Thursday, January 17, 2019

Ini Lho In Time (2011)

"Waktu ialah uang". Begitulah ungkapan yang sering kita dengar wacana bagaimana setiap orang harus menghargai waktu yang mereka miliki. Tapi bagaimana bila ungkapan itu menjadi kenyataan? Bagaimana bila waktu memang menjadi sebuah uang yang harus dipakai untuk menyambung hidup insan setiap harinya? Bagaimana bila suatu ketika untuk membeli secangkir kopi kita tidak lagi harus mengeluarkan uang tapi kita harus menyerahkan beberapa menit dari sisa umur kita untuk membayarnya? Begitulah konsep yang ditawarkan oleh Andrew Niccol dalam film terbarunya ini. Yang patut dicatat naskah In Time ialah hasil goresan pena Niccol sendiri dan bukan pembiasaan ataupun remake sehingga terperinci ini jadi sebuah nilai plus dan daya tarik tersendiri, apalagi untuk membuat sebuah konsep gres dalam dunia sci-fi butuh kreativitas yang ekstra.

Pada tahun 2161, semua insan diceritakan akan berhenti bertambah renta sesudah mencapai usia 25 tahun. Setelah mencapai 25 tahun, mereka harus berusaha untuk bisa mendapat perpanjangan usia. Dalam hal ini konsepnya sama saja dengan orang bekerja kemudian beliau dibayar. Bedanya mereka bukan dibayar dengan uang tapi dengan suplemen usia. Makara dengan kata lain orang kaya akan bisa hidup usang hingga ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun, sedangkan orang miskin harus menyambung hidup hari demi hari. Will Salas (Justin Timberlake) yang berusia 28 tahun ialah salah satu dari orang-orang yang harus berusaha menyambung hidup per-hari. Suatu malam Will bertemu dengan orang kaya berjulukan Henry Hamilton (Matt Bomer) yang memiliki sisa umur lebih dari 100 tahun. Henry menjadi target para pencuri waktu yang berusaha mengambil sisa umurnya. Tapi sebelum itu terjadi Will berhasil menyelamatkan Henry. Merasa berhutang kebijaksanaan dan merasa juga telah terlalu usang menjalani hidup, Henry memperlihatkan sisa umurnya pada Will. Namun ternyata Will justru harus berurusan dengan timekeeper bernama Leon (Cillian Murphy) sesudah beliau dituduh mencuri sisa umur Henry.
Ide yang sangat menarik, kreatif sekaligus cerdas dituangkan Andrew Niccol dalam film ini. Premise dasarnya saja sudah menarik dimana insan hidup memakai sisa waktu hidupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dunia yang beliau ciptakan amat menarik disaksikan. Melihat setiap orang memiliki jam yang meperlihatkan sisa hidupnya, kemudian dimana mereka harus bertansaksi dengan membayarkan beberapa waktu dari umur mereka. Tentu semua itu ialah sebuah wangsit yang unik. Tapi bukan itu saja, Niccol juga cukup berambisi untuk menghadirkan beberapa pesan moral yang muncul dalam aneka macam citra metafora dalam kisah film ini. Yang paling terasa mungkin bagaimana insan seringkali tidak menghargai waktu. Satu detik, menit, jam atau mungkin hari tidaklah terasa sebagai berkah yang besar.Tapi dalam dunia yang diciptakan Andrew Niccol, ada kalanya satu hingga dua menit jadi amat berharga dan bekerjsama dalam waktu yang singkat itu kita bisa melaksanakan aneka macam macam hal yang berguna.

Ada juga citra wacana perbedaan jarak yang amat lebar antara orang kaya dan orang miskin. Orang kaya bisa hidup lezat dan berumur panjang yang membuat mereka bisa lebih menikmati kehidupan mereka dan tidak pernah merasa kekurangan waktu. Tapi orang miskin harus berjuang keras untuk bisa hidup tiap harinya bahkan terkadang tiap jamnya. Dan mereka tinggal dalam daerah yang terpisah yang punya kondisi jauh berbeda. Pemerintah juga digambarkan menerapkan aneka macam kebijakan yang memberatkan orang miskin sehingga banyak dari mereka yang tidak bisa bertahan hidup. Sebuah metafora sosial yang bisa dengan gampang terbaca alasannya bekerjsama sudah sangat sering digambarkan dalam sebuah film dan tidak lagi spesial. Entah sudah berapa kali sebuah film mengkritisi wacana jurang pemisah antara kaya dan miskin atau ketidak adilan pemerintah. Toh memang bekerjsama warta sosial itu selalu menarik dibicarakan alasannya masih terus terjadi. Tetapi bekerjsama warta sederhana wacana "memanfaatkan waktu yang kita punya" akan jauh lebih menarik bila itu saja yang fokus diangkat. Karena meskipun berhasil memasukkan beberapa unsur tersebut, Niccol terasa terlalu ambisius dengan memasukkan unsur sosial dan kritikan lainnya sehingga perenungan terhadap apa yang disampaikan kurang mengenai.

In Time sendiri memang pada hasilnya terasa agak nanggung. Ide ceritanya brilian, tapi pengembangannya kurang maksimal dan agak kurang fokus pada satu kondisi sosial yang coba dikritik, padahal film ini amat berpotensi jadi sebuah kisah sci-fi yang mungkin akan bisa mempengaruhi contoh pikir penontonnya wacana pemanfaatan waktu. Adegan action dalam film ini tidak mengecewakan menghibur dan tidak ditampilkan berlebihan untungnya, tapi hal itu juga mengakibatkan ada beberapa momen yang membosankan ketika eksplorasi kisahnya sedang kurang berhasil dan adegan aksinya tidak spektakuler. Paruh pertama saya masih merasa In Time akan menjadi salah satu film sci-fi paling keren di 2011, tapi ketika mulai melewati pertengahan dan saya merasa pengembangan kisahnya jadi kurang berhasil, kebosanan mulai sedikit hinggap. Justin Timberlake sendiri memang terlihat cukup keren aksinya tapi hanya itu saja. Jelas beliau masih harus banyak berguru untuk menjadi tokoh utama sebuah film yang harus bisa lebih memperlihatkan emosi lebih untuk bisa membuat penontonnya terikat. Amanda Seyfried tampil lebih bagus dan menarik daripada biasanya dan bisa membuat saya tidak terlalu memperhatikan aktingnya. Pada hasilnya In Time dengan segala wangsit ceritanya yang brilian itu hanya berakhir jadi sebuah film hiburan yang tidak mengecewakan padahal punya potensi jadi sci-fi yang keren.

RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho In Time (2011)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email