Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Big Eyes (2014)

Apa persamaan Tim Burton dengan Johnny Depp? Mereka sama-sama pernah menjadi mesin penghasil uang sebelum sekarang karirnya mandek dengan film-film mengecewakan yang kesulitan hanya untuk sekedar balik modal. Alice in Wonderland memang meraih lebih dari $1 milyar, tapi kualitasnya jelek sebelum disusul Dark Shadows yang lebih parah tidak hanya dari segi kualitas tapi juga dollar yang didapat. Tapi tidak menyerupai sahabatnya yang masih keras kepala, Burton nampaknya mulai sadar. Frankenweenie adalah animasi berkualitas meski tidak sukses besar di Box Office. Tapi kesempatannya kembali ke performa terbaik di ranah live action terbuka lewat Big Eyes, sebuah biopic ihwal penipuan di dunia seni lukis yang dilakukan oleh Walter Keane pada masa 50 hingga 60-an. Dengan bahan kisah provokatif serta kehadiran Christoph Waltz dan Amy Adams di jajaran pemain, inikah membuktikan kembalinya "the (once) great" Tim Burton?

Margaret (Amy Adams) membawa putrinya kabur dari rumah meninggalkan sang suami. Mendapati dirinya tanpa pengalaman dan harus menafkahi sang anak, Margaret pun bekerja di pabrik furnitur sambi sesekali menjual lukisan hasil karyanya. Lukisan Margaret yaitu gambar unik yang menampilkan belum dewasa kecil dengan mata yang besar, jauh di atas ukuran proporsional. Suatu hari ia bertemu dengan Walter Keane (Christoph Waltz) yang juga seorang pelukis dan mengaku pernah bersekolah seni di Prancis. Keduanya saling jatuh cinta dan tidak usang kemudian menikah. Walter yang banyak melukis pemandangan kota mendapati lukisannya kalah diminati bila dibandingkan "Big Eyes" karya sang istri. Hal itulah yang membuatnya mulai mengaku sebagai pembuat lukisan-lukisan tersebut. Walter berdalih pada Margaret bahwa hal itu ia lakukan semata-mata sebab alasan bisnis. 
Lukisan anak bermata besar tersebut memang sempat menjadi fenomena. Banyak orang berbondong-bondong membeli tidak hanya lukisan orisinil tapi juga kopi yang dicetak sebagai poster. Walter diundang ke aneka macam program televisi dan muncul sebagi headline banyak media. Makara bayangkan betapa mengguncangnya penipuan ini. Rasanya akan sama menyerupai bila suatu hari kita mendapati laki-laki yang bernyanyi di album Maroon 5 bukanlah bunyi orisinil Adam Levine. Tapi dengan modal kisah menyerupai itu, Burton menentukan mengemas Big Eyes sebagai sajian ringan yang bertujuan menghibur. Tidak ada kesan ambigu dalam penyajian cerita, juga konflik internal abjad yang tidak terlalu kompleks. Film ini murni biopic yang ditujukan sebagai hiburan daripada eksplorasi lebih jauh akan suatu kejadian beserta para pelakunya. Usaha mengemasnya seringan mungkin justru memunculkan inkonsistensi pada tone. 

Terkadang film ini menjurus kearah drama serius yang cukup kelam dikala bersinggungan dengan konflik rumah tangga yang berbahaya, menyerupai dikala Walter yang mabuk coba memperabukan Margaret dan Jane. Tapi kadang Burton tidak ingin filmnya terlalu berat dan menyelipkan komedi. Contoh paling faktual yaitu pada adegan persidangan yang begitu komikal, menciptakan sosok Walter menjadi badut secara total. Hal itu menciptakan Burton mengorbankan sisi realistis cerita. Memang harus diakui Big Eyes jadi terasa ringan dan berhasil dalam usahanya menghibur penonton sebanyak mungkin, tapi eksplorasi terhadap kisah faktual yang sejatinya kompleks ini jadi dikesampingkan. Kesan serupa terjadi pada karakternya. Banyak aspek kurang tergali, semisal bagaimana Margaret bisa mendapat kekuatan dan memantapkan diri berkonfrontasi dengan Walter. Tapi untungnya saya bisa diajak bersimpati pada sosoknya, dan dengan bahagia hati membenci Walter Keane.
Amy Adams manis sebagai Margaret dengan tatapan penuh kebimbangan itu. Sosoknya jadi terasa ada di posisi yang lemah, tapi menyiratkan hasrat melawan di dalam, memperlihatkan kekuatan yang menghindarkan Margaret berakhir sebagai abjad "bodoh" yang sering ditemui pada banyak melodrama. Menyebut Christoph Waltz mengecewakan terang sangat tidak adil. Dia bermain baik dalam porsi yang ditetapkan Tim Burton. Terasa eksentrik khususnya dengan seringai penuh kelicikan yang khas. Permasalahan memang ada pada karakterisasi pada naskah yang menyebabkan Walter Keane lebih sebagai tokoh komedik minim pendalaman. Sangat dua dimensi.

Memang berakhir kurang dalam, tapi menyenangkan kembali melihat Tim Burton menciptakan drama yang lebih "normal" dengan fokus lebih kearah penyajian kisah daripada kecacatan visual. Tapi bagi para pecinta visual Burton jangan khawatir, film ini masih mengakomodir kecintaan sang sutradara pada tampilan aneh. Meski tidak banyak, beberapa momen dreamlike yang sureal bisa menghadirkan kesan tersebut, selain fakta bahwa lukisan-lukisan Margaret juga menyerupai dengan gaya visual Burton. Big Eyes adalah kisah ringan nan menghibur ihwal seorang artis yang menyayangi karyanya, hanya ingin berkarya tanpa peduli situasi serta pendapat orang lain (kehadiran kritikus), dan menganggap seni sebagai verbal diri daripada penyempurnaan teknik atau eksploitasi demi komersialitas. Bisa jauh lebih manis andai abjad serta dramanya lebih diperdalam dan konsisten secara tone.

Artikel Terkait

Ini Lho Big Eyes (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email