh Jennifer Kent disini dengan lebih berfokus pada bagaimana membangun atmosfer creepy dan membuatkan banyak sekali misteri menarik biar antisipasi penonton berhasil ditingkatkan. Hal ini menciptakan filmnya berjalan dengan baik. Jika film horor yang mengandalkan jump scare biasanya akan kehilangan daya tarik ketika tidak sedang mengageti penontonnya, tidak demikian dengan film ini. Misteri baik perihal sosok Mister Babadook maupun karakter-karakter yang ada menciptakan alurnya berjalan baik tanpa pernah kehilangan daya tarik. Sosok Mister Babadook sendiri memang tidak terlalu sering muncul, selain alasannya yakni fokusnya yang lebih pada membangun atmosfer juga nampaknya alasannya yakni kesadaran Jennifer bahwa sang monster akan terlihat menggelikan jikalau terlalu sering dan dimunculkan secara jelas.
Berkaitan dengan misteri, memang ada beberapa yang tidak terjawab khususnya perihal siapa bekerjsama sosok Mister Babadook itu. Tapi hal itu sangat sanggup dimaklumi alasannya yakni pendekatan yang cukup realistis pada film ini. Secara logika, bukankah seseorang yang tengah menerima teror akan lebih dulu berfokus pada menyelamatkan dirinya daripada mencoba mencari tahu perihal sosok monster itu? Selain itu, tidak dieksporasinya sosok Babadook juga merupakan bentuk pemusatan fokus biar tidak melebar dari eksplorasi abjad Amelia dan Samuel. The Babadook memang banyak berfokus pada eksplorasi karakternya. Coba lucuti segala aspek horor dan monster di dalamnya, maka jadilah film ini sebagai sebuah drama psikogis kelam perihal disfungsi keluarga yang dipicu oleh stress berat (Amelia yang perlahan kehilangan kewarasan alasannya yakni maut sang suami dan tekanan yang hadir alasannya yakni sang anak?). Karakternya sendiri tidak hanya berhasil dieksplorasi tapi juga terasa unik. Biasanya, film menyerupai ini akan menciptakan saya sebal pada orang-orang skeptikal dimana mereka intinya tidak disengaja untuk jadi menyebalkan. Tapi film ini tidak.
Samuel pada awalnya sanggup terasa menyebalkan dengan sifatnya, tapi simpati muncul alasannya yakni rasa sayang terhadap sang ibu dan fakta bahwa omongannya perihal sosok Babadook memang benar adanya. Amelia sanggup saja menjadi sosok yang terlalu putih, tapi imbas stress berat yang ia alami membuatnya tidak menyerupai itu. Akhirnya kedua abjad utama film ini terasa abu-abu dan jauh lebih menarik. Kemudian bicara soal aspek teknis, saya amat menyukai efek-efek bunyi disturbing termasuk bunyi kemunculan Babadook yang begitu menyeramkan dan menyayat telinga. Hal itu semakin memperkuat kesan creepy yang coba dibangun oleh film ini. Pada akhirnya, The Babadook mungkin tidak hingga terasa luar biasa menyerupai yang saya baca di banyak sekali macam review, tapi terperinci film ini merupakan sajian yang langka dan menarik alasannya yakni lebih banyak berfokus pada drama psikologis, karakter, misteri dan atmosfer daripada sekedar jump scare murahan yang melelahkan itu.
Ini Lho The Babadook (2014)
4/
5
Oleh
news flash