Sunday, January 6, 2019

Ini Lho Inherent Vice (2014)

Bayangkan Richard Linklater menciptakan Boyhood sambil menghisap ganja, dan mengakibatkan aksara Mason Jr. sebagai pothead pula. Seperti itulah Inherent Vice karya Paul Thomas Anderson (PTA) ini. Kesamaan terbesar terdapat pada alur yang melompat dari satu fragmen ke fragmen berikutnya daripada mengalir dengan lurus. Kita disuguhi kepingan demi kepingan dengan gap, menjadikannya sebagai film dengan alur episodik. Lalu hadir pembeda dalam bentuk ganja dan kokain yang memperlihatkan kesan disoriented, dazed and confused pada pemakainya. Hasilnya yakni kekacauan tidak terstruktur dan halusinasi membingungkan. PTA menghadirkan semua itu lewat alur complicated film ini. Jangan berharap narasi voice over-nya akan membantu, alasannya yang terdengar tidak jauh beda dari mendengarkan omongan orang mabuk. Ber-setting pada tahun 1970 di kota fiktif berjulukan Los Angeles County ketika kultur hippie tengah merangsek, film dibuka dengan pertemuan kembali sepasang mantan kekasih, Shasta (Katherine Waterston) dan Larry "Doc" Sportello (Joaquin Phoenix).

Doc yakni seorang hippie sekaligus licensed private investigator. Kedatangan Shasta bertujuan meminta tolong Doc menghalangi perjuangan Sloane (Serena Scott Thomas) untuk menculik dan memasukkan sang suami, seorang real estate developer bernama Mickey Wolfmann (Eric Roberts) ke dalam rumah sakit jiwa. Mickey sendiri yakni kekasih gres Shasta. Sekilas ini hanyalah masalah sederhana wacana perselingkuhan dan perebutan harta. It's not really complicated, right? Perkiraan saya keliru. Setelah itu Doc menerima beberapa klien. Pertama ada Tariq (Michael K. Williams) anggota Black Guerrilla Family yang mencari laki-laki berjulukan Glen Charlock (Christopher Allen Nelson), anggota Aryan Brotherhood yang berhutang uang padanya. Klien berikutnya yakni Hope (Jena Malone) yang percaya bahwa sang suami, Coy (Owen Wilson) yang selama ini diasumsikan telah mati masih hidup entah dimana. Tiga masalah hadir silih berganti, satu per satu semakin meluas, tapi ternyata mempunyai benang merah satu sama lain.

Beberapa masalah berbeda yang ternyata saling bekerjasama bukanlah hal baru. Rumit, tapi tetap bisa dipahami. Tapi yang menciptakan film ini berbeda dan membingungkan yakni pengemasan dari Paul Thomas Anderson. Cara PTA bertutur sama sekali tidak terstruktur. Saya tidak sedang membicarakan non-linear narrative seperti Memento-nya Nolan. Ini jauh lebih memusingkan alasannya PTA seolah melemparkan barang secara acak tanpa sasaran tertentu kemudian meninggalkan penonton untuk merangkai kekacauan tersebut. Tentunya sebagai intended chaotic, kesan kacau disini bukan berarti jelek meski memusingkan. Tidak memperlihatkan kesempatan penonton untuk mencerna sejenak apa yang gres terjadi, PTA eksklusif menghadirkan plot baru, pertanyaan baru, balasan gres yang melompat-lompat, sambil diiringi (drunken) voice over dari Joanna Newsom, obrolan rumit seenaknya yang tidak mau repot-repot mengecek apa penonton paham dengan bertanya "you know what I mean?", hingga scoring nyaris tanpa henti dari Jonny Greenwood bahkan ketika adegannya sudah menampilkan bunyi bising lain. It's a mess. Complicated but also beautiful at the same time.
Percayalah, ditambah durasi 149 menit penonton tidak perlu repot-repot ingin eksklusif mencerna semuanya dalam perjuangan menonton pertama. Meski otak sudah diperas dan fokus terpasang 100%, hampir mustahil semua aspek masalah bisa eksklusif dicerna. Makara akan lebih menyenangkan untuk menonton film ini dengan santai pada pengalaman pertama. Tetap fokus, tapi tidak perlu berusaha terlalu keras memikirkan semua pertanyaan. Sedikit perenungan sesudah film usai ditambah menonton untuk kedua kali gres akan bisa menjawab semuanya. Pertanyaannya yakni "apa semua kerumitan ini diperlukan?" Disaat sinopsis dari Wikipedia bisa menjelaskan mayoritas plot dengan lebih simpel, apakah kekacauan dari PTA ini hanya sekedar gimmick? Sekali lagi saya menghadirkan komparasi dengan Boyhood. Apakah proses 12 tahun Linklater hanya tempelan? Tentu tidak. Proses panjang itu yakni hal esensial untuk menangkap rentang perkembangan hidup seorang manusia. Sedangkan kekacauan Inherent Vice esensial terhadap kondisi aksara khususnya Doc.
Mengikuti cara bertutur PTA, saya pun bisa ikut mencicipi berada dalam posisi Doc. Dia kembali bertemu dengan mantan pacar yang masih ia cintai, mengetahui si perempuan berada dalam problem kemudian kemudian menghilang tiba-tiba. Disaat bersamaan Doc juga harus menangani beberapa masalah rumit yang seolah tidak punya jalan keluar sebelum secara mengejutkan mengetahui bahwa semuanya saling berkaitan. Kasus-kasus yang ia usut pun tidak jarang menempatkan Doc dalam situasi berbahaya. Belum lagi konfliknya dengan anggota LAPD bernaa Bigfoot (Josh Brolin). Sungguh kacau dan memusingkan bukan? Nuansa film semakin tepat menggambarkan kondisi Doc ketika PTA menyelipkan sentuhan komedi. Tidak akan bisa menciptakan film anggun dengan aksara pothead tanpa komedi bukan? Apalagi PTA mengakui adanya ide dari film-film Cheech & Chong. Salah satu komedi favorit saya yakni ketika Doc melihat foto anak Coy dan Hope, kemudian berteriak histeris. Ekspresi dan timing sempurna menciptakan saya memperlihatkan respon yang sama, hanya saja disusul ledakan tawa tanpa henti.

Karakter Doc memang dominan, tapi film ini bukan hanya wacana ia mengingat ada segudang tokoh lain sebagai pendukung. Mulai dari Bigfoot, Coy, Shasta, hingga Mickey punya kisah masing-masing. Seperti alur filmnya, kisah mereka nampak jauh berbeda tapi sebetulnya mempunyai kesamaan. Mari tengok judul Inherent Vice itu sendiri. Kalimat itu kurang lebih bermakna: "kecenderungan rusaknya suatu physical object karena ketidakstabilan komponen yang menyusun benda itu, dan bukan alasannya faktor eksternal." Bukankah segala permasalahan, dilema dan konflik yang mengiringi kehidupan tiap aksara memang berasal dari diri mereka sendiri? Bicara wacana aksara tidak akan lepas dari akting. Phoenix dan Brolin yakni yang terbaik disini. Berlawanan dengan sosoknya di The Master, Phoenix dalam film ini sukses bertransformasi sebagai hippie yang seenaknya sendiri lengkap dengan gestur maupun cara bicara yang mendukung itu. Doc terlihat begitu "asal" dalam menjalani hidup, tapi terstruktur. Mirip dengan nuansa filmnya bukan? Sedangkan Brolin nampak berlawanan dengan kesan antagonis, wajah keras dan amarah yang gampang muncul. Tapi lewat satu adegan yang melibatkan sang istri, semua kesan ganas itu luntur seketika. Membuat saya bisa memahami semua perilaku antagonis yang ia hadirkan sedari awal. 

Mungkin respon pertama yang akan muncul di benak banyak penonton yakni bahwa Inherent Vice merupakan film terburuk Paul Thomas Anderson. Mungkin itu tidak salah, tapi film terburuk PTA bukan berarti film yang memang buruk. Lihatlah filmography-nya yang terdiri dari judul-judul macam There Will be Blood, Boogie Nights sampai Magnolia. Pasti ada fim terburuk diantara karya PTA, tapi tidak ada film jelek yang pernah ia hasilkan. Justru bagi saya Inherent Vice punya semua aspek yang bakal menjadikannya sebagai cult movie di kemudian hari. Tingkat abstrak yang tinggi, pergerakan dongeng kacau dan alur rumitnya memang memusingkan pada pengalaman pertama, tapi membuka peluang besar untuk ditonton secara berulang-ulang. Sangat mungkin pada pengalaman menonton berikutnya film ini akan terasa semakin bagus. Ini juga akan menjadi satu dari sekian banyak film dimana beberapa penonton berpura-pura menyukainya meski sama sekali tidak paham dengan alurnya. For the sake of being (called) smart.

Artikel Terkait

Ini Lho Inherent Vice (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email