Dari judulnya sudah dapat ditebak bahwa film garapan sutradara Jeremy Lovering ini merupakan sebuah film yang akan mengakibatkan rasa takut sebagai poros pelopor utama filmnya. Menariknya, film yang diputar perdana pada Sundance Film Festival tahun kemudian ini memecah respon penontonnya. Sebagai pembanding, para kritikus di Rotten Tomatoes memuji film ini setinggi langit dan menyebutnya sebagai sebuah horor psikologis yang mendebarkan sekaligus cerdas. Disisi lain, para reviewer di IMDb justru mencaci habis-habisan film ini. In Fear sendiri gotong royong memiliki sebuah premis yang sangat sederhana kalau tidak mau dibilang klise namun punya potensi yang luar biasa besar untuk dapat menjadi sebuah sajian horor psikologis yang mencekam sekaligus penuh misteri dan kejutan. Film ini bercerita wacana Tom (Iain De Caestecker) dan Lucy (Alice Englert) sepasang kekasih gres yang bepergian bersama untuk menonton sebuah pameran musik di Irlandia. Untuk menghabiskan waktu bersama, Tom pun mengajak Lucy untuk menginap di sebuah hotel yang menjanjikan sebuah kawasan menginap layaknya surga. Mereka berdua pun mulai mencari hotel yang terletak di pedesaan tersebut dengan menaiki mobil. Tapi sesudah berputar-putar cukup lama, hotel yang mereka cari tidak juga berhasil ditemukan. Baik peta maupun penunjuk jalan yang ada malah makin menyesatkan mereka di dalam hutan.
Keadaan pun semakin bertambah menakutkan bagi Tom dan Lucy disaat mereka mulai merasa bahwa ada orang lain yang mengikuti dan perlahan menebar teror untuk mereka di sepanjang perjalanan. Yang membuat In Fear menarik gotong royong ialah bagaimana film ini mengakibatkan rasa takut sebagai sajian utamanya. Memang masih ada sedikit scare jump maupun false alarm yang ditebar, tapi secara keseluruhan film ini terlihat berusaha untuk menghindari segala keklisean yang dipunyai film-film horor dari Hollywood. In Fear adalah film yang memfokuskan diri bukan kepada teror yang ada melainkan kepada bagaimana tokoh-tokoh di dalamnya bereaksi terhadap situasi yang ada, bagaimana mereka terpengaruh oleh rasa takut yang perlahan mulai menjalar. Ada banyak sekali macam situasi yang memperlihatkan stimulus pada karakternya yang akan berujung pada sebuah respon yang sama, yakni rasa takut. Ada kegelapan, kawasan asing, tersesat, pemandangan mengerikan, rasa ketidak tahuan, hingga keberadaan sosok lain yang mengancam. Semuah al tersebut ialah stimulus yang membuat rasa takut dimana gotong royong kesemua aspek tersebut hampir semuanya muncul dalam setiap film horor, tapi jarang yang memfokuskan terornya pada "rasa", dan In Fear mencoba hal tersebut meski sayangnya gagal.
Saya menyampaikan perjuangan tersebut gagal alasannya meskipun paruh pertamanya benar-benar memfokuskan diri kepada aspek tersebut, saya sama sekali tidak mencicipi ketegangan yang cukup untuk membuat penonton ikut mencicipi ketakutan yang sama dengan yang dialami oleh abjad di dalamnya. Meski memiliki setting yang mendukung di hutan gelap maupun kendaraan beroda empat sempit yang (harusnya) dapat membuat imbas claustrophobic, iringan musik yang tidak berlebihan tapi cukup efektif, serta camera work yang bagus, In Fear tetap tidak berhasil memperlihatkan ketegangan yang cukup. Saya juga terganggu oleh dua abjad utamanya yang sering melaksanakan hal bodoh. Tentu saja kelakuan ndeso seorang abjad dalam film horor amat sangat biasa dan layak untuk dimaafkan, tapi In Fear merupakah horor/thriller psikologis yang seharusnya berpijak pada realisme berkaitan dengan karakternya, mulai dari sifat, tingkah laku, hingga aspek-aspek psikologis lain yang ada dalam diri mereka. Selain itu abjad Tom juga benar-benar menyebalkan disini. Sebagai seorang pria yang tengah menghadapi insiden mengerikan bersama pacarnya, Tom terus bertindak sebagai seorang pengecut yang pemarah dan annoying. Jelas saja hal tersebut semakin membuat saya tidak dapat terikat pada abjad yang ada, khususnya Tom.
Paruh pertama yang kurang maksimal harusnya dapat dimaafkan andai film ini punya paruh kedua yang menarik dengan titik puncak menegangkan serta konklusi memuaskan. In Fear lagi-lagi punya potensi untuk menuju kearah sana khususnya berkat beberapa misteri yang disebar di paruh pertama. Tapi sayangnya justru paruh keduanya yang semakin menghancurkan film ini. Semenjak kemunculan abjad Max (Allen Leech) film ini semakin kehilangan arah dan makin tidak menarik apalagi menegangkan. Semuanya berujung pada titik puncak yang melempem serta konklusi tidak terperinci yang "sukses" menghancurkan segala ekspektasi saya terhadap banyak sekali misteri yang ada. Pada awal film tentu saja pertanyaan yang jamak muncul ialah "siapa yang meneror Tom dan Lucy? Seorang psikopat? hantu? atau sekedar imajinasi dari seorang abjad yang skizofrenik?" In Fear memberikan batasan yang buram atas ketiga opsi tersebut dan itu hal yang bagus. Tapi disaat balasan diberikan film ini jadi terasa ndeso apalagi disaat filmnya tidak memperlihatkan balasan berkaitan dengan motif dibalik segala insiden yang ada. Mungkin Jeremy Lovering salah mengartikan esensi kisah misteri yang "tidak boleh" membeberkan semua misterinya secara gamblang. Belum lagi klimaksnya yang benar-benar antiklimaks bahkan ndeso mulai dari adegan mud fight sampai car chase yang melempem itu.
Dalam sekejap, paruh jadinya membuat In Fear berubah dari sebuah horor/thriller psikologis yang kurang maksimal menjadi sebuah thriller standar dengan unsur slasher yang terasa ndeso dan membosankan. Semuanya masih ditambah dengan twist yang gampang ditebak. In Fear pada jadinya berakhir menjadi salah satu dari sekian banyak film yang punya premis dasar menarik tapi berakhir jelek akhir pengembangan serta konklusi yang jelek dan justru mengambil jalan standar. Sebagai teladan lain dari masalah serupa, anda dapat melihat The Call yang dibintangi Halle Berry. In Fear memang punya teknis mulai dari gambar dan musik yang cukup mencerminkan rasa takut, tapi sebagai sebuah film secara keseluruhan, apalagi yang memperlihatkan fokus utamanya pada rasa takut, film ini ialah sebuah kekecewaaan.
Ini Lho In Fear (2013)
4/
5
Oleh
news flash