Behind the Candelabra yaitu film terakhir dari Steven Soderbergh sebelum sang sutradara memutuskan untuk rehat dari dunia film guna menekuni seni lukis. Ide untuk membuat film ini sendiri bersama-sama sudah muncul sedari tahun 2000 dikala Soderbergh tengah membuat Traffic. Saat itu sang sutradara mengutarakan idenya kepada pemain drama Michael Douglas yang juga turut bermain di film tersebut dan menawarinya tugas sebagai Liberace. Namun alasannya yaitu dikala itu Soderbergh masih kebingungan akan mengemas film ini dari sudut pandang menyerupai apa, maka proses itupun menjadi tertunda. Sampai pada tahun 2008 Soderbergh menghubungi Richard LaGravense untuk menulis naskah menurut memoir berjudul Behind the Candelabra: My Life with Liberace yang ditulis oleh Scott Thorson. Namun meski sudah mendapat wangsit cerita, Soderbergh justru terganjal dalam usahanya mencari distributor. Berbagai studio menyatakan bahwa film ini terlalu gay dan dinilai tidak menjual. Sampai pada kesudahannya HBO bersedia menjadi biro dan Behind the Candelabra pun menjadi sebuah film televisi meski sebelumnya sudah diputar perdana di Cannes Film Festival. Behind the Candelabra berkisah perihal 10 tahun terakhir dari hidup pianis ternama Liberace beserta affair yang ia jalin dengan Scott Thorson.
Scott Thorson (Matt Damon) yaitu cowok berusia 17 tahun yang bekerja sebagai instruktur binatang untuk keperluan syuting film. Suatu hari di sebuah gay kafe ia bertemu dengan seorang produser film berjulukan Bob Black (Scott Bakula). Bob kemudian menawari Scott untuk ikut dengannya guna mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Melalui Bob lah pada kesudahannya Scott bertemu dengan Liberace (Michael Douglas). Tidak butuh waktu usang bagi Liberace yang dikala itu sudah 58 tahun untuk tertarik dengan Scott yang secara usia terang pantas menjadi anaknya. Liberace mulai mengundang Scott untuk tiba ke rumahnya. Scott yang andal menangani binatang pun mengatakan bantuannya untuk menyembuhkan anjing kesayangan Liberace yang mengalami kebutaan. Semakin usang kekerabatan keduanya makin berkembang dan Liberace pun menawari Scott sebuah pekerjaan untuk menjadi tangan kanannya. Sejak dikala itupun Scott tinggal serumah dengan Liberace, dan kekerabatan cinta antara keduanya terjalin semakin kuat. Keduanya yang selama ini erat dengan kesendirian dan rasa sepi pun sama-sama menemukan sosok yang dapat menemani mereka.
Behind the Candelabra memang kisah perihal sepasang kekasih sesama jenis, dan disini akan ada adegan seks antara mereka berdua yang mungkin akan membuat banyak "penonton malas" menyatakan bahwa film ini terlalu gay. Ini yaitu kisah sepasang kekasih gay tapi saya justru tidak memandang film ini sebagai film yang menitikberatkan kisahnya pada konteks gay. Bagi saya Behind the Candelabra tidak ubahnya sebuah kisah romansa antara dua orang insan yang saling menyayangi serta peduli satu sama lain meski tidak dapat dipungkiri kekerabatan mereka berdua erat kaitannya dan tidak dapat terlepas dari kebutuhan seksual masing-masing. Memang ceritanya sempat bertutur perihal bagaimana Liberace menutupi orientasi seksualnya terhadap publik. Juga ada pernyataan dari Scott mengenai dirinya yang biseksual pada Liberace, namun kita tidak tahu kebenarannya dan tidak pernah melihat ia berafiliasi dengan wanita. Tapi kedua kisah itu tidak pernah disinggung secara lebih mendalam. Singkatnya, ada kisah perihal kaum gay yang mencoba menutupi orientasi seksualnya namun bukan itu yang jadi sorotan utama. Makara kurang sempurna menyebut film ini terlalu gay alasannya yaitu bagi saya Behind the Candelabra yaitu murni kisah pasang surut percintaan dua manusia.
Tapi jikalau ditelaah lebih dalam lagi, film ini juga mengeksplorasi lebih dari sekedar kisah cinta. Behind the Candelabra juga bertutur mengenai kesepian yang dialami oleh selebirits dalam hal ini Liberace. Memang ia punya begitu banyak penggemar yang memujanya, setia menonton dan bersorak di konsernya. Namun dibalik itu ia hanya seorang laki-laki bau tanah yang selalu sendiri dibawah gemerlapnya panggung pertunjukkan sebagai pianis ternama. Sedangkan disisi lain kesepian juga dialami oleh Scott yang tidak lagi memiliki orang bau tanah dan sepanjang hidupnya selalu berpindah-pindah daerah tinggal. Hidupnya tidak pernah gampang dan beliau belum menemukan orang yang benar-benar menyayanginya. Pada kesudahannya dikala keduanya bertemu terjalinlah sebuah kekerabatan cinta yang tidak hanya rumit namun juga terasa twisted. Bagaimana keduanya yang punya kepribadian berbeda saling berinteraksi pada kesudahannya membuat sebuah kekerabatan yang kompleks diluar fakta bahwa keduanya gay pun sudah membuat kekerabatan mereka kompleks.
Filmnya dirangkum dengan begitu gemerlap, sama gemerlapnya dengan karir seorang Liberace. Bagaimana momen konser Liberace yang penuh cahaya dan kostumnya yang tidak kalah nyentrik jikalau dibandingkan Lady Gaga terasa begitu mempesona. Behind the Candelabra pun turut disisipi unsur bloack comedy yang makin membuat jalannya dongeng menarik. Terkesan ringan dan cerah diawal, hingga perlahan semakin penuh konflik dan menjadi cukup kelam di paruh akhir, sama menyerupai kekerabatan Liberace dan Scott. Bicara kedua sosok tersebut, terang kebanggaan patut diberikan pada Michael Douglas dan Matt Damon. Melihat Michael Douglas ingatan saya tentu tidak pernah lepas dari huruf Gordon Gekko yang ia mainkan di Wall Street, seorang pialang saham licik, kejam dan penuh wibawa. Disini saya dikejutkan dengan penampilannya yang flamboyan, cara bicaranya yang akan membuat banyak orang geli, dan segala gerak-geriknya yang membuat huruf Liberace dapat dengan gampang terjerumus sebagai huruf komedi. Tapi lewat pengemasan Douglas, Liberace lebih terasa sebagai sosok selebritas mewah , nyantrik nan flamboyan dibandingkan huruf komedik.
Matt Damon juga tidak kalah hebat dalam memainkan huruf yang usianya 26 tahun lebih muda dari dirinya. Matt Damon yang sudah mendekati 43 tahun disini memainkan Scott Thorson yang masih dewasa 17 tahun, dan saya tidak pernah merasa sang pemain drama terlalu bau tanah untuk tugas tersebut. Dengan semnpurna Matt Damon memainkan sosok dewasa naif yang terpukau dengan seorang Liberace. Damon juga dengan mulus menampilkan transformasi Scott yang perlahan hidupnya hancur alasannya yaitu adiksi drugs. Tapi yang paling penting yaitu bagaimana kedua pemain drama hebat ini berinteraksi dan membuat saya percaya bahwa mereka berdua benar-benar saling mencintai...amat sangat menyayangi dan menyayangi satu sama lain. Pada kesudahannya Behind the Candelabra memang terasa jauh dari ukuran film terbaik Steven Soderbergh. Diluar tukar barang obrolan dan interaksi luar biasa antara kedua karakternya dan beberapa adegan yang mungkin sulit untuk dilihat banayk orang (adegan seks dan operasi plastik yang cukup vulgar), kisah yang diangkat bagi saya kurang terasa mendalam meski pada kesudahannya ditutup dengan ending indah nan menyentuh yang terasa mengharukan. Film yang menyenangkan ditonton, tapi untuk film yang menjadi karya terakhir(?) Steven Soderbergh, Behind the Candelabra masih kurang maksimal.
Ini Lho Behind The Candelabra (2013)
4/
5
Oleh
news flash