Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho The Boxtrolls (2014)

Jika Pixar (setidaknya sebelum kehadiran Cars 2) bisa pertanda bahwa animasi bukan hanya tontonan belum dewasa tapi juga bisa dinikmati oleh orang cukup umur lewat ceritanya yang emosional, lain halnya cara yang dilakukan Laika. Studio yang gres didirikan tahun 2005 dan berfokus pada animasi stop-motion ini menunjukkan daya tariknya lewat kisah dan visual yang cenderung mengarah pada horror dan gothic. Salah satu ciri khas kental yang muncul pada kisah film-film Laika yaitu keberadaan suatu hal yang tersembunyi dalam gelap. Lihat saja Coraline dan ParaNorman dimana keduanya sama-sama punya aspek itu. Dalam film terbarunya yang merupakan penyesuaian dari novel Here Be Monsters! karangan Alan Snow ini hal serupa kembali hadir. Berlatarkan tahun 1805, alkisah terdapat sebuah kota fiktif berjulukan Cheesebridge yang tengah dilanda ketakutan akhir kemunculan monster mengerikan berjulukan Boxtrolls. Monster-moster itu diyakini yaitu sosok yang kejam dan tidak segan-segan menculik bayi untuk lalu dimakan hidup-hidup. 

Karena ketakutan para Boxtrolls akan mencuri persediaan keju di kota tersebut, walikota Lord Portley-Rind memerintahkan Archibald Snatcher untuk menghabisi Boxtrolls tanpa tersisa sedikitpun. Snatcher sendiri bersedia melaksanakan itu asalkan walikota bersedia menunjukkan topi putih miliknya yang merupakan lambang bagi para pejabat kota yang mempunyai kanal merasakan segala keju terenak di kota tersebut. Jadilah setiap malam Snatcher dan anak buahnya memulai perburuan terhadap para Boxtrolls sambi membuatkan informasi wacana betapa mengerikannya monster itu kepada seluruh warga kota. Tapi ada belakang layar yang tidak diketahui oleh warga, yakni fakta bahwa Boxtrolls sejatinya bukan sosok monster yang jahat. Tampilan mereka memang mengerikan, tapi mereka sama sekali tidak pernah melukai siapapun. Justru sebaliknya, mereka rutin mengunjungi dunia atas tiap malam untuk mengumpulkan barang bekas yang  bisa diperbaiki. Uniknya diantara para Boxtrolls yang menggunakan kotak kardus sebagai pakaian itu tinggal juga seorang bayi insan yang diberi nama Eggs (karena menggunakan kotak kardus bekas daerah telur).
The Boxtrolls punya daya pikat terbesar pada keanehannya yang kental menghiasi semua aspek. Kita bisa menemukan keganjilan pada ceritanya, visualnya, karakter, bahkan hingga lelucon-lelucon yang hadir pun mempunyai keanehan. Suatu keganjilan yang seringkali terasa gelap, twisted dan bukan mustahil justru akan menciptakan penonton belum dewasa merasa ketakutan. Tentu masih ada banyak sekali keseruan yang hadir lewat momen dan tingkah laris konyol tiap karakternya, tapi agar bagaimanapun film ini terperinci lebih cukup umur dari film-film animasi garapan DreamWorks misalnya. Selain aspek visual serta desain aksara yang memang kental unsur horror dan gothic, banyak juga terdapat hal-hal tersirat yang terasa twisted disini, sebut saja aksara gadis cilik psikopat yang terobsesi dengan sadisme hingga adegan-adegan kematian, termasuk satu di penghujung yang sesungguhnya cukup sadis (tubuh yang meledak?). Tapi duo sutradara Graham Annable dan Anthony Stacchi memang cukup pandai dalam mengemas semua hal gila tadi supaya tidak berlebihan dan masih punya unsur komikal yang kental.
Keberhasilan mengemas semua "kengerian" itu kedalam bentuk komedi menjadi bukti kecerdasan film ini disamping hiburan yang ditawarkan lewat serunya petualangan/aksi serta komedi yang tidak mengecewakan sukses memancing tawa. Konten kisah yang hadir pun sebetulnya standar menyerupai mengenai ambisi dan pemaknaan hati diri yang telah begitu sering diangkat dalam media animasi. Tapi kandungan yang boleh dibilang klise mengenai "don't judge a book by it cover" maupun "we are what we are" mampu dikemas dengan baik sehingga meskipun terasa klise dan penuh kesederhanaan, pesan itu mampu tersampaikan dengan baik. Saya sebagai penonton tidak hanya dibentuk menyadari keberadaan pesan-pesan itu tapi juga ikut merasakannya. Disamping itu, ceritanya juga masih sempat menyelipkan kritikan mengenai kebusukan pemerintahan, yakni disaat mereka yang punya kuasa justru lebih mengutamakan kesenangan eksklusif daripada rakyatnya. Lagi-lagi pesan klise yang sederhana, tapi berhasil dikemas baik sehingga cukup mengena.

Karakter yang ada juga cukup menarik, meski bagi saya yang paling mendalam yaitu sosok Archibald Snatcher. Sekilas ia yaitu villain kejam dua dimensi yang biasa saja, tapi ditilik lebih mendalam ia yaitu citra wacana mereka yang rela untuk berubah hanya supaya bisa "masuk" dalam suatu kelompok tertentu dan begitu ingin menjadi seorang yang dipandang. Archibald Snatcher yaitu observasi menarik mengenai individu semacam itu yang sedang "ramai mewarnai" dunia cukup umur ini. Sayang, kompelsitas yang hadir pada sosok villain itu tidak hadir pula pada sosok aksara utama. Egg sebenarnay cukup menarik, tapi hubungannya dengan Winnie sangat kurang tergali. Alhasil tidak muncul simpati dari saya untuk mereka berdua. Terakhir untuk melengkapi desain aksara unik dalam film ini tentu saja ada para Boxtrolls yang bagi saya merupakan antitesis dari gerombolan Minions di Desicable Me. Kedua kelompok ini sama-sama berjumlah banyak dan bertingkah konyol, hanya saja Boxtrolls bertampang seram, dan sesuai dengan jati diri Laika. Ditutup dengan sebuah credit scene memikat berlatarkan lagu Little Boxes milik Loch Lomond The Boxtrolls yaitu hiburan unik yang menyenangkan. Lebih manis dari ParaNorman tapi terperinci belum sehebat Coraline yang masih merupakan masterpiece-nya Laika.

Artikel Terkait

Ini Lho The Boxtrolls (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email