Saya yang bukan seorang penggemar novel belum mendengar apalagi membaca tirlogi novel The Hunger Games karya Suzanne Collins sebelum kabar mengenai pembiasaan filmnya berhembus kencang. Saya sendiri pada akibatnya tidak membaca novelnya dan hanya mengetahui garis besar ceritanya. Reaksi pertama saya sesudah mendengar premisnya yakni "Ah, sangat menyerupai dengan Battle Royale". Saya memang sangat menyukai Battle Royale yang tidak hanya pamer kekerasan dan sadisme tapi juga menyinggung aneka macam isu-isu tabiat dan sosial. Selain itu Battle Royale juga berhasil menciptakan penontonnya terikat dan peduli akan tiap huruf yang ada walaupun hanya huruf minor sekalipun. Jujur saya tidak terlalu optimistis terhadap The Hunger Games meskipun disana ada Jennifer Lawrence. Saya sempat menerka pembiasaan film ini hanya akan menjadi franchise film dewasa biasa saja. Apalagi sesudah melihat trailer-nya yang terperinci menghindari munculnya adegan-adegan kekerasan guna memperoleh rating PG-13.
Di masa depan ada sebuah negara berjulukan Panem yang dipimpin oleh orang-orang kaya yang tinggal di sentra negara berjulukan Capitol. Panem dibagi menjadi 13 distrik yang masing-masing mewakili tingkat kesejahteraan penduduknya. Sampai ketiga belas distrik tersebut suatu hari melaksanakan perlawanan untuk menggulingkan kekuasaan adikara Capitol yang menyebabkan kehancuran dimana-mana dan berujung pada hancurnya distrik 13. Sebagai bentuk "peringatan" terhadap insiden tersebut, 12 distrik yang tersisa tiap tahunnya harus mengirimkan sepasang laki-laki dan wanita berusia 12-18 tahun untuk ikut serta dalam program tahunan The Hunger Games dimana 24 wakil dari masing-masing distrik harus bertarung dan saling bunuh hingga akibatnya menyisakan satu orang pemenang saja yang bisa bertahan hidup.
Hingga 74 tahun berlalu di penyelanggaraan Hunger Games ke-74 muncul kejutan dari distrik 12 dikala Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) mengajukan diri sebagai tributes untuk menjadi penerima Hunger Games menggantikan sang adik Prim (Willow Shields). Katniss sendiri yakni gadis yang sangat andal dalam hal memanah. Selain Katniss, perwakilan laki-laki dari distrik 12 yakni Peeta Mellark (Josh Hutcherson) yang nampaknya punya kekerabatan misterius dengan Katniss. Maka berangkatlah mereka berdua untuk bertarung hingga mati melawan 22 penerima lain. Katniss dan Peeta tidak sendirian alasannya mereka juga menerima pinjaman dari beberapa orang menyerupai Effie Trinket (Elizabeth Banks) yang eksentrik, seorang stylist berjulukan Cinna (Lenny Kravitz) dan seorang mantan pemenang Hunger Games berjulukan Haymitch (Woody Harelson).
Hal paling menyenangkan dari menonton film memang yakni dikala saya menaruh ekspektasi yang rendah dan pada akibatnya film yang saya tonton ternyata jauh diatas ekspektasi saya tersebut. Saya hanya berharap The Hunger Games maksimal akan menawarkan sajian yang menghibur. Tapi pada akibatnya yang saya sanggup yakni sebuah film pembiasaan novel yang kualitasnya tidaklah kalah kalau dibandingkan franchise Harry Potter. Saya rasa saya tidaklah berlebihan menyampaikan hal tersebut. Memang harus diakui The Hunger Games sangat meminimalisir adegan brutal dan kekerasan yang bahwasanya bisa saja dimaksimalkan tapi toh sutradara Gary Ross tidak benar-benar menghilangkan kebrutalan yang ada dan masih secara eksplisit menghadirkannya dengan porsi yang dibentuk minim. Apa yang menciptakan The Hunger Games menjadi sebuah film yang bagus bagi saya yakni bagaimana film ini bisa membangun tensi dengan begitu baik. Adegan-adegan yang dimaksudkan menegangkan berhasil menciptakan saya deg-degan, bahkan adegan mudah yang bahwasanya predictable menyerupai dikala nama Prim muncul dalam undian bisa tampil cukup menegangkan. Selain itu masih banyak juga adegan menegangkan yang berhasil dihukum dengan baik.
Selain itu porsi drama dan sedikit selipan komedi juga berhasil dengan baik. Kisah cinta segitiga kembali jadi sorotan dalam film ini. Tapi kisah cinta segitiga dalam The Hunger Games tidaklah berlebihan ataupun dipaksakan. Masih bisa dibilang klise, tapi berdasarkan saya cinta segitiga yang ada terjadi secara natural dan masuk akal terjadi. Toh kalau bicara porsi drama dalam sebuah film, akting para pemainnya sangat berperan dan Jennifer Lawrence memang tepat sebagai Katniss. Dengan rambut cokelatnya (sama cantiknya dengan dikala pirang) Jennifer Lawrence bisa menciptakan huruf Katniss jadi gampang disukai oleh penonton yang akan dengan gampang mendukungnya. Katniss memang tangguh tapi terperinci terlihat ia bukanlah hero tepat yang tak terkalahkan. Hal itulah yang menciptakan tensi film makin menegangkan. Saat ia duka kita akan ikut terbawa, dikala ia terluka kita akan bersimpati. Ada sebuah adegan menarik dikala Katniss mengkhawatirkan Peeta dan menerka temannya itu telah tewas. Apa yang Jennifer Lawrence tampilkan disitu bisa menawarkan momen sederhana namun mengena dan boleh dibilang romantis. Selain itu beberapa momen lucu sebagai selipan juga bisa ia bawakan dengan baik dan memamcing tawa saya.
Selain Jennifer Lawrence, sosok Woody Harrelson juga bisa menawarkan penampilan yang mencuri perhatian. Sudah banyak memang huruf pemabuk tapi keren dalam film-film Hollywood, tapi apa yang ditampilkan Harrelson sebagai Haymitch lebih dari sekedar pemabuk biasa. Ada kalanya ia nyeleneh, tapi dibalik sifatnya itu kita bisa dengan gampang dan secara alamiah membaca bahwa ia yakni sosok yang hebat. Dan Harrelson bisa menawarkan perbedaan karakterisasi yang besar lengan berkuasa tanpa terlihat dipaksakan terhadap Haymitch disaat ia sedang menjadi pemabuk yang santai dengan Haymitch yang serius. Mungkin performa Josh Hutcherson sebagai Peeta yakni satu-satunya yang patut disayangkan alasannya saya sama sekali tidak menangkap kualitas akting yang mumpuni darinya.
Secara keseluruhan The Hunger Games yakni pembiasaan novel yang bagus dan menjadi pembuka yang memuaskan bagi sebuah trilogi. Memang tidak tepat alasannya bagi saya ada empat hal yang agak mengecewakan, yang pertama yakni kurangnya unsur kekerasan, yang kedua akting Josh Hutcherson, dan yang tiga yakni tamat ceritanya yang terlalu klise dan sangat terlihat diciptakan untuk bisa melanjutkan konflik cinta segitiga yang ada, kemudian yang terakhir yakni kurang disorotinya karakter-karakter minor sehingga dikala mereka tewas saya tidak mencicipi perasaan miris atau ikut bersedih menyerupai yang terjadi dikala menonton Battle Royale. Setelah kala Harry Potter berakhir dan Twilight akan menyusul, Hollywood telah menemukan franchise pengganti yang tidak kalah menjanjikan bahkan mungkin berpotensi jauh lebih superior meski jumlah serinya lebih sedikit dari kedua pendahulunya tersebut.
Ini Lho The Hunger Games (2012)
4/
5
Oleh
news flash