Sunday, January 6, 2019

Ini Lho The Book Of Life (2014)

Masih membawa setting Meksiko berisikan pria-pria macho yang telah ia bawa semenjak serial animasi Nickelodeon El Tigre: The Adventures of Manny Rivera, kali ini animator sekaligus sutradara Jorge Gutierrez bakal membawa kita berjalan-jalan menuju dunia penuh warna dalam The Book of Life yang juga diproduseri oleh Guilermo del Toro. Ceritanya sendiri sederhana dengan masih memberikan kisah kepahlawanan, pencarian jati diri, persahabatan dan percintaan ala Romeo dan Juliet. Judulnya sendiri diambil dari sebuah buku yang berdasarkan kepercayaan umat Kristiani yaitu sebuah buku milik Tuhan yang berisikan nama-nama mereka yang beriman dan akan masuk surga. Sedangkan dalam film ini, buku tersebut berisikan segala kisah baik yang kasatmata maupun fiktif. Salah satu kisah dalam buku tersebut yaitu wacana sebuah kota berjulukan San Angel yang terletak di Meksiko. Di kota tersebut, setiap tahun terdapat hari untuk memperingati arwah mereka yang telah meninggal, berjulukan Day of the Dead.

Peringatan itu amat penting, sebab selama masih terus diingat, mereka yang sudah meninggal akan sanggup tinggal di Land of the Remembered yang penuh warna dan suka cita. Tempat itu dipimpin oleh La Muerte. Tapi kalau tidak ada lagi yang mengenang mereka, maka arwah akan “jatuh” ke Land of the Forgotten yang suram dan hampa. Disana berkuasalah Xibalba. La Muerte dan Xibalba sendiri yaitu sepasang suami istri yang gemar bertaruh. Saat Day of the Dead tiba, keduanya kembali melaksanakan taruhan dikala melihat tiga anak yang saling bersahabat. Tapi dalam persahabatan itu timbul juga benih-benih cinta, dikala Manolo dan Joaquin sama-sama menyayangi Maria. Meski saling memperebutkan cinta temannya itu, persahabatan keduanya tetap utuh. La Muerte dan Xibalba bertaruh siapakah kelak yang akan menikahi Maria, dimana yang menang taruhan berhak menjadi penguasa Land of the Remembered
Kerugian besar bagi saya melewatkan penayangan film ini di layar lebar. Bayangkan visual penuh warna-warni indah dan banyak sekali macam huruf dengan desain menarik itu di bioskop. Meski hanya bertindak sebagai produser, sentuhan Guilermo del Toro yang punya daya imaji visual luar biasa masih berpengaruh terasa. Ibaratnya, del Toro memberikan template dasar, kemudian Gutierrez mengembangkannya dalam tataran aplikasi secara menyeluruh hingga ke detail terkecil sekalipun. Hasilnya yaitu animasi dengan visual paling memikat tahun lalu, sejajar dengan The Lego Movie. (The Tale of Princess Kaguya ada di tingkatan lain yang tak sanggup diperbadingkan) Beberapa tumpuan kehebatan visualnya mulai dari Land of the Remembered yang jadi representasi “layak” dari nirwana dengan keindahan warnanya hingga desain banteng raksasa yang harus dihadapi Manolo. Absolutely breathtaking!

Tapi The Book of Life tidak hanya wacana tampilan visual memukau. Dengan membawa judul yang terkesan meaningful, begitu pula ceritanya. Memang begitu sederhana apa yang dituturkan film ini, tapi kesederhanaan yang termaksimalkan justru seringkali lebih memikat daripada suatu sajian gres yang kompleks. Karena kesederhanaan bagi saya punya potensi lebih gampang mereseap kedalam perasaan penonton. Sedari awal film ini sudah terasa menyentuh dikala membahas wacana mereka yang telah meninggal beserta segala kenangan akan mereka. Menyentuh dan penuh makna, apalagi dikala adegan yang menampilkan para arwah mengelilingi keluarga yang tengah berziarah di makam. Setelah penghantar mengesankan itu, kita dibawa menuju kisah gotong royong yang lebih ringan, less-philosophically, namun tetap tidak kehilangan pesonanya. Saya suka romansa yang ditampilkan. Meski klise, tapi tidak cheesy apalagi kosong. Apa yang dimiliki film ini yaitu kisah cinta yang memang mempunyai cinta di dalamnya dan bukan hanya mengumbar kalimat-kalimat puitis atau nyanyian romantis tapi kosong.
Semua itu berkat atmosfer yang berhasil dibangun. Dunianya terasa magical, menciptakan penonton dengan gampang terhisap masuk dan secara tidak sadar memunculkan emosi positif dalam perasaan kita. Saya pun jadinya dibentuk mendukung sosok Manolo, meski kisah seputar jati diri yang merupakan materi ekplorasi terhadap karakternya tidak tersaji dengan maksimal. Bukan berarti buruk, hanya terlalu biasa. Belum lagi ditambah dengan sentuhan komedi yang jitu. Sentuhan komedi film ini tidak diselipkan secara asal dan sebanyak mungkin. Kuncinya selalu yaitu timing. Kapan komedi hadir lewat celetukan-celetukan kocak karakternya benar-benar diperhatikan disini. Kaprikornus bukan hanya mengandalkan slapstick maupun komedi konyol penuh “hura-hura” untuk belum dewasa saja. Well, bahkan beberpaa slapstick-nya (sesuatu yang saya kurang suka) juga lucu. Alhasil, bukan sekedar senyum simpul yang muncul pada saya, tapi benar-benar tawa. Dengan semua itu, perasaan hangat berhasil dimunculkan, dan film ini pun dengan gampang menciptakan saya terlarut dalam dramanya.

Saya suka bagaimana film ini membawa sebuah tema yang sesungguhnya gelap dan berat untuk belum dewasa menjadi sesuatu yang ringan tapi bermakna, yaitu kematian. Film ini berusaha memberikan bahwa ajal juga yaitu cuilan dari kehidupan. Sesuatu yang tidak perlu ditakuti, sebab pada jadinya juga akan terjadi. Apalagi ajal pun bukan berarti selesai dari segalanya. Hal itu diperlihatkan dengan citra Land of the Remembered yang penuh keceriaan meski diisi oleh orang-orang mati. Siapa yang sanggup tinggal disana? Dengan gampang belum dewasa akan menangkap bahwa orang baik yang tinggal disana. Kaprikornus apa yang coba disampaikan yaitu “jangan takut akan kematian, asalkan kau berbuat baik maka kebahagiaan akan kau dapatkan.” Mungkin terkesan biasa saja bagi penonton dewasa, tapi jangan lupa bahwa target utama film ini terang anak-anak, dan bagaimana The Book of Life mengemas tema yang “berat” dan berpotensi mengerikan bagi belum dewasa itu menjadi sesuatu yang indah tanpa perlu kehilangan esensinya terasa luar biasa.

Artikel Terkait

Ini Lho The Book Of Life (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email