Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Faults (2014)

Debut penyutradaraan Riley Stearns (suami Mary Elizabeth Winstead) ini yakni teladan bagaimana sebuah twist justru mengurangi kualitas sebuah film alih-alih menawarkan kejutan menyenangkan. Saya mendapati perjuangan Stearns untuk memecahkan misteri yang telah ia tebar dalam filmnya, berusaha merasionalkan semua itu. Tapi tidak semua misteri harus mempunyai jawaban. Tidak peduli seaneh apapun, beberapa pertanyaan memang sebaiknya dibiarkan tanpa jawaban, sebab tidak semua dalam hidup kita selalu mempunyai tanggapan pasti. Faults memulai kisahnya dengan begitu baik, begitu mencengkeram, menimbulkan 90 menit terasa begitu cepat. Filmnya dimulai dengan suasana ala komedi hitam Coen Brothers yang menggelitik lewat situasi tak nyaman dan huruf dengan sikap unik. Karakter itu berjulukan Ansel Roth (Leland Orser).

Ansel yakni seorang aktivis, pembicara, penulis buku, atau apapun itu yang ia kerjakan. Tapi fokus utamanya yakni membicarakan kelompok cult. Ansel berpengalaman membebaskan seorang gadis dari suatu kelompok meski jadinya sang gadis justru bunuh diri sehabis pulang ke rumah. Dari insiden itulah ia mulai kehilangan segalanya. Uang, pekerjaan, popularitas, bahkan sang istri. Ansel selalu menegaskan wacana "free will", bahwa insan sudah selayaknya hidup bebas tanpa diatur pola pikir serta tindakannya ibarat mereka para anggota cult. Walau begitu Ansel jutru nampak sebaliknya. Dia hidup terkekang khususnya oleh hutangnya kepada sang manajer. Disaat menyuarakan kebebasan Ansel justru hidup jauh dari kata tersebut. Bahkan ia sempat mencoba bunuh diri dengan menghirup asap knalpot mobil. Ironi dan ketidak berdayan Ansel. Dari situlah secara umum dikuasai komedi hitamnya berasal.
Mereka dengan kontrol dan yang dikontrol. Kedua belah pihak itu jadi identitas tokoh-tokoh film ini. Semakin berpengaruh sehabis masuknya huruf Claire (Mary Elizabeth Winstead). Claire merupakan anggota sebuah cult bernama "Faults". Kedua orang tuanya mendekati Ansel untuk meminta tolong supaya sang puteri sanggup kembali lagi pada mereka. Terlihat terperinci Ansel sudah tidak ingin melaksanakan praktek semacam itu lagi, tapi tuntutan untuk membayar hutang memaksanya mendapatkan anjuran itu. Ya, satu lagi bentuk ironi disaat Ansel bertindak diluar kemauannya. Rangkaian "sesi" selama beberapa hari yang ia lakukan untuk menyembuhkan Claire menggali lebih dalam role play tentang kontrol tadi. Pada awalnya dan ibarat yang seharusnya, Ansel memegang kontrol dikala ia membawa paksa Claire. Si gadis pun tidak berdaya dikala harus dikurung dalam kamar hotel. Dia berada di bawah kontrol.

Tapi perlahan semua itu berubah. Kita mulai melihat bagaimana Ansel makin tidak yakin dengan yang ia lakukan, makin tersudut, nampak lemah. Sedangkan Claire yang tadinya tak berdaya justru terlihat semakin mantap, makin mempunyai keyakinan dan kekuatan. Kekuatan akting Leland Orser dan Mary Elizabeth Winstead berperan besar dalam terciptanya dinamikat antar kedua karakter. Dari Leland Orser kita sanggup melihat kelemahan yang berusaha ia sembunyikan. Terlihat terperinci dari usahanya untuk tidak pernah tampak menyedihkan atau gagal meski bersama-sama itu yang terjadi. Ada harga diri tinggi diperlihatkan Orser, namun disaat bersamaan sisi lemah tak berdaya pun begitu jelas. Sedangkan Mary Elizabeth Winstead memancarkan sisi misterius. Meski awalnya nampak rapuh, seiring berjalannya waktu ada tatapan tajam yang memperlihatkan keyakinan disitu. Interaksi antara dua sisi berlawanan inilah yang menciptakan filmnya dinamis.
Semuanya berjalan lancar, bahkan luar biasa sebab Riley Stearns pada awalnya nampak begitu berani menawarkan sudut pandang lain wacana cult. "Bagaimana bila keberadaan seseorang dalam kelompok itu menawarkan kehidupan yang lebih baik? Memberikan kebahagiaan bahkan kebebasan lebih dari yang ia sanggup bersama keluarga." Kita sanggup melihat itu dari konflik antara Claire dengan sang ayah. Sebuah sudut pandang unik yang berani, sebab secara umum dikuasai film serupa biasanya cenderung menempatkan cult layaknya iblis, sesat tanpa melihat perspektif lain. Kemudian muncul twist pertama. Sebuah twist yang membawa Faults ke tingkatan abnormal lebih tinggi. Semakin kompleks, sedikit mistis dan terasa unexplainable. Layaknya film-film Coen Brothers ibarat Barton Fink, ada kesan abnormal yang menyentuh ranah horror. Saya sangat menyukainya, bahkan sudah bersiap menimbulkan Faults salah satu kandidat film terbaik tahun ini. Sampai tiba twist kedua.

Inilah sebuah twist yang merusak segala keunikan di atas. Kejutan ini bagaikan perjuangan Stearns untuk merasionalkan segala kecacatan tersebut, yang mana itu tidak perlu. Jawaban itu tidak meninggalkan ruang bagi pertanyaan tak terjawab yang menghantui benak penonton. Justru perasaan semacam itu yang menciptakan satu film terasa lebih mengesankan. Tapi yang lebih fatal, twist kedua turut mengembalikan perspektif film ini wacana cult kearah lebih umum dan normal. Mengembalikan huruf cult-nya pada posisi yang lebih hitam. Saya tidak sedang mencoba membela kelompok-kelompok cult disini. Saya hanya beranggapan bahwa memandang suatu informasi dari perspektif lain untuk menggalinya secara lebih dalam akan menawarkan pemahaman yang lebih luas pada informasi tersebut.

Verdict: Faults sempat punya segalanya untuk menjadi klasik ibarat karya-karya Coen Brothers lewat semua keunikan baik dari sudut pandang kisah maupun alur sebelum twist-nya meruntuhkan potensi tersebut. Tapi diluar itu film ini masih punya kelucuan, keanehan, serta sentuhan drama kuat.

Artikel Terkait

Ini Lho Faults (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email