Kisah mengenai rasisme tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas termasuk dalam film. Ada yang mengambil sudut pandang mereka kaum kulit gelap yang tertindas sebagai budak, ada juga yang mengambil sudut pandang kaum kulit putih yang mencoba menghapuskan rasisme tersebut. Kali ini giliran Lee Daniels yang mencoba mengangkat tema tersebut kedalam filmnya. Setelah meraih kesuksesan luar biasa lewat Precious pada tahun 2009 kemudian yang juga mengangkat kehidupan kaum kulit hitam, kali ini Lee Daniels mengangkat kisah wacana seorang butler atau kepala pelayan berkulit hitam yang bekerja selama 34 tahun di gedung putih. Ceritanya sendiri terinspirasi dari kisah hidup Eugene Allen yang mengabdi di Gedung Putih sedari tahun 1952 hingga 1986. The Butler sendiri berprestasi sangat memuaskan sesudah dirilis dengan meraup pendapatan diatas $161 juta berkat longetivity yang panjang. Sebuah bukti bahwa kisah rasisme masih sangat digemari penonton. Lewat film ini juga Forest Whitaker disebut cukup berpeluang meraih Oscar keduanya. Selain Whitaker, The Butler diisi banyak nama besar lain yang mengisi tugas besar maupun kecil. Film ini mempunyai Oprah Winfrey, Mariah Carey, Terrence Howard, Alex Pettyfer, Cuba Gooding, Jr., Lenny Kravitz, Robin Williams, Minka Kelly, John Cusack, James Marsden, Liev Schreiber, Alan Rickman hingga Jane Fonda. Rentetan ensemble cast yang sangat meyakinkan ada disini.
Cecil Gaines (Forest Whitaker) yakni seorang kulit gelap yang tumbuh di sebuah perkebunan kapas. Disana ia dan kedua orang tuanya termasuk dari banyak kaum kulit gelap yang dipekerjakan oleh juragan kulit putih. Sampai suatu hari peristiwa menimpa kehidupan Cecil disaat sang ibu (Mariah Carey) diperkosa dan ayahnya ditembak mati oleh pemilik perkebunan. Cecil yang masih kecil dirawat oleh salah seorang pemilik perkebunan tersebut dan dilatih untuk menjadi seorang pelayan. Menginjak pintar balig cukup akal Cecil memutuskan pergi meski tidak mempunyai tujuan. Beruntung masih ada orang yang bersedia menampung Cecil dan perlahan ia pun merintis karir sebagai seorang pelayan, mulai dari sebuah toko kecil hingga karenanya disebuah kawasan mewah. Puncak karirnya yakni dikala ia menerima anjuran bekerja sebagai kepala pelayan di gedung putih. Saat itu Cecil telah menikah dengan Gloria (Oprah Winfrey) dan mempunyai dua putera yakni Louis (David Oyelowo) dan Charlie (Elijah Kelley). Di Gedung Putih, Cecil pun sempat bekerja dibawah pemerintahan banyak presiden mulai dari Eisenhower hingga Ronald Reagan. Konflik pun tiba dari keluarganya dikala sang putera sulung, Louis menentukan bergabung dengan kelompok penolak rasisme garis keras The Black Panther.
Banyak yang coba dirangkum oleh naskah milik Danny Strong ini. Ada yang lingkupnya besar ibarat rasialisme di Amerika Serikat bahkan menyelipkan unsur politis dikala gerak-gerik Presiden dalam menangani kasus tersebut turut jadi materi sorotan. Bagaimana konflik yang terjadi dikala itu termasuk perlawanan yang dipimpin Black Panther hingga diskriminasi yang terjadi dengan begitu brutal bahkan tidak jarang memakan nyawa kaum kulit gelap ibarat yang dilakukan para Ku Klux Klan dan masih banyak lagi. Kita pun akan dibawa melihat perbedaan masing-masing Presiden dalam menangani problem tersebut. Kemudian ada juga konflik yang lingkupnya lebih kecil dan itu hadir dalam keluarga Cecil. Konfliknya bermacam-macam, mulai dari sosok istri yang kesepian sebab sang suami terus sibuk bekerja dan karenanya menjadi alkoholik hingga seorang anak yang teguh pada apa yang ia ingin jalani dalam hidupnya hingga melaksanakan pemberontakan pada keluarganya. Ada kekerabatan suami-istri yang sempat renggang, ada kontradiksi ayah-anak (yang lebih sering disorot) dengan kekerabatan love/hate keduanya. Banyak konflik dan subplot, banyak abjad yang muncul, banyak nama besar. Ya, The Butler memang begitu ambisius dalam menghantarkan kisahnya. Ambisi besar untuk berjaya di ajang Oscar yang sayangnya tidak diimbangi dengan sanksi yang maksimal.
The Butler dengan segala ambisinya malah terasa kurang berhasil memaksimalkan cerita-cerita yang ada. Tidak untuk kisah usaha melawan rasialisme baik secara politis maupun "kekerasan", tidak pula kisah wacana konflik rumit yang terjadi dalam keluarga Cecil. Memang semuanya dihantarkan dengan begitu rapih dan menarik untuk diikuti, tapi tidak hingga pada level yang menciptakan penonton terbawa, tersentuh ataupun sekedar peduli pada karakternya. Andaikan saja The Butler lebih berfokus pada konflik yang terjadi antara Cecil dan keluarganya serta menciptakan filmnya lebih personal maka saya yakin hasil karenanya akan lebih mengena. Karena sesungguhnya sosok Cecil juga tanpa ia sadari memperjuangkan hak kaum kulit gelap (diluar usul naik gaji) dengan memperlihatkan perilaku serta attitude yang baik hingga memunculkan respek dari banyak orang termasuk para kulit putih yang menjadi petinggin di Gedung Putih, bahkan Presiden sekalipun. Justru disitulah bergotong-royong yang menarik dari sosok Cecil. Siapa menduga bahwa dengan menjadi kepala pelayan beliau sudah turut memperlihatkan sumbangsih pada usaha melawan rasialisme? Andaikan hal itu yang dijadikan fokus sambil mengulik lebih dalam konflik sebatas yang terjadi di dalam keluarga Cecil, The Butler pastilah akan terasa lebih padat dan terfokus.
The Butler memang pada karenanya tidak lagi terlalu terasa unsur biopic-nya akhir dramatisasi dan penambahan fiksi disana-sini. Lagi-lagi hal itu dilakukan atas dasar ambisi besar menciptakan filmnya lebih megah dan dramatis yang sangat disayangkan karenanya tidaklah terlalu berhasil meski tetap sangat menarik dinikmati. Banyak peristiwa historikal penting yang diselipkan hanya berakhir menjadi tempelan saja. Namun ada satu hal berkaitan dengan ambisi besar film ini yang bekerja dengan baik yakni ensemble cast yang ada. Masing-masing dari pemain film dan aktris tersebut tampil maksimal tidak peduli seberapa besar porsi mereka disini. Mulai dari yang hanya muncul sekilas ibarat Mariah Carey sebagai ibu yang depresi hingga Forest Whitaker sang pemeran utama semuanya tampil maksimal dan memperlihatkan energi besar pada filmnya sehingga tetap terasa hidup dan menarik. Tapi tetap saja Forest Whitaker menjadi pemimpin para ensemble ini dengan penampilan luar biasanya. Gesturnya sebagai seorang butler meyakinkan, bahkan hingga pada momen dikala abjad Cecil sudah memasuki usia senja. Emosi yang ia tunjukkan pun luar biasa, entah itu yang meletup-letup atau hanya dari sekedar tatapan matanya yang sanggup begitu bermakna. Mungkin kemenangan di ajang Oscar bukan hal gampang namun nominasi nampaknya akan berhasil ia genggam.
Pada karenanya Lee Daniel's The Butler memang tidak sanggup memenuhi ambisi besar yang ada di dalamnya, namun bukan berarti ini yakni film yang buruk. Lee Daniels masih sanggup mengemas filmnya lebih dari sekedar watchable di tengah fokus ceritanya yang terbagi-bagi namun beliau berhasil mengakibatkan The Butler tontonan yang menarik hanya saja kurang mempunyai kedalaman yang berarti atau dengan kata lain tidak sebanding dengan ambisi besarnya. Jajaran ensemble cast-nya yang dipimpin Forest Whitaker berhasil tampil maksimal termasuk para pemain film yang memerankan Presiden Amerika Serikat. Terasa menarik menantikan siapa yang akan berperan sebagai Presiden berikutnya menggantikan yang usang dan menarik untuk melihat ibarat apa abjad yang ditampilkan di layar. The Butler mungkin tidak akan menjadi film rasisme yang usang dikenang ataupun beryaja di ajang Oscar namun masih menjadi sebuah tontonan menghibur...ya hanya menghibur.
Ini Lho The Butler (2013)
4/
5
Oleh
news flash