Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Cell 211 (2009)

Cerita mengenai seorang polisi yang harus menyamar menjadi tahanan dan menyusup ke dalam penjara memang sudah biasa. Biasanya sang polisi harus menyamar guna mendekati salah seorang tahanan untuk mendapat informasi mengenai kawanan penjahat yang belum berhasil tertangkap. Namun apa yang disuguhkan oleh Daniel Monzon dalam Cell 211 sedikit berbeda dari premis tersebut. Cell 211 sendiri yakni film asal Spanyol yang berhasil mendapat jawaban sangat baik di masa perilisannya. Bahkan dalam ajang Goya Awards yang merupakan ajang penghargaan setara Oscar di Spanyol, film ini sanggup mengumpulkan 16 nominasi dan memenangkan delapan diantaranya. Dari delapan piala yang berhasil dibawa pulang tersebut, salah satunya yakni Best Picture dimana Cell 211 mengalahkan film Argentina The Secret in Their Eyes yang merupakan pemenang Oscar dan The Dancer and the Thief yang merupakan perwakilan Spanyol di ajang Oscar. Dalam Cell 211 memang ada orang luar yang menyamar sebagai tahanan, namun orang tersebut bukanlah seorang polisi yang tengah menjalankan misi undercover, melainkan seorang pegawai gres di sebuah penjara yang terjebak dalam sebuah kerusuhan yang tiba-tiba saja terjadi di dalam penjara tersebut.

Juan (Alberto Ammann) gres akan memulai bekerja besok, tapi ia menentukan berkunjung terlebih dahulu untuk menawarkan kesan yang baik dan terpaksa meninggalkan sang istri, Elena (Marta Etura) yang tengah hamil tua. Juan pun diajak berkeliling oleh sesama penjaga untuk melihat-lihat segala sisi penjara termasuk sebuah blok terpisah yang diisi oleh para psikopat dan pembunuh kejam yang kebanyakan dari mereka mendapat eksekusi seumur hidup di penjara. Saat tengah berkeliling terjadilah sebuah kecelakaan yang menjadikan beberapa reruntuhan terjatuh dari langit-langit dan salah satunya mengenai kepala Juan. Juan yang terluka dan pingsan dibawa ke sebuah sel bernomor 211 yang kebetulan gres saja kosong sehabis penghuninya mati bunuh diri beberapa ketika yang lalu. Namun sebelum Juan sempat mendapat perawatan, para tahanan yang dipimpin oleh Malamadre (Luis Tosar) berhasil kelaur dari sel dan mulai membuat kekacauan. Malang, Juan tidak sempat terselamatkan dan ditinggalkan tergeletak di sel tersebut hingga kesudahannya salah seorang tahanan menemukannya dan membawa Juan bertemu dengan Malamadre. Untuk menyelamatkan dirinya, Juan mengaku sebagai seorang tahanan yang gres saja masuk hari itu. Juan pun pada kesudahannya membantu Malamadre melancarkan aksinya bersama tahanan lain sambil secara sembunyi-sembunyi berusaha keluar dan bertemu dengan istrinya lagi.

Cell 211 tidak membutuhkan waktu yang usang untuk menggeber kisahnya. Sedari awal filmnya sudah berjalan cepat menunjukkan kita pada sosok Juan yang terjebak dalam kerusuhan yang pecah. Tanpa perlu membaca sinopsisnya pun kita dengan gampang akan tahu bawah Juan bakal mengaku sebagai seorang narapidana ketika ia dihadapkan dengan Malamadre. Kemudian yang menyusul sehabis itu yakni perjuangan Juan untuk meyakinkan Malamadre serta semua tahanan yang ada bahwa ia memang benar-benar tahanan sekaligus teman yang sanggup dipercaya dalam perjuangan mereka mengancam pihak penjara. Pada bab inilah Cell 211 dengan begitu lihai menyisipkan aneka macam momen untuk memperkuat karakterisasi Juan sekaligus membangun simpati penonton kepadanya. Secara perlahan kita ditunjukkan bagaimana korelasi Juan dengan Elena yang sedang sangat mesra, apalagi bayi pertama mereka akan segera lahir. Dengan gampang film ini menggiring saya untuk bersimpati baik pada Juan ataupun Elena. Bukankah bencana ini begitu ironis? Disaat mereka seharusnya sedang berada di puncak kebahagiaan alasannya yakni kehamilan Elena dan pekerjaan gres Juan mereka justru mengalami bencana ibarat ini yang ironisnya terjadi alasannya yakni Juan ingin menawarkan kesan kasatmata pada daerah ia bekerja. 
Lalu ketika penonton sudah makin bersimpati dengan mereka berdua khususnya Juan, makin mudahlah bagi Cell 211 untuk satu demi satu menawarkan momen intens penuh ketegangan. Bicara soal intensitas, film ini memang luar biasa. Alurnya berjalan cepat dari awal hingga selesai namun tidak pernah sedikit pun kehilangan sentuhannya. Cell 211 selalu punya cara yang fresh untuk melontarkan twist sekaligus menawarkan satu demi satu ketegangan gres kepada penontonnya. Film ini juga tidak segan-segan menunjukkan adegan brutal penuh kekerasan yang beberapa diantaranya tersaji dengan cukup vulgar dan sanggup membuat saya ngilu. Ya, bahkan Cell 211 sudah dibuka dengan adegan seorang tahanan memotong urat nadi pada kedua tangannya dan itu ditampilkan secara terang-terangan. Tapi konten kekerasannya sendiri bukannya tanpa arti, alasannya yakni hal itu semakin menguatkan betapa keras dan mengerikannya situasi yang dihadapi Juan di dalam penjara tersebut. Apalagi yang akan terjadi disaat semua pembunuh keji dan psikopat membuat kekacauan dalam penjara selain kekerasan brutal yang tidak pandang bulu? Dan ibarat yang saya utarakan tadi film ini juga punya beberapa kejutan kecil yang meski tidak terlalu shocking tapi justru begitu efektif untuk membangun tensi ceritanya.

Tidak hanya menyajikan ketegangan non-stop, film ini juga menawarkan aneka macam macam kritikan sosial. Mungkin diawal kita akan dengan gampang menawarkan cap kepada para tahanan tersebut sebagai orang gila serta sampah masyarakat. Tapi yang terjadi sehabis itu justru makin ambigu. Saya pun perlahan-lahan mulai menegrti bahwa para tahanan itu melaksanakan kekacauan bukan untuk mencoba kabur ataupun meminta hal yang aneh-aneh, melainkan hanya meminta keadilan dan perlakuan yang layak. Mereka memang tahanan dengan kejahatan yang berat, namun apakah perlu tindakan penyiksaan dilakukan oleh para sipir? Apakah perlu mereka diasingkan bahkan di lingkungan penjara itu sendiri? Perlahan pun mulai terungkap bagaimana para pegawapemerintah juga melakuakn aneka macam macam tindakan kejam yang nantinya akan menjurus pada sebuah momen paling emosional dalam film ini. Cell 211 yakni kisah mengenai bentrokan yang terjadi antara loyalitas dengan pengkhianatan dalam medium apapun, dimana kedua hal tersebut memang saling mengiringi dan tidak terlepaskan satu sama lain. Lebih dari itu ini yakni kisah kontradiksi antara sisi baik dan sisi jelek yang tidak gampang kita nilai mana yang baik dan mana yang buruk. 

Menonton Cell 211 mengingatkan saya pada A Prophet yang sama-sama memperliahtkan transformasi seorang laki-laki yang awalnya terlihat lemah dan tidak pantas berada diantara para tahanan perlahan bermetamorfosis sosok yang lebih tangguh (fakta bahwa Alberto Ammann ibarat dengan Tahar Rahim makin membuat kedua film ini mirip). Film ini juga yakni kisah bagaimana seseorang sanggup berubah begitu drastis sehabis ditimpa bencana besar dalam hidupnya atau dalam kondisi tertekan yang membuatnya dalam bahaya. Bedanya, Cell 211 membangun tensi dan simpati pada karakternya cukup banyak melalui momen-momen emosional yang melibatkan Juan dengan Elena. Saya sendiri lebih menyukai Cell 211 dibandingkan A Prophet. Ceritanya mungkin lebih sederhana, tapi tensinya tidak pernah mengendor hingga filmnya berakhir dan selalu diisi ketegangan yang saling bergantian memberi imbas kejutan. Saya pun tidak ragu menawarkan nilai tepat pada Cell 211.

Artikel Terkait

Ini Lho Cell 211 (2009)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email